Saturday 14 January 2012

Gadis Hujan (1)


Akhir-akhir ini Bumi kerap kali menangis. Emosinya tak terkendali. 

Terkadang ia bisa tersenyum dengan hangatnya lewat mentari dan sejurus kemudian menangis lewat rintik airnya yang dingin seolah-olah bersua bahwa ia sudah lama bertahan pura-pura kuat layaknya es, beku, dan kini, ia mengeluarkan segalanya dalam bentuk lelehan air. 

Mungkin, seorang gadis yang selalu duduk dibalik jendela menikmati rintik air yang mengalir dari tempat tinggi ke rendah tengah merindukan untuk merasakannya.

Berdiri ditengah tarian angin yang kencang yang berkolaborasi dengan hujan. Lalu, pada suatu siang, ketika Bumi berkaca-kaca, gadis itu duduk di sebuah kendaraan bermotor, menunggu tubuhnya dibasuh air-air yang dengan pasti akan turun. 

Dan benar, hanya saja, kurang meraung-raung. Kurang histeris. Dua kali, suatu pagi ini dan siang itu. 

Walau harus menikmatinya seorang diri ditengah keramaian yang dirasakan hanyalah kesendirian. 

Ditengah kebisingan yang sebenarnya kepalsuan atas keheningan, semuanya melebur pada setiap bulir Kristal.

Mungkin, aku akan banyak menulis tentang hujan.

Tentang bagaimana aku diam di dalam ruangan tanpa ada celah ataupun sela yang mampu membuat mataku melihat dunia luar sana, tapi, ketika aku mendengar suara hujan itu, aku mampu merasakan apa yang sedang menjalar ke seluruh tubuhku, partikel yang kurindukan. 

Hanya mendengarnya saja. Suara itu seperti suara lonceng natal. Seperti suara tawa khas Santa. Seperti bedug lebaran.

Seperti petasan akhir tahun. Seperti tepukan bising barongsai. Suara-suara abstrak yang mewakili itu berbicara banyak.

Aku teringat akan gadis hujan yang kulukis dalam dua tulisan dalam diariku. 

Suara hujan berbicara banyak. Rintik hujan menyimpan banyak hal. Air hujan yang mengalir di tanah memecahkan banyak perkara. 

Semua tanda-tanda dan aktivitas hujan di pepohonan dan sekitar berhasil dengan mudah diterjemahkan oleh gadis hujan. 

Karena ia merasakan dua hal sekaligus dan terhimpit dalam ambang atas keduanya, sebuah rindu, kawan.

0 Comments:

Post a Comment