“Untaian kata memiliki kekuatan. Kata mampu meruntuhkan senja, menggenggam hujan dan meretakkan malam. Tapi, tak pernah kuat hanya untuk sebatas menahanmu tetap di sini.” – di saat aku tengah merangkai aksara dan menghimpun paragraf
Biar rinai hujan menyampaikan sajak
rinduku padamu. Maka itu, aku selalu membiarkan hujan turun. Karena mungkin
saja, saat itu kamu tengah berdiri atau berada di balik jendela entah dimana,
menegadahkan tanganmu menyentuh hujan, lalu kamu merasakan rintik hujan itu
menyairkan bagaimana aku menyimpan rindu yang tersakiti di dalamnya.
Tirai gerimis jatuh di luar sana.
Aku terbunuh setiap rintik gerimis itu jatuh. Mengetahui jika bulir air gerimis
itu akan terlupakan. Hujan deras jatuh tak kunjung berhenti, air mata turun tak
menuju reda. Aku terdiam di balik layar ponsel, mengetahui jika aku mengatakan
ingin selalu menjadi hujan, berarti aku seharusnya siap untuk terlupakan. Sebab
setiap hujan yang pernah datang pun terlupakan. Ponselku seolah berkata padaku,
dalam waktu satu atau dua tahun lagi, kamu akan pergi, ke sebuah tempat yang
jauh. Dan, tak ada yang lebih menyakitkan dari apapun dari kebersamaan bisu ini
kecuali mengetahui kamu mencipta jarak begitu jauh dan tak kan pernah
benar-benar melihatku sebagai seseorang yang membutuhkan secangkir teh hangat
untuk menyejukkan hujan yang dingin. Aku pun akan segera terlupakan dalam detik
waktu yang kuhitung dari hasil mengeja hujan.
Hujan. Ia mungkin saja terlupakan.
Tapi, percayalah, setiap kali ia memiliki kesempatan untuk datang, ia selalu
mengembalikan kenangan-kenangan semu tentang kita berdua yang tak pernah
tersampaikan olehku. Hujan akan selalu ada, dimana pun kamu pergi, untuk
mengingatkan kepingan kecil tentangku padamu. Tentang seorang gadis kecil yang
selalu menulis sajak hujan untuk si pecinta teh.
0 Comments:
Post a Comment