Monday 1 April 2013

Hujan Terakhir untuk Teh



“Can you show me the perfect way to write the best love story with the dying heart?”
Tak ada yang terasa dari hujan kecuali akhir cerita menggantung yang dibawa bau tanah dan sepotong senja basah. Ini seperti tengah merangkai rasa yang pernah dibiarkan jatuh dan hanya bersisa cerita-cerita bisu akan luka. Mencipta tanya, bagaimana mematahkan rasa ketika bahkan kehadiranmu tak mampu ditebas jarak dan digerus waktu? Namun, segalanya memaksa aku meninggakan cerita sebagai kenangan. Dan, aku terbunuh begitu dalam, mengetahui hitam tak hanya singgah pada malam, tetapi hujan yang menumpahkannya dalam kisah kelam. Tak ada yang pernah menjadi milik kita berdua kecuali luka-luka karena terlalu banyak ketika-ketika tanpa ada aksi rasa yang nyata.
“The possibility that you will ever felt the same way is just too…less.”
Kali ini, biar tatapan teduh matamu yang kusembunyikan dalam kata-kata dan kusamarkan dalam tinta. Sesungguhnya aku lelah memakai terlalu banyak metafora, karena teduh tatap mata itu tak sebatas kata-kata yang kumainkan. Ia mencpita ketenangan yang bersua seolah segalanya baik-baik saja. Ia adalah sorot dalam kesederhanaan dengan binary hangat yang memeluk dan melindungi di kala rasa yang meretak. Berkali-kali kulempar tanya dan teduh mata itu selalu mampu melepas jawab. Namun, tak pernah mencoba menerjemahkan rasa. Membuatku berhenti untuk terlalu banyak merajut asa.
“Probably this is just wishful thinking and mindless dreaming that we will love each other.”
Aku mengingatmu dalam rindu yang membunuh. Aku tak ingin menguntai rasa dalam hura-hura jika kita akan meniti kisah. Walau rasa itu harus terperangkap dalam ruang ramai pesta, biar ia menemukan jalan sendiri ‘tuk saling mengamitkan janji untuk berlalu dan merangkai keheningan. Pernah dengar? Diam itu bersuara. Bisu itu bersua. Hening itu bercerita. Aku ingin mereka yang berdialog dan mengisahkan indahnya sebongkah cinta yang kusimpan dalam mata yang berbicara. Bahkan lilin di meja romantis Valentine itu kalah dengan binar mata yang saling melepas rasa. Tanpa banyak kata, karena rasa bukanlah bahasa. Maka itu, kubiarkan kata itu berdiam, sunyi, hening dan sepi…aku lelah menuang tinta aksara dalam gerimis hujan, karena hujan pun mampu bersuara lewat geraman guntur, menyuarakan bagaimana rindu ini menjelma layaknya petir yang melukai cakrawala langit, sedangkan secangkir teh hanya berlindung dibalik jendela. Diam.

0 Comments:

Post a Comment