Sunday 19 May 2013

Sepotong Kue Pelangi



Senja bergerak menuju petang. Bau tanah sehabis hujan siang tadi masih membekas. Desau angin di langit temaram, berhasil membawa sepotong kenangan yang masih menjejak di kalbu. Percakapanku di sebuah kamar dengan seseorang siang tadi masih segar di ingatanku. Latar hujan ringan di luar sana masih jelas terdengar. Seseorang itu secara spontan mengisahkan suatu keadaan yang dilihatnya padaku, aku yang masih sibuk dengan ketukan irama hujan di kaca jendela, tidak terlalu memperhatikannya sampai ia menepuk pundakku. Ini tentang seorang kakek tua di sebuah pasar umum yang ditemuinya, kakek itu sedang menegadahkan tangannya mengharapkan keping-keping cinta. Aku terhenyak; siap mendengar.

“Di sebuah sudut tempat seorang pedagang kue menggelar kue dagangannya, kakek itu duduk. Ia menegadahkan tangannya penuh harap. Ada binar dari sepasang mata sayunya yang berharap pasrah. Tubuh ringkih dan lemahnya duduk di bawah, tepat di samping sebuah meja tertutup yang menjual beraneka macam kue. Beberapa orang yang lewat berlalu-lalang di depannya, ada yang peduli, kadang kala tidak. Suatu waktu, pernah ada seseorang yang memberinya sepotong kue. Ada titik bahagia yang berbicara di mata kakek tua itu, ia memegang kue itu penuh syukur, mengucap terima kasih pada Tuhan karena telah ada uluran tangan kasih Tuhan lewat si pemberi kue padanya. Kakek itu memakan kue itu penuh suka cita. Tak seorang pun yang tahu, apakah si pedagang kue pernah memberi, mungkin sedikitnya satu kue setiap harinya pada si kakek tua. Si Kakek tua selalu ditemukan duduk di sana setiap harinya, hidup dari belas kasih orang yang lewat, yang sempat singgah untuk memberi senggenggam cinta untuknya. Terkadang, si Kakek tua sering kali ditemukan di berjalan dari pasar hingga depan jalan raya, sendirian, terkadang ia kelaparan (dan kita tak pernah tahu) untuk meminta-minta. Tak pernah ada yang tahu, si Kakek tua berjalan jauh setiap harinya.”

Aku terhenyak. Seseorang yang bercerita di hadapanku itu, aku tahu, sepasang manik mata hitamnya tengah berkaca-kaca. Karena ia tahu, hampir setiap hari ia berbelanja di pasar dan bertemu si Kakek tua. Tak banyak yang bisa ia lakukan kecuali memberi segenggam receh. Bagaimana jika beliau sakit? Tanya seseorang itu padaku. Aku bungkam, tak pernah memiliki jawaban untuk sejuta kemungkinan yang terjadi pada si Kakek Tua. Ada ruang di hatiku yang berkecamuk, sedang apa beliau sekarang? Aku memejamkan mata, berharap sehabis siang basah ini, akan ada selengkung pelangi yang hadir. Agar bisa kutitipkan pesanku padaNya, agar ia selalu didalam lindunganNya, tetap hangat walau diselimuti dingin malam, tetap segar walau rasa lelah singgah setelah berjalan jauh, tetap tersenyum di tengah keadaan yang mencekik. Dan, semoga ada banyak orang yang mengulur tangannya, memberi si Kakek Tua sepotong kue. Sepotong kue penuh pelangi. Kami pun menitik air mata bersama, dalam sunyi siang yang begitu menusuk dan mengusik.
This entry was posted in

1 comment: