Saturday 13 July 2013

We're Not Goodbye



Sebuah perjalanan siang yang cukup panjang, aku duduk di balik jendela mobil. Menenggelamkan pandanganku pada lalu padat kendaraan. Tak kuhiraukan suara bisik bertukar cerita di belakang. Seorang perempuan, ia tiba-tiba mengambil duduk di sebelahku. Kawanku yang nyaris selalu tertawa dan riang itu, bertanya pada guru matematika yang duduk di belakangku. Ini akan jadi obrolan panjang, pikirku bersiap memasang earphone. Namun, aku berhenti. Pertanyaan itu menarik perhatianku.

“Sebenarnya Sir merasa sedih tidak, setiap tahunnya ada murid Sir yang lulus dan berpisah meninggalkan Sir?” – kami memanggil guru dengan sebutan ‘Sir’ dan ‘Miss’
Jeda sesaat yang tercipta membuatku berpikir banyak. Pertanyaan itu sedikit mengusikku. Sebab, sebelumnya guruku itu bercerita tentang masa-masa indahnya menjadi murid SMA, lalu menjadi guru dan mempunyai banyak murid kesayangan setiap tahunnya. Dan, detik ini baru kusadari, murid-murid itu akan hilang bersamaan dengan waktu yang menggerusnya. Bagaimana guruku itu – dan mungkin guru-guru lainnya, menghadapi perpisahan yang terjadi setiap tahunnya? Aku tahu, di setiap pesta perpisahan, mereka selalu menebar senyum, tapi mungkinkah seulas senyum adalah bagian dari air mata yang paling menyakitkan?
Aku jadi teringat beberapa waktu lalu, aku baru saja pulang dari meliput salah satu acara perpisahan sekolah, yang kebetulan adalah sekolah SMP-ku. Saat itu, aku diundang sebagai alumni. Melihat adik kelasku yang aka berpisah, mereka menampilkan pertunjukkan terakhir untuk para guru dan kawan-kawannya. Memoriku terlempar pada bertahun-tahun silam, aku pernah seperti mereka. Menangis sambil membacakan pesan-kesan, memeluk satu-persatu guru dengan air mata yang tak dibendung, bertukar kado persahabatan- masih juga dengan air mata yang tersisa. Nyaris tak ada detik dalam perayaan perpisahan itu yang tak luput dari air mata. Tiba-tiba, salah seorang temanku memberi ide agar para alumni tampil menyanyikan lagu kebangsaaan sekolah. Aku mengiyakan, dan akulah di sana, berdiri di suatu acara perpisahan adik kelas, menyanyikan lagu yang sama yang pernah kunyanyikan di perpisahanku dulu. Semuanya terulang seolah déjà vu yang begitu nyata. Hatiku menangis, kenangan silam menjeratku begitu dalam. Namun, apakah benar itu cara yang tepat merayakan perpisahan? Dengan air mata? Jika iya, mengapa orang menyebutnya pesta – farewell party? Jika pesta, seharusnya tak ada suara-suara air mata, isak atau sesegukkan yang menyedihkan.
Masih jeda. Aku tidak tahu apakah guru itu sedang larut pada kenangannya, merasa sedih, atau biasa saja, aku tak berani menebak. Hanya ada wajah datar khasnya. Aku tetap menunggu dalam diam.
“Tidak, saya tidak sedih. Lagipula, apa sih di dunia ini yang tidak berubah?” ujarnya sambil tersenyum. Guruku itu damai, menerima dan ikhlas dalam suatu perpisahan. Tak perlu ada yang disesali. Dengan pisah, ada daun-daun rindu yang tumbuh. Rindu-rindu itu adalah obat paling ampuh untuk mengawetkan sebuah hubungan setelah pisah. Aku mengangguk kecil dalam diamku. Mungkin itu jawaban yang tepat. Bukankah perpisahan membuat kita lebih menghargai sebuah pertemuan? Aku menyeka satu tetes air mataku sebelum ia terjatuh. Sejenak, aku rindu mereka, siapapun itu yang pernah bertemu denganku di masa silam dan beranjak pergi karena waktu. Kita tak pernah benar-benar berpisah.
This entry was posted in

0 Comments:

Post a Comment