Thursday 31 October 2013

Surrendered

(1)
“Terkadang, hal paling menyakitkan bukan ketika rasa itu tertolak, tapi saat rasa itu teronggok diam, terperangkap ruang bisu; tak terkata.”
Pendam itu pelan-pelan menyeretku siang ini. Memintaku bercermin pada kubang luka berdarah yang menganga dan menggenang di tepian hati. Sedang rindu, bermukim di antaranya, menunggu hingga ada rasa yang bertemu. Aku lelah, terjebak pada bayang lalu dan menawarkan bungkus silam bernama kenangan. Kapan rasa itu akan menepi?
(2)
“Pergi kemanakah kata ketika ia tak terucapkan?”
Aku selalu takut ketika waktu menulis skenario yang membuatku sekedar berpapasan denganmu. Karena aku tahu, akan ada rindu yang tertinggal setelahnya; menghabisiku perlahan. Bermuara pada sakit yang menyesakkan dada. Mungkin akan berakhir, berujung, habis. Tapi, luka telah meninggalkan jejak; yang tak akan beranjak. Jauh kemudian, aku terus belajar mencintai luka itu.
(3)
“Ketika kutitipkan rasa pada tirai hujan, aku bisa memelukmu. Tanpa kamu harus tahu itu aku.”
Tepat di seberang kompleks, aku melihat sepasang kekasih bertukar canda dan menderai tawa dalam bingkai rasa. Waktu terasa berhenti, aku teringat ketika sahabatku merekam siluet bayangmu. Siluetmu yang tengah duduk di sebuah kedai teh, dengan dua gelas teh. Satu untukmu, satu untuknya. Rekaman yang terus berputar dan berulang di benakku. Ada tangis yang pecah, aku tak tahu mengapa. Sesaat, aku hanya ingin menjelma hujan. Hadir di selipan sudut hatimu tanpa kamu tahu itu adalah aku. Memelukmu tanpa menjelaskan banyak hal.
(end)
Apakah tiap untai rasa bisa kukemas dalam wujud ilusi? Biar ia hanya tertinggal sebagai mimpi, yang ketika aku terbangun, semuanya lesap; mati. 

Aku tidak lelah, hanya saja aku memilih untuk menyerah. I surrendered.

Saturday 26 October 2013

I Almost Do

"I bet you’re sitting in your chair by the window, looking out at the city and sometimes you wonder about me…"

Aku membayangkan di suatu siang saat kita sudah menggenapi kata pisah, kamu menarik bangku mendekati sebuah jendela apartemen yang besar. Jendela kaca dengan setengah gorden putih vanilla yang menutupinya. Di balik jendela yang membingkai lalu lalang kesibukkan perkotaan dan merekam keremangan lampu kota. Lalu, kamu melempar arah pandangmu ke luar jendela, manik mata hitammu menyapu teduh, membuka banyak kisah akan bayang silam. Aku pun kembali pada kesadaranku, bertanya; apakah ada siluet bayangku ketika bayang silam itu menghinggapi ruang pikirmu? Aku memejamkan mata, banyak hal yang kusesali pada akhirnya. Bukan sesal karena aku tak pernah mampu membuatmu tetap tinggal, tapi karena banyak hal yang tak kulakukan, hanya diam di ruang benak sebagai keping kenangan yang menggores luka.  
And the ‘almost do’ memories…
Kamu tak pernah tahu, jika aku pernah hampir menuliskan sebuah puisi dan menyelipkannya dalam amplop tertutup dengan dua kantung teh, sebagai ajakan kencan teh di hari senja.
Kamu tak pernah tahu, jika aku hampir berkata jika puisi yang pernah termuat di salah satu majalah, yang mengisahkan tentang selipan rasa tak terucap di antara hujan, itu adalah untukmu.
Kamu tak pernah tahu, jika aku hampir ingin menyerahkan novel pertamaku di sebuah pesta perpisahan sekolah kita nantinya dan mengatakan tiga kata sederhana yang membunuhku selama 2 tahun ini; aku mencintaimu.
Kamu tak pernah tahu, jika aku hampir berkata iya untuk menemanimu pergi pada suatu kegiatan yang tak ingin kuhadiri.
Kamu tak pernah tahu, jika aku hampir ingin mengajakmu bermain hujan dan bercakap bersama teh hangat di saat hujan merintik di hadapan lorong sekolah kita.
Apa kamu mengetahuinya?
And the ‘remember when’ moment…
Aku ingat saat aku berjalan di lorong kelas dengan kepala menunduk, kamu juga tengah melangkah di depanku, lalu kita menabrak di satu titik. Aku mendongak, menemukan matamu; kamu berhasil membunuh semua ragu yang pernah singgah di benakku.
Aku ingat saat aku membuka pintu kelas, di saat bersamaan, kamu di kelas berbeda juga tengah membuka pintu kelas. Kita bersamaan ke luar dari kelas tanpa janji, saling menatap, apa sebuah kebetulan? Aku hanya tahu rasa itu seketika membuncah dan terasa nyata.
Aku ingat saat kamu berdiri dibalik belakang pintu dan aku didepan pintu, kita membuka pintu itu bersamaan. Sekali lagi, aku menabrakmu, dan matamu menghentikan tiap detik waktu yang tengah berjalan, membuat nafasku sesak.
Apa kamu mengingatnya?
Saat sahabatku bertanya mengapa aku menyukaimu dan berujung mencintaimu dalam pendam rasa yang membuat hati lebam, aku hanya menjawab sederhana. Aku hanya jatuh dan tenggelam pada tatap dalam matamu. Matamu menjerat sejuta kenangan dan membuka banyak kisah. Sesederhana itu.
“I bet you’re sitting in your chair by the window looking out at the city, and I hope sometimes you wonder about me…”
On playing Taylor Swift - I Almost Do.

Sunday 20 October 2013

The Art of Change


“Life changes in the instant. The ordinary instant.” – Joan Didion
Sometimes, people don't change. Their priorities do.
Ini malam yang dingin. Sedikit pucat oleh rembulan yang bersinar penuh. Aku duduk di sudut ruang kamar, sedang tenggelam dengan salah satu buku bacaanku. Rasanya ini malam yang sempurna; dengan radio tua hitam favoritku yang menyala melantunkan lagu-lagu klasik, sebuah buku bacaan tebal dan minuman hangat di tengah ruang kamar yang sejuk. 
Namun, sesaat semuanya dengan cepat berubah. Ibuku masuk ke dalam kamar, mengambil ponsel hitamnya dan memencet beberapa angka. Beliau tengah menelepon nenek yang kini tinggal jauh di Medan. Seusai perbincangan hangat sekedar melepas rindu, Ibuku melirik sejenak ke arahku. Tatap mata beliau menyiratkan segalanya telah berubah. Dulu, beliau berkumpul menjadi satu keluarga, kini beliau sudah terpisah jauh. Tak lagi sama. Aku mengatupkan buku bacaan yang tengah kubaca. Diam.
Pikiranku terlempar pada ruang kelas di sebuah siang. Kami tengah menonton sebuah video perpisahan angkatan tahun lalu. Menonton setiap slide potret foto yang bersatu menjadi video mendesakku pada satu kenyataan; kami pun sebentar lagi akan merangkai puzzle-puzzle pertemuan menjadi satu keutuhan yang berujung pisah.
Aku tak pernah mampu membayangkan tak akan ada lagi momen dimana aku mengeluh kapan waktunya pulang, menunggu antrean makanan favorit di kantin, berkumpul di toilet bersama kawan-kawan saat jam pelajaran yang membosankan dan merasakan kepanikkan saat ujian lisan. Gelisah terus bergelayut di ruang hati, ada rasa takut jika semua itu takkan lagi terulang. Ia hanya akan digeser waktu dan menjadi fragmen-fragmen kenangan. Saat itu semua terjadi, yang kubutuhkan sesungguhnya bukan sebuah pesta perpisahan – yang mengemas senyap dalam keramaian, yang membungkus air mata dalam senyum. Aku hanya butuh seseorang yang menggenggam tanganku erat atau memelukku hangat, lalu meyakinkanku bahwa segalanya akan tetap sama – walau waktu semakin tua dan jarak semakin membentang.   
“Apa arti temu jika pisah menjadi akhir?” Salah seorang temanku menyeletuk. Membuatku menyeka setetes air mataku sebelum ia terjatuh. Aku menoleh padanya, tersenyum hambar.
“Karena tanpa adanya pisah, tak ada pertemuan yang berharga,” jawabku, senyap. Kami sama-sama diam. Membiarkan lantunan lagu My Happy Ending milik Avril Lavigne yang menjadi background video itu mengisi senyap yang ada – dan aku selalu berharap kita berujung pada happy ending, pisah tak melulu tentang sad ending. Jauh pada akhirnya, perubahan sesungguhnya adalah seni hidup. Seni dalam hidup yang membuat tiap hari setelah pertemuan pertama menjadi berwarna dan berharga.
Aku kembali pada ruang kamarku, membuka kembali buku bacaanku. Setidaknya, aku akan punya kenangan. Sebuah kenang yang nantinya akan merangkai kembali mereka yang berpisah untuk saling merindu dan kembali bertemu. The art of change, the colour of life, the power of memories.
This entry was posted in

Wednesday 16 October 2013

Little Gaby

Ini sepotong senja dengan warna jingga yang begitu ranum. Cahaya jingga keemasannya menyentuh wajahku sore ini. Sekali lagi, aku duduk di beranda rumah, tatap mataku melawan cakrawala senja. Setumpuk kertas file mengenai penjurusan dan universitas berdiam di pangkuanku. Aku kembali bergulat dengan pilihan, aku takut untuk salah melangkah. Tapi, sekelebat wajah dan penggal peristiwa silam merasuk ke benakku. Ada yang lebih kukhawatirkan; didesak waktu pada kata pisah.

Senja bergerak turun, tapi gelisah tak kunjung redam. Bayang wajah seseorang memenuhi ruang pikirku. Aku pernah memeluknya si dudut ruang kelas. Sebuah peluk erat. Seseorang itu tengah duduk dan aku berdiri untuk memeluknya. Hangat dan menyakitkan. Karena aku takut, peluk itu akan menjadi ungkap rindu terakhir. Aku takut peluk itu akan jadi wujud temu akhir. Aku dengannya tenggelam dalam air mata.
Waktu mungkin mampu mendesak kata temu menjadi pisah, tapi Tuhan selalu punya skenario lain untuk waktu. Aku kembali bertemu dengannya. Kami satu SMA. Pada masa orientasi, tak ada teman yang bisa dengan nyaman kuucapkan hello dan memulai obrolan, kecuali dia. Kami akrab hingga pertengkaran kecil itu terjadi. Tapi aku selalu kembali pada peluk kenang dia. Aku tahu, aku selalu membutuhkannya.
Seminggu awal menjalani keseharian di lingkungan baru tidak pernah mudah. Kelas kami berbeda. Lalu, pada suatu siang, ia menghambur ke kelasku. Menangis. Aku tak tahu. Tak pernah tahu. Satu yang kutahu, akku hanya menarik tangannya, ikut menangis dan memeluknya. Berbisik padanya; aku rindu kekompakkan masa silam di SMP. Ia mengangguk. Pelukan kita semakin erat, tak pernah berubah. Ada sejuta rasa yang berbicara ketika aku memeluknya. Ada beribu rindu yang menguap saat peluk itu semakin erat. Aku menyayanginya.
Ketahulah, seseorang itu bukan pacarku. Tidak pula kekasihku. Bukan siapapun yang mereka tebak sebagai belahan hati dan jiwa. Ia adalah sahabatku. Mungkin sekarang, kami sudah memiliki sahabat dekat masing-masing. Punya waktu untuk berbagi peluk dengan teman yang berbeda. Punya satu potong momen yang spesial dengan orang yang berbeda. Tapi entah, senja ini, aku yakin, ada satu ruang di hatiku, yang tiap kali mengingat sebuah pesta perpisahan, aku akan selalu mengingat peluk akhirku di sudut kelas dengannya. Sekali lagi, ia sahabatku, Gabriella.
Aku tak tahu apakah ia pernah sesekali mengingatku atau tidak, tapi aku yakin, kita sama-sama menjaga kenangan yang pernah ada. Bukankah persahabatan kita dijaga oleh kenang-kenang silam itu? Yang terus menjerat kita pada kata bersama walau waktu terus memaksa pisah. Aku ‘kan selalu merawat kenangan kita.
Teruntuk @gmoureeno. Gabriella Moureen Naomi Rompis. Bersama tulisan ini, kuselipkan beribu rindu padamu.
“Distance and time will keep us apart, but remember the true friendship is never die. You’re still my forever friend.” –untuk siapapun yang pernah singgah dalam hidupku sebagai sahabat, teman dan kenalan. Kalian telah membuat hidupku lebih berwarna.

Que Sera Sera


"Tidak ada pemimpi yang terlalu kecil. Juga tak ada mimpi yang terlalu besar." - film Turbo 

Cahaya rembulan jatuh di pangkuanku malam ini. Berkas sinarnya memeluk hangat setiap bayang yang tengah bercengkerama dengannya. Aku menyandarkan tubuhku di balik jendela kayu berembun rintik hujan. Sebuah pesan singkat masuk ke ponselku, mencipta dering yang mengoyak hening. Dari salah seorang sahabatku, yang akhirnya berlanjut menjadi obrolan panjang. Tentang satu hal; kuliah. Kami sibuk memilah bagaimana menempuh jalur beasiswa di banyak universitas, pembicaraan tentang prodi yang diambil, peminatan hingga kehidupan setelah sekolah. Semuanya terasa baik-baik saja sampai sahabatku mengatakan padaku jika banyak di antara temannya yang mengambil peminatan di universitas ternama. Dengan bangganya, mereka mengatakan akan melanjutkan ke sana-ke situ. Sahabatku itu, rasanya menjadi kecil di tengah tebaran nama universitas yang ‘wah’. Apa kamu pernah merasakan hal yang sama? Jika kamu diam-diam mengangguk dan berkata iya di sudut hatimu. Coba kita bercerita sejenak…
Ini bukan tentang universitas yang wah. Tapi tentang bagaimana kita punya tekad yang besar dan ‘wah’ di tengah universitas yang kecil. Universitas yang ‘wah’ tidak menjamin masa depan kita akan ‘wah’. Yang menentukan itu semua, sungguh sederhana; pada genggaman tangan kita sendiri. Bagaimana kita bersungguh-sungguh pada peminatan itu, bahkan akan mengalahkan arus gelombang serta aral terkeras sekalipun. Pernah tahu mantra arab di buku Negeri 5 Menara ini? Man jadda wajada; siapa yang bersungguh-sungguh akan berhasil? Dalam buku itu, A.Fuadi menguraikan kisah tentang Alif Fikri yang harus masuk ponpes dan temannya Randai, masuk ke sekolah SMA ternama di Maninjau. Namun, tak pernah ada yang tahu, Alif yang awalnya diolok-olok karena hanya lulusan ponpes sederhana, siapa sangka, akan kuliah di UNPAD dan merantau hingga berbagai ranah di Eropa? Tak ada yang Alif miliki dalam kisah itu, ia hanya seorang anak dari keluarga miskin yang tak punya biaya untuk masuk ke universitas mahal yang wah, tapi dia punya satu yang tak dimiliki Randai; kesungguhan hati dan keseriusan untuk menggapai impian. Karena ia percaya, tak ada mimpi yang terlalu tinggi untuk diraih.
Dulu sekali, aku suka mendengar bersit lagu ini menari di telingaku; when I was a little girl, I ask my mother, what would I be? Whatever will be will be, future isn’t for ours to see. Lagu kanak-kanak sederhana ini bercerita tentang mimpi masa depan. Tak ada seorang pun yang bisa melihat, termasuk dirimu sendiri. Kamu tak pernah tahu apa yang akan terjadi pada waktu di masa depan, termasuk satu detik pun. Namun, itu bukan berarti kita hanya diam dan mengikuti arus nasib. Let it flow, idiom itu hanya berlaku untuk benda mati, bukankah benda mati hanya mengikuti arus? Lakukan yang terbaik detik ini, maka tak ada yang harus dikhawatirkan di masa depan. Dan, jangan remehkan impianmu, setinggi apapun itu, sungguh Tuhan Maha Mendengar.

- di saat aku tengah merasa diri terlalu kecil dan menganggap mimpi terlalu besar, hingga menggalaukan masa depan.
This entry was posted in