Sunday 18 May 2014

Pangeran Rembulan


Itu lorong yang cukup ramai. Beberapa teman yang lewat menyapaku ramah atau hanya menyinggahi senyum. Lalu, aku melihatmu duduk di atas meja yang sudah tak terpakai, teronggok di depan mading sekolah. Ia mengamati lalu lalang orang-orang. Sepertinya tengah menunggu seseorang. Cukup lama, membuatmu turun dari meja, bersandar sejenak sambil mengamati perubahan mading sekolah yang sudah dua tahun ditinggalkanmu. Dua tahun sudah berlalu, sejak kukatakan padamu untuk menunggu. Dan, kamu hanya diam, tertawa kecil. Menggantung jawab tak pasti. Hingga sekarang, kulihat kamu melempar mata rembulanmu pada gadis lain. Gadis berambut panjang, bermata sipit, kulitnya putih mulus. Gadis yang berminggu-minggu lalu datang kepadaku, mencurahkan galuh hatinya yang tertambat oleh baris-baris kalimatmu. Gadis yang kukatakan padanya untuk menerimamu. Nyatanya, kamu tengah jatuh cinta lagi, seperti yang pernah kamu katakan padaku; gue gampang jatuh cinta, Ver. Kamu; si lelaki pemotong rembulan, apa kabar? Sudah lama sekali.
Ah, tiga tahun lalu, aku tahu ketika kamu katakan cinta, itu bukan gurauan. Sebab kulewati malam-malam menyiksa setelahnya, mencoba mengusir bayangmu yang menghantui tiap bagian mimpiku, menangisi lagu-lagu yang mengisahkan awal pertemuan kita. Kamu; si lelaki pemanah rembulan, membuat hari-hariku selalu lebih bersemangat dibanding sebelumnya. Tapi, kini, purnama berubah menjadi hampa. Ada saat dimana bulan penuh menjadi bulan hampa. Void Moon. Detik-detik dimana semuanya bergerak menjadi sebuah kesialan dalam astrologi Cina yang terkadang kita percayai. Dan aku percaya, sejak kamu berikan ide cerita pertamamu untuk kutulis, itu terjadi saat bulan hampa. Kamu hanya mengganti tinta hitam pada pena milikku dengan darah yang menggenang di hati yang luka.
Malam ini, tak ada bulan. Tak juga ada bayangmu lagi. Sebab semuanya telah berganti hujan. Lalu senja. Dan, sekarang, aku bergelut dengan lelaki lain yang penuh jenaka. Namun, terkadang aku mengingatmu. Terlebih ketika kutemukan pigura yang membingkai potretmu dengan gadis itu. Aku tersenyum, diam cukup lama mengamati lengkung senyummu, sebab kamu terlihat bahagia, tidak seperti dulu; saat membincangkan cinta denganku. Mungkin sejak awal, kita memang sudah berjalan di garis rapuh yang penuh dengan kesalahan.
Lalu, aku melangkah melewati mading, tatap mata kita bertemu. Aku memicingkan mata, haruskah kita menukar sapa? Bukankah dulu kamu berjanji menjadi kakakku selamanya? Menjagaku dari ganasnya malam, menerangiku dari gelap malam dan menemaniku dari kesendirian malam yang meringkus jiwa. Seharusnya tak ada sekat canggung di antara kita. Lalu, kamu melambai tanganmu kecil. Aku menunduk kepala sedikit, berusaha menyembunyikan senyum hambar. Kamu berlalu bersama gadis itu. Usailah cerita kita.
Kamu; si lelaki pencuri bulan, membiarkan bulan malam itu menjadi sabit. Kamu memotongnya, menawariku apakah aku akan menyimpannya untukmu. Untuk kita. Kukatakan padamu, aku tidak ingin mengusik malam. Dan, kamu mengembalikan rembulan di tempatnya menggantung – atau justru kamu berikan pada gadis itu? Tapi, kuyakin ia pun tidak menyimpannya, sebab rembulan tepat ada di atas kepalaku. Kini, rembulan melihatku; menertawaiku.
*ini kamu; si pangeran rembulan; yang kutulis kisah-kisahnya dalam episode Still. Sebab, rembulan masih menggantung di sana. Masih.

0 Comments:

Post a Comment