Thursday 19 June 2014

Earth Hour Tangerang : Ini Aksiku, Mana Aksimu?

Bukan organisasi, bukan pula komunitas. Melainkan berupa gerakan dari satu individu ke individu lain, melakukan suatu hal sederhana untuk tujuan besar. Berawal dari niat, kesadaran dan kepedulian. Sejumlah tangan diulurkan, merangkul Bumi yang tengah rapuh. Bersama menyebarkan virus ‘hijau’ dan menjadikan green lifestyle sebagai trendsetter baru. Itulah Earth Hour Tangerang. Gina Karina sebagai founder utama, bersama anak-anak peduli lingkungan lainnya memulai gerakan hijau Earth Hour Tangerang ini pada tahun 2008 dibawah naungan Earth Hour Indonesia dan diresmikan di pusat Kota Tangerang lewat selebrasi pada tahun 2012.
Selama gerakannya, masalah lingkungan utama yang sering kali ditemui di Tangerang adalah sampah plastik. Ini dikarenakan kantong plastik yang sering kali digunakan dalam kebutuhan belanja sehari-hari.
“Kami punya gerakan yang dinamakan Diet Kantong Plastik (DKP). Dalam gerakan ini, kami kami tak meminta masyarakat menghentikan penggunaan plastik, tapi menguranginya,” ujar Dessy Iwanti, salah satu relawan di bidang jejaring media Earth Hour Tangerang dengan senyum kecil. Diakui rekannya sesama relawan, Kelik Fidwiyanto, tumpukan sampah plastik di pintu air dan bantaran sungai menjadi pemandangan sehari-hari di sekitaran sungai Kota Tangerang. Maka itu, Earth Hour Tangerang dengan serius menanganinya dengan program penukaran 10 kantung plastik dengan satu tas belanja ramah lingkungan (reusable-bag).
Sikap konsumtif dan apatis menjadi akar permasalahan lingkungan di Kota Tangerang disetujui oleh Kelik dan Dessy. Kurangnya kebijaksaan masyarakat dalam pemakaian energi dan mengonsumsi makanan berdampak pada gaya hidup yang jauh dari hijau. Tingkat kesadaran yang rendah dan tidak mau tahu menyulitkan diri untuk peduli sekitar. Untuk itu, tema Hari Lingkungan Hidup Sedunia yang jatuh pada tanggal 5 Juni kemarin menjadi refleksi penyelesaian sebab masalah lingkungan.
“Think. Eat. Save. Tema ini memiliki sejuta arti hijau. Think berarti kita berpikir tindakan yang kita lakukan menyumbang karbon bagi Bumi atau tidak. Eat berarti menghindari budaya konsumtif, memakan makanan secara bijaksana dan tidak menyisakan makanan. Save berarti saat kita sudah mampu melaksanakan kedua hal tersebut, kita tengah menyelamatkan,” tutur Kelik, seorang lelaki berkaca mata bingkai hitam ini dengan ramah. Dalam mewujudkannya, Earth Hour Tangerang yang bergerak secara volunteer dan nonprofit ini punya cara unik, yaitu melaksanakan program KUMBANG dan LAKSA.
LAKSA adalah Latihan Kepemimpinan Bersama, yang diisi dengan permainan-permainan tradisional yang diikuti oleh para relawan. Sama halnya setiap permainan, selalu ada yang menang dan kalah. Untuk yang kalah, akan diminta menyiram tanaman, menanam pohon atau membersihkan puing sampah. Nama LAKSA sendiri diambil dari nama makanan khas kota Tangerang. Setelah mengikuti LAKSA, biasanya program selanjutnya adalah KUMBANG (Kumpul Belajar Bareng), ini lebih mengarah pada pembinaan dan pengenalan kepada para relawan tentang apa itu Earth Hour. Sesekali, Earth Hour Tangerang juga mengadakan school campaign dan street campaign. Sejenis kampanye yang menghimbau masyarakat secara dini untuk melakukan aksi peduli lingkungan sederhana seperti menggunakan transportasi publik untuk mengurangi polusi, mematikan listrik, membawa tas belanja sendiri dan lainnya. Kampanye ini juga menggunakan tagline ‘Ini Aksiku, Mana Aksimu’, sebuah tagline khas Earth Hour yang menantang diri sendiir untuk bergerak melakukan aksi peduli lingkungan yang nyata.
Bagi Earth Hour Tangerang, ketika kita tengah melakukan aksi peduli lingkungan, sesungguhnya kita bukan menyelamatkan Bumi, tapi menyelamatkan diri sendiri. Sebab, Bumi adalah tempat tinggal kita. Selamatkan Bumi sekarang atau kita membunuh diri kita sendiri. Maka, kita bersama tunjukkan aksi peduli kita. Kepedulian terhadap Bumi bukan kepedulian seorang diri, melainkan kepedulian bersama. Dan misi kepedulian ini adalah misi tanpa akhir.
“Jikalau Bumi memiliki kaki, ia akan menendang. Jikalau Bumi memiliki tangan, ia akan menggaruk. Jikalau Bumi memiliki hati, ia akan mengamuk dengan begitu sakit dan perih. Namun, Bumi tak memiliki itu semua, kini ia tak berdaya. Maka, lewat gempa, banjir, tanah longsor dan bencana lainnya, Bumi tengah berbicara pada kita. Marilah bersama kita peduli, mulai dari diri sendiri dan berangkat hal kecil,” jelas Kelik penuh arti menutup wawancara panjang yang berlangsung di salah satu resto donat yang sepi siang itu. (ver/ft.dok EHTangerang)
*artikel ini pernah dimuat di Tabloid Banten Muda no. 17, edisi Generasi Hijau
This entry was posted in

0 Comments:

Post a Comment