Thursday 19 June 2014

Terjebak Nostalgia

" … aku membayangkan kamu, beberapa tahun dari sekarang, menandatangi bukumu sendiri di sebuah acara premiere film yang diangkat dari kisah di novelmu. Dan aku berdiri di antara sesak kerumunan orang itu.” – ujarnya tadi malam.

Aku menderai tawa, tawa itu lama-lama memudar, menjelma menjadi setangkup rindu yang menyengat di labirin hati. Ponselku bergetar sekali lagi; kawan jauhku sekaligus teman seperjuanganku itu kembali mengabarkan kenangan. Aku memejamkan mata, ketika kubuka, ia sudah mementaskan kelebat bayang lampau tiga tahun lalu. Pementasan yang mengecamukkan kalbu, meremuk redam hati agar mendiamkan rindu, sebab ini pementasan kenangan yang paling sunyi – ia bersetubuh langsung dengan angan-angan untuk meloloskan temu.
“…kau bisa bermain piano?” tanyanya sembari melirik sepotong daging ayamku yang hanya tersentuh seperempat, belum pernah kukatakan padanya jika aku vegan, mencoba memakan daging sama saja menantang tubuh untuk menyicipi racun. Mataku beralih pada seonggok piano hitam yang bermukim di sudut resto ayam, lantas tersenyum dan menggeleng pelan. Ia belum menyerah untuk mengobrol denganku di tengah riuhnya resto, mataku juga masuh memaku pada manik hitam matanya yang dibingkai kaca mata kotak. Kami terlibat obrol ringan yang panjang tentang dunia teater dan drama – jelas sekali ia menguasai bidangnya, itu bisa ditebak dari suaranya yang khas. Aku mengira obrol yang memerangkapkan tawa, senyum dan kehangatan dalam satu ruang di hati itu tak akan berlanjut. Namun, aku tak pernah tahu bagaimana waktu menulis skenarionya – mungkin di sebuah kamar sepi terkunci dan hanya hening yang mampu membaca dan mengetahuinya. Kami kembali dijerat temu, kali ini ia membahas hal-hal yang kerap kali konyol. Mengomentari wajah smiley yang entah bagaimana, bisa tergambar di kardus latopku, dan ia mengajakku untuk bergelayut dalam misteri kecil itu. Menerka-nerka siapa penggambarnya, menduga – mungkin saja dua lelaki yang menjadi guide kami berdua itu, yang iseng mencoretnya. Aku larut dalam canda, aku tenggelam dalam dunianya yang ringan dan penuh tawa di tiap untai detiknya. Kamu mungkin tidak mengerti apa yang tengah ingin kusampaikan dan kukisahkan padamu tentangnya, tapi, ini memang sebongkah persahabatan yang tidak harus dimengerti. Ini persahabatan dimana kamu hanya perlu menjalaninya, merasakannya dan memeluknya.
Dan, ia adalah kawan jauhku, yang ingin sekali lagi membingkai kebersamaan dengannya dalam potret foto. Kawanku dengan kerudung putih khasnya, dengan kaca mata kotaknya, dengan kulit cokelat gelapnya, telah berhasil menjadi bagian dari kenangan pelangi di salah satu ruang hatiku.
“..kutitip rindu,”
“..kuselip cinta,”
“yang sudah kutawarkan pada waktu untuk ditulisnya dalam skenario temu kita.”
Kami mengangguk. Ini penggal tulisan rinduku padamu, Nurjihan Fahira.

1 comment:

  1. Makasih veroooo, aku terharuuu :""") Ini secuil komen rinduku padamu, Veronica Gabriella

    ReplyDelete