Wednesday 13 August 2014

This Street Fill with Memories

Sunyi menimbun ruang ini berlapis-lapis
Ada kalbu yang tak tahu bagaimana menepis
Sukma menangis sedari tadi mengais-ngais
Harapan dan rindu yang begitu hening mendesis
 
Kemarin, sepenggal malam mengajakku menelusuri sebuah jalan raya yang memanjang dan berkelok-kelok hingga ke rumahmu. Suara kendaraan yang melaju cepat nan lesat, menembus sunyi yang mulai menyetubuhi jalan beraspal. Mereka; menjadikan jalan raya tempat kita berdua menyimpan cerita di tubuh hari-hari sebagai ajang balap – membalap. Tak tahu jua kita, jikalau kita pun saling menderukan mesin dan berlomba; layaknya kontes, siapakah paling cepat yang mampu membunuh rasa.
Aku membelah jalanan yang mulai lenggang dengan perlahan. Mataku sampai pada tepian jalan, dekat arus kali besar yang sempat kita lewati berdua di kala hujan mengguyur kota. Kamu tertawa karena aku terus mengomel ketika air kali itu meluap dan memandikan kaki-kakiku. Lantas, kita mencari bahu jalan yang lebih tinggi, dekat dengan lampu merah yang menyala nyalang, berdiri di sana dan mencumbui bisu kita berdua. Menekan rasa yang mungkin saja bergejolak hingga kita bertindak bodoh. Maka kita memilih diam, menyekat kata dari pita suara sampai bungkam. Tapi aku tahu, lewat mata jenakamu yang terlempar ke sana- ke mari, kita berbicara lebih banyak dibanding kalimat-kalimat yang bisa diuntai kata.
Bayangku pernah di sana. Dan aku tahu, biarpun debu dan asap memeluk tubuhku dan memain-mainkan anak rambutku, setidaknya pernah ada kamu di sampingku; yang sempat mengubah lalu lalang kendaraan bersuara bising menganggu, menjadi tempat menaruh bisik-bisik harapan rasa yang tak kita sentuh.
Belokkan pertama menjadi pilihanku. Rasanya seperti pertanda jika akan ada pusaran besar yang menarik kita berdua masuk. Tapi kamu punya lebih banyak pilihan dibandingku; tetap tinggal dan terbunuh bersamaku, ataukah kembali pada perempuan bermafela salju dengan dress merah jambu berpolkadot. Alih-alih memilih keduanya – kamu justru memilih persimpangan lain, berupa rumah masa lalumu. Aku berteriak memanggilmu di pusaran gelap, bermegap-megap, sesak dan setengah merangkak; “terlalu dungu untuk kembali pada luka-luka lampau yang hanya mampu membelenggumu dalam harapan semu. Angan dan lalu tak akan bersatu”.
Pernahkah kubilang padamu? Jalan dari tempat kita menimba canda tawa dan mendulang air mata hingga ke rumah persinggahanmu selama tahunan ini, adalah jalan yang dilumuri kenangan. Hinga berhasil membuatku terseok-seok setiap kali melewatinya. Belum lagi, malam-malam yang sendiri nan sulit harus kulalui dengan mimpi-mimpi hening akanmu.
Nyatanya, hanya aku yang berusaha mengetuk-ngetuk labirin hati yang sudah membeku.

0 Comments:

Post a Comment