Monday 13 October 2014

Tetapi-tapi


Berbulan-bulan lalu, aku memutuskan untuk berhenti menulis buku yang mengisahkan curahan hati akan rasa. Aku lelah merangkum kenangan si pangeran bulan dalam bintang jatuh, letih merapikan serakan rindu si lelaki pecinta teh dalam hujan, dan …

… menyerah ketika mencoba menerjemahkan diam si lelaki yang dikurung bisu dalam remang lampu kota. Tapi di tiap sudut malam, ketika hening merangkak pada kenang yang menghitam, cerita tentangmu kurajut diam-diam.
Kamu mengenakan jaket kelabu siang ini. Duduk membelakangi jendela tempat matahari siang mengintip perlahan. Tubuhmu menjelma siluet. Aku sudah siap memalingkan wajah, kukatakan pada kawan di sebelahku ketika itu; rasa itu pelan-pelan akan lesap. Dan, waktu-waktu tunggu yang kamu biarkan menggantung akan membantuku. Tapi di tiap siang yang sendiri, ketika sunyi bersembunyi di balik keramaian yang mengunci, bayangmu kulukis di bilik hati.
Semoga kamu berhasil. Selamat, aku yakin kamu bisa meraihnya! Rasanya aku sudah diberangus bodoh dan tolol; bercakap sendiri di hadapan selembar poster bercetakkan wajahmu yang terbentang di majalah dinding kampus. Dan kamu tetap mematung dengan lengkung senyum yang dipotret diam. Kamu punya bayang yang menghantu dan senyum yang mengukung. Aku takut, selama ini aku hanya menggantung pada asa semu. Tapi di tiap gurat senja, ketika lara menjelma gundah yang maha, terbit rasa yang tak tereja.
Apakah kamu mengingat obrolan di ujung pagi itu?
“Boleh tahu namamu?”
Kamu melempariku dengan tatap bingung. Senyap adalah balasanmu. Dan mataku meniti kartu nama yang terkalung di lehermu. Kamu tak perlu menjawabnya, sama ketika sajak demi sajak teruntai untuk mengisi waktu tunggu. Mungkin ada tikungan dimana aku bisa menyerah dan tak lagi tergugu olehmu. Tapi di tiap pagi buta yang kuingat, ketika namamu pertama kalinya menyengat, hatiku sudah siap tertambat.
Maka, jangan buat segalanya terlambat.

0 Comments:

Post a Comment