Monday 28 April 2014

It Would Be A Mistake

Malam ini untuk pertama kalinya, aku berhenti menuliskan kisah kita. Sebab kau bilang, ini sebuah kesalahan. Kita berjanji untuk bertemu di tubuh subuh, pukul satu atau dua pagi. Seperti biasa, setelah mencumbui sunyi dan menyetubuhi malam, kita kembali bertemu. Menukar obrol panjang layaknya sahabat yang tak bertemu sekian lamanya waktu. Namun, senja saja belum benar-benar beranjak, kau sudah menyapaku. Kau bilang, ada yang ingin diceritakan. Tentang remuknya hatimu. Tentang hal-hal lampau yang masih menjeratmu. Dan kutepuk pundakmu; cinta itu layaknya permainan truth or dare. Berani jujur mengungkap perasaanmu ataukah memilih tantangan untuk jatuh pada segala resiko akan luka.
Malam ini untuk kedua kalinya, aku berhenti menuliskan kisah kita. Sebab kau bilang, ini sebuah kesalahan. Kau jelaskan padaku sekali lagi bagaimana seseorang dari pigura masa lalumu membayangimu terus-menerus. Bagaimana kau pertama kali bertemu dengannya, menyebut namanya dengan panggilan yang berbeda, menghabiskan waktu bersamanya; waktu yang kau bilang terindah yang pernah kau lewati, dan menyentuhnya dengan penuh perhatian.
Malam ini untuk ketiga kalinya, aku berhenti menuliskan kisah kita. Sebab kau bilang, ini sebuah kesalahan. Aku merengut dari ruang tempat kita bergurau, saat kutahu kau bilang rasa ini hanya menyiksa. Sedangkan kau sendiri tak pernah tahu mana yang lebih menyiksa, melihat kau sudah menjelma budak masa lampau karena sebuah kesalahan yang kita tahu ataukah ketidakmampuan kau beranjak dari seseorang yang membuang rasa.
Maka, malam ini untuk terakhir kalinya, aku tetap melanjutkan tulisan akan kisah kita. Biarlah masa lalumu tetap menjadi sebuah kesalahan. Tanpa kau tahu, jika aku pun telah melakukan kesalahan.
Aku adalah sebuah kesalahan ketika mencintamu. Dan kau adalah sebuah kesalahan itu.

Sunday 27 April 2014

The Art Of Beauty

Ingin sekali aku mengatakan padanya sebuah percakapan yang ada di kepalaku padanya.
“Aku ingin kamu tahu, jika kamu adalah karya seni Tuhan yang terbaik dan memesona."
“Tidak, aku jelek. Tiap kali aku menyapa bayanganku di cermin, aku hanya mendapati air mataku yang terus jatuh, melihat seberapa buruk rupa dan upik abu-nya aku.”
“Kamu pernah ke pameran lukisan? Sini, biar kuajak kau. Kau lihat lukisan-lukisan ini?”
“Ya, tidak ada yang bagus. Semuanya hanya berupa goresan kacau dan warna yang dimainkan asal-asalan. Pelukisnya seperti tidak mengerti cara melukis!”
“Kamu salah. Justru, lukisan yang kamu bilang paling jelek itu adalah lukisan yang termahal yang dilelang di pameran ini. Kamu hanya tidak mengerti arti mendalam dibalik karya lukis itu. Tidak semua orang bisa menikmati dan mengerti makna lukisan itu, hanya orang-orang tertentu saja.”
“Aku semakin tidak mengerti maksud lukisan itu dengan obrolan kita tadi.”
“Kamu dengan lukisan tadi sama. Kalian adalah maya karya. Mungkin banyak yang mengolokmu kamu jelek, seperti kamu mengolok lukisan itu. Sebuah maha karya memang tidak dapat dimengerti dengan mudah, perlu penghayatan tinggi untuk menemukan kecantikkan dan keindahannya. Justru itulah yang membuatnya mahal dan begitu berharga. They just like you. It called the price of beauty. Art of beauty.”
Tiba-tiba, anak yang tengah menangisi dirinya di depan cermin itu terdiam. Ia melirik ke arahku.
“Tuhan adalah seniman terbaik, terlebih ketika menciptakanmu. Dan, satu lagi. Dia tak pernah salah.”
Lalu, kulihat seulas senyum tipisnya di pantulan cermin. Ia begitu cantik. Aku ikut tersenyum.
This entry was posted in

Wednesday 23 April 2014

The Feeling Undone



Aku selalu menyukaimu. Saat yang lain mengatakan padaku untuk tenggelam dalam buai simfoni malam. Ketika yang lain mendesakku untuk berhenti menantang malam. Di samping yang lain memintaku untuk tidak mencumbui radio malam. Kau datang; tidak di sebelahku, tidak juga di depanku, tidak di belakangku. Tidak dimanapun yang mereka harapkan dekat denganku. Lalu, aku kerap kali bergurau tentang bagaimana kau muncul dimana-mana. Kau hanya tersenyum simpul dengan penuh jenaka. Sekali lagi, tanpa kau tahu, kau berhasil menerbitkan seulas senyum kecil di bibirku. Di sunyinya pertengahan malam. Di heningnya cengrama malam. Di diamnya tubuh malam. Kita tertawa hingga larut dalam lelap.
Aku selalu menyukaimu. Kau mungkin tak pernah tahu, sebab kita selalu bersembunyi dibalik kata kawan, teman, sahabat, saudara bertahun-tahun ataupun  apapun itu yang menggambarkan ketidakmampuan aku maupun kamu untuk mengungkap rasa. Tapi, jikalau saja kau bisa menjajaki ruang hati ini; yang tiap pertengahan malamnya, selalu senyap oleh buncah-buncah rindu akan bayangmu, selalu terluka oleh momen lampau akanmu yang tak akan terulang. Jikalau saja kau bisa menyelam lebih jauh ke dalam mata ini; yang tiap menyapamu, selalu berbinar, selalu mencari celah waktu untuk singgah manik matamu yang sering kali kau mainkan.
Aku selalu menyukaimu. Dan, apabila kau jawab bisa, maka kau akan tahu satu hal; ini pendam rasa yang begitu indah yang pernah kutahu. Tak perlu banyak kata untuk mengurainya. Hanya perlu dua hati yang berani untuk berkata iya. Maka, ia akan terajut dengan sendirinya. Bukan aku lagi yang harus terus menulis tentangmu agar tidak terlupa. Bukan kau lagi yang harus bertanya tentangku agar tidak tersamar. Bukan kita lagi yang harus ragu mencipta janji. Tapi, sebongkah rasa yang akan berbicara. Tentang kita dan bisik hati yang tak tersampaikan.
Dan, dua kata itu berganti …
Aku selalu mencintaimu.

Saturday 12 April 2014

Cold As You



Lagi-lagi, aku menyapa pertengahan malam dalam kubang kesendirian. Kali ini tanpa cangkir apapun; kopi ataukah cokelat panas yang sering kau tawarkan padaku sebagai pengganti mug besar teh earl grey yang kuhabiskan di tiap senja. Aku menarik bangku ke depan layar komputer, hanya menatap layar kertas kosong yang belum juga kutuliskan serangkaian kisah; yang akhir-akhir ini sering kali kau memaksaku untuk menyelesaikannya. Hingga aku bertanya sendiri pada kesunyian yang menyeruak dari sudut kamarku; bagaimana aku mampu mengurai benang cerita ini, ketika aku masih terpaku pada ponsel yang membisu sepanjang malam di sebelahku. Aku beringsut dari tempatku duduk, menyibak gorden jendela, berusaha membuka kusen jendela yang kayunya sudah lapuk di sisinya. Membiarkan udara malam bermain-main di ruang kamarku. Rasanya dingin menusuk ke dalam tulang.   
Lagi-lagi, aku menyapa pertengahan subuh dalam kubang kesendirian. Kali ini tanpa stasiun radio apapun; lagu-lagu yang dikicaukan burung hantu yang sering kau jejalkan padaku tiap siang untuk membunuh kebosanan. Aku bergulung dengan harap yang sudah sampai di tepian, bertanya padanya bagaimana. Ia hanya menjawab tak pasti. Aku tersenyum letih, semua harap yang berkaitan dengan kau memang tak pernah pasti. Terlebih kilau jenaka matamu selalu menawarkan beribu ragu untukku. Aku jadi teringat perbincangan kita mengenai hari hujan yang dingin. Aku pun merebahkan tubuh, menarik selimut hingga ke ujung kepala, membenamkan harap dalam mimpi-mimpi.
Lagi-lagi, aku menyapa pertengahan senja dalam kubang kesendirian. Kali ini benar-benar tanpa siapapun; anak-anak kecil yang berlarian di seberang kompleks rumah yang sering kali kuamati sebagai iringan khas senja. Siluet bayang berkali-kali menjadi lukis utama sore hari, menampakkan sosokmu yang bungkam. Bahkan sebelumnya, aku tak pernah mendengar bisu yang begitu diam seperti kau. Jadi, masa-masa emas kita layaknya gurat emas di cakrawala senja hanya mampu bertahan tiga hari sebelum semuanya memudar. Sepertihalnya gurat emas sore yang memudar, bergerak dan lenyap sebagai gelap malam.
Aku teringat pertemuan kita di persimpangan akhir menuju rumahmu, tanpa apapun kecuali dingin yang membeku di dalam matamu. Aku memanggil namamu berulang kali, tapi kau masih saja melangkah. Sampai akhirnya kutepuk pundakmu, matamu singgah sejenak. Memberi jawab yang membuatku terlihat bodoh. Selama ini aku bertingkah gila hanya untuk mendapat sebongkah hati yang sudah membeku, rasanya dingin. 
Aku tidak tahu kapan kau menjelma menjadi udara dingin di pertengahan malam, menjadi hujan dingin di pertengahan subuh, dan menjadi kenangan dingin di pertengahan senja. Dan menjadi bayang dingin di pertengahan hati yang menuju luka.
“Something’s made your eyes go cold. Stood there and watched you walk away. Something’s gone terribly wrong. Won’t finish what you started. Don’t leave me like this. I thought i had you figured out.” – Haunted, Taylor Swift

We Were Happy

“Hey, ayo foto-foto dulu. Kan ini terakhir, buat kenang-kenangan,” ajak salah satu kawan kelasku, sedangkan aku tengah sibuk mendengar lagu. Aku masih belum beranjak dari tempatku duduk, lalu semakin banyak kawanku yang menepuk pundakku, menarik lenganku. Mengajakku larut dari apa yang kita sebut, bagian dari potret perpisahan. Aku pun bangkit, ikut berfoto bersama. Tersenyum, memeragakan sejuta gaya. Semuanya masih berfoto, melakukan selfie disana-sini. Tertawa penuh riang. Namun, di mataku, seolah semuanya bergerak lambat.
Lalu, aku terhempas jauh.
Tiga tahun lalu, aku juga mengalaminya. Dan, itu menyakitkan. Mengulas senyum kecil di sudut bibir untuk lensa kamera. Memeluk kawan dan sahabat bergantian, membisikkan kalimat pada mereka jika kita akan menjadi sahabat selamanya. Mengatakan jika mereka adalah yang terbaik yang pernah aku miliki. Mengemas kado-kado kecil untuk penghargaan sederhana bagi para guru dan sahabat terdekat. Perayaan itu selesai. Kita; satu sama lain, mengucap apa yang menjadi pesta utama. Pada akhirnya kita bermuara pada satu kata itu. Senyum itu akhirnya berubah menjadi suatu hal yang dipaksakan. Peluk erat yang melebur menjadi tetes-tetes air mata. Tidak ada yang sanggup mengucapkannya.
“Goodbye,” ujar sebuah suara di kejauhan.
Lalu, aku terhempas jauh.
Ini tak pernah mudah.
Seseorang mengatakan padaku, ada kata ‘good’ pada kata ‘goodbye’. Berarti, Tuhan sesungguhnya memberikan ruang terbaik setelah kita mengucapkan perpisahan. Namun, aku hanya mengangguk dan air mata itu terus menderas. Salah seorang guruku pun menghampiriku, memberiku sebuah gelang karet kuning sederhana bertuliskan namaku. Beliau memakaikannya di pergelangan tangan kananku. Beliau melempar senyum hangat, mungkin gelang karet sederhana itu memiliki arti lain. Jika hidup ini seperti sebuah lingkaran, kita tidak tahu dimana sisi kita harus singgah dan akhirnya berpisah, lalu singgah lagi. Berpisah lagi. Sebab, hidup memiliki banyak sisi. Namun, walau memiliki sisi tak hingga, lingkaran tak pernah terputus. Tetap erat. Saling berhubungan.
Lalu, aku kembali pada diriku di tengah kelas yang sedang berpose senyum terbaik demi bidik kamera.
“Pernah denger lirik lagu dari Drive gak? Perpisahan bukanlah duka, walaupun menyisakan luka. Itu bener, perpisahan bukan duka untuk ditangisi dan dibuat sedih, maka itu kita menyebutnya pesta perpisahan. Pesta identik dengan kebahagiaan. Mungkin menyisakan luka, itu juga bener. Karena luka mengajarkan kita hal baru dan membuat apa yang pernah kita miliki adalah sangat berharga,” celetuk salah seorang anak. Setelahnya, hanya ada senyap.
It almost farewell party. Yes, we were happy.


Love Will Find A Way



Aku menepuk pundak sahabatku lembut, bertanya padanya apa yang tengah ia perhatikan. Ia menatapku sejenak, lalu tersenyum penuh arti.
“Mereka bertengkar lagi,” ujarnya diikuti tawa getir. Aku membalas tatapnya tidak mengerti. Bukan tawa geli atau tawa kecil yang diberikannya, namun tawa getir, mendekati hambar.
“Siapa?” tanyaku pelan. Sahabatku memberi isyarat padaku dengan sudut matanya. Aku mengikuti arah matanya yang berhenti tepat di dua bangku belakang. Seorang perempuan dan laki-laki. Setahuku, mereka bersahabat baik. Dan, benar kata sahabatku, mereka sering kali bertengkar. Mendebat hal kecil, berujung hal yang tidak pasti. Tak ada yang ingin mengalah, namun pada akhirnya mereka kembali bermain bersama.
“Mereka saling mencintai. Si perempuannya mencintai dengan cara meminta si lelaki untuk mencintai perempuan lain yang si lelaki tengah incar. Sedangkan si lelaki sesungguhnya pura-pura mencintai dan mengincar perempuan lain untuk mendapat reaksi dan perhatian dari si perempuan,” celetuk sahabatku itu dengan suara parau. Aku terkejut, meliriknya cepat.
“Maksudmu?” tanyaku kaget. Mungkin itu pertanyaan terbodoh yang pernah kuajukan. Aku hanya tengah meredam hati yang tiba-tiba berkecamuk.
“Kau tahu, Ver. Mereka mencintai dengan cara yang salah. Ada yang bilang seperti ini; if you love someone, don’t flirt with the opposite sex, don’t create misunderstanding,” sahut sahabatku itu lagi, lalu ia hendak berlalu. Sebelum ia benar-benar pergi, aku menahan lengannya. Ia hanya tersenyum kecil. Lagi-lagi senyum getir, hambar, penuh arti. Hanya kombinasi yang kubaca sebagai satu; luka. Apa mungkin, yang terluka tidak hanya kedua orang yang tengah kita bicarakan tadi? Ataukah kita berdua juga terluka? Menyimpan rasa diam-diam, tak terucap. Lantas, siapa yang mencintai dengan cara yang salah?
“Tak perlu khawatir. Bukankah kita tahu dan yakin? What's meant to be, will always find its way. Cinta selalu punya jalan dan caranya sendiri untuk pulang. Love will find a way.”