Friday 16 January 2015

Kisah Hujan yang Berwajah Muram dan lain-lain



1
Tadi pagi, aku pulang dengan hujan di sekujur tubuhku. Habis menemui seseorang yang kemarin malam meneleponku agar datang mengunjunginya. Katanya, ia ingin bercerita. Akhir-akhir ini, ia mengaku, ada monster yang hidup dalam kepalanya. Monster itu bergelayut gelisah, selalu berhasil meresahkannya tiap hujan menjelang. Maka itu, saat aku menyambangi rumahnya di pagi yang berkabut oleh mendung, ia menggelepar di lantai kamarnya. Ia baru menyadari, itu bukan monster. Melainkan sosok bayangan seseorang dari masa lalu. Sementara ia terkapar dengan mata yang seakan siap mengibarkan ruh, sudut mataku sempat singgah di halaman belakang rumahnya yang menguarkan bau busuk menyengat; segumpal daging merah berdarah yang sudah busuk tergeletak di sana. Tiba-tiba ia berteriak meminta maaf dan memohon ampun. Aku gemetar, membayangkan ada hantu yang tak bisa ia bunuh, bersarang di kepalanya. Tiap hujan menjelang.
2
Tadi siang, aku pulang dengan hujan di sekujur tubuhku. Baru saja aku kopi darat dengan salah seorang sahabat jauhku. Matanya sembab, ia ingin berbagi cerita hatinya. Kedai kopi kecil di pinggiran kota menjadi tempat temu kita. Aku memesan poci kopi untuk menghangatkan tanganku yang mulai gigil disergap udara dingin hujan, sedangkan ia tidak memesan apa-apa. Wajahnya pucat, sedari tadi ia memegangi perutnya. Sesekali ia meringis di sela-sela ceritanya. Ia bilang, beberapa minggu lalu ia menjalin kasih dengan seorang lelaki. Aku tertarik, itu yang memang ingin kutanyakan, ia sempat berseri-seri di ruang obrolan virtual ketika mengisahkannya padaku. Tapi kali ini berbeda. Ia justru menangis, seakan ceritanya bisa kubaca dan kudengar lewat isaknya. Sayup, di antara isaknya yang semakin gaduh dan berhasil mencuri perhatian pasang mata orang di kedai itu, aku mendengar patah-patah katanya. Tentang segenggam nyawa yang sempat hidup di perutnya dan ia keluarkan secara paksa; pada sebuah hujan yang deras, dan air matanya terkuras.

3
Tadi sore, aku pulang dengan hujan di sekujur tubuhku. Seorang kawanku yang sudah resmi berseragam polisi setahun lalu, menghubungiku. Katanya ia tengah menangani kasus yang mengusik nuraninya. Ia katakan padaku, ada seorang perempuan yang membunuh kekasihnya di rumahnya. Diduga karena perempuan itu dendam pada kekasihnya yang sempat memaksanya untuk membunuh janin di rahimnya. Fakta yang mengejutkan kawanku itu, kekasih perempuan itu membuang ‘mayat’ janin ke halaman belakang rumahnya. Membiarkan gumpal darah itu teronggok mengerikan disapu derasnya hujan. Kekasih perempuan itu memang gila, dikenal tetangganya sering kali berteriak-teriak dan menggelepar sendirian di lantai rumahnya tiap kali langit berkabung dalam hujan. Wajahku mengeras, kutanyakan pada kawan polisiku, apakah perempuan itu ditahan, kawanku bilang, perempuan itu mati bunuh diri setelah menghabisi kekasihnya. Aku diam, nafasku bagai lesap. Mataku mengikuti tiap rintik hujan yang jatuh, aku merasa hujan hari ini begitu panjang dan gelap, seperti melagukan kesedihan dan duka tak berkesudahan.

0 Comments:

Post a Comment