Sunday 8 February 2015

Aku Melihat Hantu pada Puisi-puisimu


Apakah kamu pernah datang ke suatu tempat karena sebuah janji dengan seseorang, lalu seseorang itu sudah memesan tempat dan minuman untukmu. Lalu, ia menunggumu agar datang – sesungguhnya, kamu sudah datang bermenit-menit lalu, hanya saja kamu tidak menampakan diri. Kamu justru mencari dinding gelap, pepohonan atau bahkan tubuh malam, berusaha menyembunyikan dirimu darinya. Aku pernah melakukannya. Pada sepenggal malam, disaksikan selengkung sabit yang bertanya-tanya.
Ia adalah lelaki yang pernah mengirimiku pesan. Ia bilang jika ia membaca puisi-puisiku di sebuah situs. Dan, katanya ia terjebak. Sejak itu ada hantu yang menggangu tidurnya, dan ia takut hantu itu berwujud aku. Aku tergelak ketika membaca chatnya, bagaimana mungkin kamu bisa menyatakan ingin kopi darat dengan menyebutnya hantu? Tapi, itu yang membuatku tertarik padanya. Malam itu kita bertemu, dan dia masih berbicara tentang sosok-sosok hantu yang membuatku benar-benar terganggu – karena rasanya aku juga pernah mendengarnya. Aku curiga, mungkin saja ia berkata jujur; jika ada hantu bermukim di antara larik-larik puisiku. Dan, ketika ia memintaku untuk menemuinya sekali lagi – malam ini, aku memilih bersembunyi; mencoba menjadi hantu.
Aku menangkap kegelisahannya – memesan bercangkir-cangkir kopi, menyala-matikan laptop, memandang resah layar ponsel dan mengumpat sesekali. Aku mencoba mengingat-ngingat puisi-puisiku di situs itu, dan mengapa aku menulisnya. Gonggongan anjing yang terdengar di balik semak-semak, membuatku tersadar. Itu puisi yang aku tulis tentang seseorang – yang berpulang bulan kemarin, setelah tubuhnya ditemukan membusuk di dalam kulkas pada rumahnya. Sebelumnya seseorang itu pernah menemuiku dan bilang, ia takut pada seorang lelaki yang mengatainya hantu. Membentaknya dengan kata hantu. Padahal, lelaki itu sendiri yang bagai hantu dalam hidupnya.
Aku gemetar. Lelaki itu menatapku dengan mata cokelatnya yang berkilat di antara remang lampu kafe. Itu lelaki yang pernah mengatakan seseorang dalam puisiku sebagai hantu – aku baru ingat. Dan, kini seseorang itu benar-benar menjadi hantu seperti yang lelaki itu olokkan padanya. Hantu yang tak hanya berumah di puisi-puisiku, tapi juga tubuhku, yang kini beringsut keluar dari balik pohon. Menyambar sebuah batu besar, menyembunyikannya di belakang punggungku, menunggu waktu yang tepat untuk mendarat pada kepala seorang lelaki yang semasa hidupnya mengoloknya hantu.
aku melihat hantu pada puisi-puisimu. Aku tertarik. Karena hantu itu sebelumnya adalah kekasihku.
This entry was posted in

0 Comments:

Post a Comment