Sunday 22 February 2015

Indah Hanaco: Tulislah Apa yang Kamu Suka, karena Tulisan yang Baik adalah yang Ditulis dengan Hati


Pagi itu pada hari kasih sayang (14/2), di Function Room Gramedia Matraman, digelar Gathering and Fun Writing Workshop Menulis Romance bersama Indah Hanaco dan Jenny Thalia. Kegiatan yang diselenggarakan oleh penerbit Elex Media Komputindo itu dibagi menjadi 3 segmen. Dua segmen di awal adalah sharing bersama kedua penulis, dan penerbit (juga editor). Segmen terakhir adalah praktek mengekseskusi ide menjadi outline. Ketiganya dipandu oleh marcomm Elex Media, Intan. Dan, sharing yang penuh cinta itu pun dimulai.

Aku duduk dua bangku dari depan, dan menyimak sesi sharing bersama penulis dari Indah Hanaco. Beliau yang hari itu tampil dengan blouse jaring-jaring berwarna pink-keunguan dan rok hitam selutut, berbagi cerita panjang mengenai pengalaman kepenulisannya.
 “Pertanyaan paling dasar ketika mulai menulis adalah bagaimana mendapatkan inspirasi. Aku cuma bisa bilang, itu muncul dari mana saja dan kapan saja. Contohnya karyaku yang berjudul ‘After Sunset’, itu inspirasi awalnya dari baca tweet-tweet Wow Fakta,” ujar beliau, yang kerap menulis sambil membuka-buka KBBI. Tak hanya dari tweet-tweet yang random, tapi bahkan dari sepotong dialog film yang selalu tertancap di kepala atau iklan yang terus-menerus terngiang, bisa jadi bahan tulisan untuk Indah Hanaco. Jadi, jika ada sesuatu hal yang mengundang ekspresi kita, langsung ditulis saja, tidak harus menjadi tulisan yang bagus, karena pada dasarnya: yang penting menulis terlebih dulu. Ketika itu, aku jadi ingat satu quote ini: “menulislah yang buruk, kamu selalu punya waktu untuk mengeditnya dengan brilian.” (untuk kalimat ini, kamu bisa mencari tahu lebih banyak dalam buku Creative Writing-nya A.S Laksana)
Saat inspirasi itu sudah diterima, pastinya akan muncul kendala. Kendala terbesar adalah mendisiplinkan diri, menetapkan hati untuk mulai mengembangkan inspirasi dan ide dasar itu. Bagi Indah, jika writers block menyerang, beliau berusaha menakhlukkannya. Beliau tidak meninggalkan tulisannya begitu saja. “Tetap aku kerjain, walaupun hanya jadi satu paragraf. Jangan ditiingal. Aku pernah meninggalkan naskah, dan sampai akhirnya gak pernah selesai. Satu lagi, mulailah menulis tentang apa yang kamu sukai, karena dengan itu, tulisanmu akan lancar dan writers block tak akan ada.”
Cara terbaik agar sebuah cerita bisa dieksekusi dengan baik dan tidak berhenti di tengah jalan karena tak tahu apa yang ingin ditulis lagi, adalah dengan membuat outline. Manfaat outline menurut Indah Hanaco, berfungsi memagari cerita, membuat penyelesaian naskah jauh lebih mudah (benar jika ada yang bilang, ketika kamu telah berhasil membuat outline, kamu sudah menyelesaikan 40% dari naskahmu), serta menciptakan fleksibilitas terhadap perubahan saat pembuatan naskah.
“Bagiku, outline yang baik adalah memiliki konflik di tiap bab ceritanya. Minimal harus ada kejutan. Tak hanya sebagai tempelan, tapi bagian dari cerita yang mendetil,” tambah Indah, yang mampu pernah menyelesaikan naskah novel hanya dalam waktu 9 hari. 
Selesai dengan ide dan outline, penulis biasanya menghadapi masalah lainnya; mengeksekusi outline agar jadi karya yang diterima. Maka itu, penting untuk memelihara konsistensi dan semangat menulis. Itu bisa didapatkan dengan memikirkan royalti yang akan didapatkan (hehehe). Ada satu kalimat yang aku suka pada bagian ini, Indah Hanaco bilang jika kita sebagai penulis, tak mungkin bisa menyenangi semua orang. Bukankah menulis itu sendiri tujuan awalnya adalah membahagiakan diri sendiri? Lagipula, ketika kita bahagia dalam menulis, tulisan kita juga akan membahagian pembaca yang menikmatinya. Jadi, kunci utama sebelum mulai menulis adalah siapkan diri untuk larut dan tenggelam pada cerita yang kita buat, saat itulah kita mencapai titik menulis dengan hati. 

Kalau cerita sudah selesai dan siap kirim, pastikan itu dikirim langsung pada editornya. Untuk Indah Hanaco, beliau tidak terlalu menyarankan mengirimkan naskah cerita kita pada teman-teman, karena bisa saja teman kita memiliki selera baca yang berbeda dari naskah kita. Hingga akhirnya, teman kita berkomentar yang bisa menjatuhkan kita, atau karena tidak enak hati, memuji-muji kita. Sulit sekali menemukan titik objektivitas dalam penilaian. Jadi, percaya diri saja dalam mengirim naskah. Jangan pernah bilang takut mengirim ke penerbit besar dan mayor, bukankah setiap penulis besar juga dimulai dari penulis amatiran – yang tak pernah berhenti berusaha dan belajar? Mengenai proses belajar, Indah Hanaco bahkan masih belajar dalam memperkaya kosa kata. Tiap kali menulis, beliau masih membaca thesaurus, agar menghindari repetisi kata yang membosankan. Mungkin proses menulisnya jadi lama karena sambil memilah-milah kata di thesaurus, tapi itu bagian dari usaha. Tak ada jalan instan untuk menjadi penulis yang cerdas dalam diksi atau pemilihan kata.
Terakhir dari Indah Hanaco, “Sesungguhnya dalam dunia menulis, tak ada teori resmi yang mengarahkanmu harus begini dan begitu. Semua teori itu akan kamu dapatkan sendiri ketika menjalaninya. Pengalaman yang akan mengajarimu pada akhirnya.” (kalimat ini sejalan dengan apa yang diucapkan Agus Noor dalam kelas kepenulisan Cerpen Kompas yang kuikuti tahun lalu, sila cek di sini)
Aku yang duduk diam di balik bangku bermeja, hanya mengangguk-angguk sembari tersenyum. Bukankah menulis dengan hati itu begitu menyenangkan?

Tentang Indah Hanaco
Lahir di Pematangsiantar, 14 Oktober. Puluhan karyanya telah termuat di media nasional, dan belasan bukunya sudah terbit di berbagai penerbit di Indonesia. Seorang writer, dreamer dan lover yang kini menjadi full-time writer. Bukunya yang terbaru di penerbit Elex Media; Scent of Love in London, bisa didapatkan di toko buku terdekat.
This entry was posted in

1 comment: