Thursday 25 June 2015

Perempuan Itu, Lelaki Itu

Seseorang, menemui perempuan yang duduk di sebuah ruang baca. Seseorang itu membawa setumpuk buku yang berhasil menarik perhatiannya, seakan mengundangnya untuk berkata ‘darling, you got my full attention’. Lalu, ia diam di ujung meja dengan gunungan buku yang berbau apak itu; tidak mengherankan, karena beberapa lembar halaman sudah menguning dijejali waktu dan debu, yang jadi pertanyaannya adalah mengapa ia datang dengan buku-buku itu, dan berdiri menatap mereka seakan tengah bercengrama dalam bisu. Saat perempuan itu hendak berdiri dan mendekatinya, akhirnya ia mengarahkan pandang padanya – membuatnya terhenyak karena tajam mata lelaki itu hampir membunuhnya, tapi siapa saja bisa melihat kemantapan di sana. Lantas, sejenak saja lelaki itu bilang mencintainya – apa adanya. Perempuan itu terhenyak. Beberapa judul buku; Love in the Time of Cholera, Lovely Bones dan beberapa buku lain yang menumpuk dan dikenal sebagai barisan buku yang termasuk buku paling sedih sepanjang masa berkelebat di kepala si perempuan. Ada yang salah.

Sepasang mata gelap lelaki itu masih di sana – menatap sembari menunggu jawaban yang tidak tahu harus pergi ke mana si perempuan mencarinya, karena itu seharusnya ada pada gadis lain. Matanya masih sama saat ia berdiri di bawah hujan beberapa minggu lalu. Kamu tahu; siapapun pastinya akan ke luar dari ruang kamar, membawa mantel terhangat yang dimiliki di lemari, lalu berlari membungkus tubuh lelaki itu dari dingin hujan, membalasnya dengan bilang menerimanya. Seakan memaksa si perempuan untuk bilang ‘you’ve got my heart, lets play in love’. Terakhir, lelaki yang sudah kuyup di sekujur tubuhnya, berbisik dalam gigil dan getar yang amat kentara dan mengiris telinga yang mendengarnya – terutama jika kamu tahu itu untukmu; aku di sini sebab cinta. Si perempuan menerungku diri dalam mendung. Lagi-lagi, ada yang salah.
Pikiran si perempuan mulai liar berlari ke mana-mana tentang lelaki itu; mulai dari ia yang rajin merekam lagu-lagu yang ia nyanyikan, menyulap diri jadi pujangga yang mampu melahirkan berbait-bait puisi yang membuatmu merasa paling dicintai di semesta ini, dan mengirimi tangkai-tangkai mawar. Si perempuan terdiam di sudut kedai teh, dan menerima itu semua dengan rasa janggal – memang, ada yang salah.
Lelaki itu memejamkan mata dengan penuh putus asa – sama seperti saat ia berdiri disetubuhi hujan dengan semena-mena, tapi ada cinta yang menari di matanya. Lalu perempuan itu tersenyum, menyentuh punggung tangan lelaki itu, meraihnya dan memeluknya sembari berbisik lirih; “…kamu tidak mencintai seseorang apa adanya, karena itu membuatnya tidak berkembang. Kamu menerimanya dengan seutuhnya dirinya, menuntutnya dengan lembut untuk terus jadi lebih baik esok harinya. Kamu tidak berdiri di bawah hujan karena cinta. Sejatinya yang bertahan bukanlah cinta, melainkan kasih sayang yang dijaga dengan komitmen. Cinta hanya kemasan luarnya saja. Dan, kiriman-kirimanmu yang manis adalah penghiasnya.”
Sebelum si lelaki menundukkan kepalanya dan bergerak mundur karena usai sudah, perempuan itu menahan lengannya, lantas berujar kembali. Tak kalah lirih. “…tapi – hidup selalu punya tetapi, bukankah itu yang dikatakan Aan Mansyur, salah satu penyair favoritmu – ke semuanya adalah utuhnya kamu. Dan, aku tahu, rasa yang kuat, yang mampu mengubah seseorang, menyulap mereka menjadi pujangga yang tiba-tiba misalnya. Itu menunjukkan bagaimana juang menjadi terasa begitu manis. Aku mencintaimu. Kembali.”

Aku tengah menyesap teh hangatku ketika mendengar kisah itu, dari seorang perempuan yang menangis menemuiku di sebuah malam dan mengenang kekasih lelakinya yang sudah berpulang. 
"Ia berkaca-mata dengan bingkai bulat berwarna hitam. Tidak populer, dan tenggelam di antara orang-orang yang mencipta keramaian dengan suara dan tawa keras. Ia kerap bersembunyi dari balik tundukkan kepalanya. Ia memang bodoh, konyol, dan ceroboh. Tapi, ia punya cinta kecil yang menyala terus-menerus, seperti lilin memenuhi ruang gelap dan memberi seangan cahaya yang pasti, dan membiarkan dirinya leleh untuk itu," ujarnya sembari tertawa, menghibur diri sendiri - yang berusaha membohongi rindu. 
Dan, hujan kemarin malam di langit kotanya, mengantarnya sekali lagi meraba-raba kenangan.
This entry was posted in

0 Comments:

Post a Comment