Thursday 16 July 2015

Melihat Sepotong Senyum Lelaki yang Menyulam Pagi


Ini teramat sederhana hingga tak tahu dari titik mana harusnya kumulai menenun cerita. Pagi tadi terasa biasa saja – aku bangun dengan kaca jendela yang sudah mengabur oleh embun pagi dan pemandangan yang sama; sepasang nenek-kakek yang berolahraga mengelilingi kompleks perumahan. Tapi itu sedikit hari yang berbeda. Aku berjalan satu persatu langkah dan telah sampai di pertengahan jalan menuju rumah makan. 
 Ketika aku berusaha melimburkan diri di antara jalanan yang dirayapi sepi, sudut mataku menangkap sebuah gerobak barang loak dari ujung sana.  Didorong oleh seorang lelaki yang sedikit lebih muda dariku dengan tubuh kecilnya – di sebelahnya ada seorang anak kecil kira-kira baru duduk di bangku kelas satu sekolah dasar. Lelaki yang tengah mendorong gerobak barang bekasnya itu mengenakan kaus oblong kelabu yang sudah dipenuhi noda hitam di sisi-sisinya, celana berwarna gelap pendek selutut, dan sandal karet. Anak kecil yang berjalan mengiringinya, bisa kutebak sebagai adiknya, menenteng karung beras sebagai tempat pulung, yang disampirkan di punggungnya.
Hal yang menarik adalah si lelaki tersenyum sepanjang perjalanan mendorong gerobak, dan si adik hanya memasang wajah cemberut – mungkin karena kepanasan, atau tidak mendapat barang plastik untuk dipulung, karena kau mendapati karungnya baru seperempat terisi. Tapi senyum bertengger setia di bibir si lelaki – saat kita berpikir itu adalah hal paling sulit yang bisa dilakukan di tiap pagi dalam keadaan seperti itu, kecuali gerutu-gerutu. Ia masih mengenakan senyumnya dengan sempurna, mungkin karena hal-hal sederhana; seperti kemampuannya untuk bangun pagi itu dan membantu Bapaknya bekerja mencari uang, mengingat sebentar lagi hari raya tiba dan kita merayakan kemenangan. Atau senyum itu dibentuk karena syukur sederhana tentang masih adanya kesempatan hari itu baginya menikmati matahari pagi yang walau terik, masih mampu memeluk hangat. Mungkin juga karena puasanya lancar bulan itu, atau rencananya pulang ke kampung halaman. Bisa saja tidak karena apa-apa, kecuali ia ingin saja tersenyum pagi itu. Sebab itu hal baik paling mudah dan hebat yang bisa dilakukan untuk menyapa dunia dan semesta, serta bentuk terima kasih pada Tuhan yang masih memberinya jiwa hidup hingga detik pagi itu ada.
Dan percayalah, itu sepotong senyum dari seorang anak lelaki gerobak loak yang mampu menyulam pagi dengan begitu manisnya. Kapan terakhir kali aku jatuh cinta pada hal sederhana? Sedangkan kebahagiaan tak melulu kutemukan pada hal-hal mewah. Selamat tersenyum hari ini.
This entry was posted in

0 Comments:

Post a Comment