Thursday 24 September 2015

Mendengar Bangku Kosong Berbicara


Api kecil di ujung sumbu lilin meja itu bergerak-gerak dilayapi dersik malam. Mungkin mereka sedang bercumbu, si api menjilati tubuh angin, dan angin tak kalah bermain dengan hangat api. Buktinya, api tak kunjung padam walau udara semakin ribut menyentuhnya. Mataku melirik mereka, diam-diam – sebelum akhirnya seorang pelayan yang mengenakan cokelat tua pada tubuhnya menghampiriku menanyakan apa yang ingin aku pesan. Aku terkejut, bayangkan, ia adalah lelaki asing yang tak kukenal dan ia bisa membaca hasratku untuk makan setelah sepanjang hari aku mengabaikan cacing-cacing di dalam perutku yang mengadakan konser besar. Aku memindai pandang pada lelaki yang membukakan buku menu di hadapanku, lalu sibuk menyodorkan bermacam makanan enak yang menjadi rekomendasinya. Lihatlah, aku bisa memastikan kami baru pertama kali bertemu di kafe itu dan ia sudah memperlakukanku bak putri raja, menawarkanku hanya pada makanan terbaik yang ada di kafe. Kepalaku mengantarku pada ingatan akanmu, kapan terakhir kamu bertanya demikian, memilih hanya yang terbaik untukku? Aku mengerang tiba-tiba, kamu lebih payah dibanding seorang pelayan kafe dan orang asing. Padahal hampir tiap hari – sebelum kamu menghilang dan membawa pergi semua janji karetmu – kamu bilang akulah putri mahkotanya yang telah berhasil merebut kekaisaran hatimu. 
Aku kembali sibuk pada persetubuhan api lilin dan udara malam. Berusaha mengusir kelebat bayangmu yang begitu kurang ajar menggodaku. Si api dan angin sepertinya terlibat percintaan yang begitu seru, sampai-sampai aku bisa menghidu bau yang menguar karenanya. Izinkan aku mengoreksinya, bukan bau. Tapi aroma. Sedikit manis, seperti lemon, ah tidak, tapi juga lavender. Aku memejamkan mata, menajamkan penciuman dan darahku berdesir. Sadarku kesiap. Mungkin ini Armani, atau – aku mengumpat. Apakah aku tengah mengundang kembali bau tubuhmu yang masih menempel di kulitku setelah dekapanmu minggu lalu? Ini terdengar bualan yang begitu sialan. Bisakah kamu lenyap tanpa meninggalkan sisa-sisa dan tanggalan yang bisa menjelma hantumu?
Aku mencoba mengumpulkan keterjagaanku. Kubuka telepon genggamku, mengetuk aplikasi media sosial yang selalu aktif. Keriuhan tiba-tiba merayapiku, banyak sekali mulut-mulut yang bergelung pada keluh. Kilauan mendadak menyergapku, desak sekali potret-potret diri dan benda berlabel yang berlomba memanggungkan diri. Telingaku hendak rontok, bola mataku ingin lompat keluar. Namun, tiba-tiba saja sudut mataku menangkap sebaris kalimat dan daun telingaku mendengar sederet kata; apa yang sedang kamu pikirkan? Di antara seluruh hiruk pikuk yang memerangkapku, si media sosial begitu perhatiannya menanyakan apa yang kupikirkan. Mungkin ini yang membuat banyak orang tetap setia padanya, karena dalam keadaan apapun, ia selalu bertanya pada kita terlebih dulu – apa isi kepala kita. Jari jemariku pun tergelitik mengetikkan berhimpun-himpun paragraf padanya, menumpahkan isi hati, gejolak rasa tentang amarah yang menerungku, air mata yang berusaha dibendung, dan senyum yang tertahan. Terakhir kali kamu bilang akan memberi pundakmu ketika aku menangis karena puluhan cerita hati, tapi aku bahkan tak ingat kamu pernah bertanya bagaimana suasana di ruang hati dan kepalaku. Kamu kalah beribu langkah dari sebuah aplikasi yang kerap aku rutuki menjadikan orang-orang robot.
Si pelayan itu kembali dengan pesananku yang terlampau sederhana – sepiring roti bakar dan segelas mocca float. Aku tidak menyentuhnya hingga kafe tutup, dan bangku di hadapanku tetap kosong. Sama seperti kamu, yang tak pernah datang hingga aku lelah menunggu.
This entry was posted in

0 Comments:

Post a Comment