Tuesday 8 September 2015

Yang Memberitahuku Cara Mengeja Kamu


Aku berani bertaruh, sekarang ini kamu sudah menutup layar laptop kerjamu, melepas kaca mata yang membingkai pandangan mata cokelatmu yang akhir-akhir ini kamu keluhkan semakin buram, dan menggeser bangku ke arah jendela besar yang menempel di dinding. 
Dan, seperti ini yang tampak; lampu kota yang remang itu ada beberapa yang meredup, bahkan tidak menyala. Orang-orang menyemut seraya mengadu maut di pinggir jalan yang disulap jadi trotoar tiba-tiba. Sedangkan mesin berbodi macam-macam, mengular di sepanjang jalan. Masih seperti itu dari hari ke hari. Kota tempat tinggalmu nyatanya gemar memotret mereka yang dipasung tenggat waktu dan diperbudak dunia yang ditampilkan mesin pintar di genggaman tangan mereka.
Dan, seperti ini yang terdengar; samar aduan bising kendaraan bermotor, sahutan klakson, dan racauan orang-orang, melayap ke sana ke mari, menabrak dinding gedung-gedung tinggi, menari-nari menunggangi angin, berkelindan sesuka hati hingga sampai padamu.
Dan, seperti ini yang tersentuh; kaca jendela yang dingin dalam diam – setelah menghadapi landaian embun yang lembut, panas siang nan terik, sepotong petang dengan sejuk, serta gigil malam. Buku-buku laporan tahunan bermacam perusahaan yang jadi koleksimu, masih teronggok di atas meja kerja bersama debu-debunya yang menimbun – yang biasanya tak sengaja kamu kenai dan saking tebalnya menjadikannya kasar yang bisa membuatmu batuk sesekali.
Dan, seperti ini yang tercium; secangkir kopi yang sudah tinggal ampas tapi masih kuat menguarkan aroma sisanya, beradu dengan pengharum ruangan yang digantung di tepi bawah air conditioning. Bau camilan-camilan berbumbu yang kemasan bekasnya masih teruka dan diam terbuang di tempat sampah di pojok ruang, ikut andil memainkan wewangian. Sedikit mengernyitkan hidungmu, aroma apel yang manis bercampur sisaan kopi hitam. Terasa ganjil, tapi tiap harinya kamu memang hidup dengan kejanggalan-kejanggalan yang harus kamu genapkan. Hingga memilih angka-angka selain genap sebagai favoritmu, maka, ini bukan hal yang baru ataupun aneh. Lama akhirnya, kamu menikmatinya.
Dan, seperti ini yang terucap; desis-desis yang keluar mulutmu selama memindai kembali agendamu untuk besok dan seminggu ke depan. Umpatan kecil di telepon. Kamu berbicara sendiri.
Dan, seperti ini yang terpikirkan; hari esok – yang menyenarai janji-janji di papan notifikasi, dan sebuah kebohongan kecil di tengah rapat untuk jadwal tambahan lainnya yang hanya kamu tahu – dan dinding bisu kantormu yang mengadunya padaku – bersama seseorang yang tiap siang ini naik dan duduk di atas meja kerjamu. Santapan yang menggoda, sepiring kerlingan dan gigitan yang tak berhenti. Kepalamu menjadi sibuk.
Dan, seperti ini yang terasa; sebundar meja kafe  dengan segelas jus alpukat yang tinggal setengah, selembar tisu yang sudah diremas, beberapa bekas tetes air dingin dari tubuh gelas yang menjejak di permukaan meja kayu cokelat berpelitur, lilin dari pramusaji yang sudah mati, dan berita kematian seorang perempuan pada pertengahan malam. Katanya, kejadiannya di sebuah gang sempit, tiga lelaki dari klub malam, sebilah pisau, dan telepon bernada dering sumbang yang mencari si perempuan yang tak ingin pulang karena alasan yang tidak dipahami Ibu dan sahabat yang mencarinya: “...aku menunggu”.
Dan, seperti ini yang akhirnya; kamu tak pernah datang.
This entry was posted in

4 comments:

  1. Makasi mbak udah nulis di hari ultah saya haha dan maaf baru berani ngomen. Silent reader sedari dulu...

    ReplyDelete
  2. Hai! Wah, tanggal positngan ini sesuai tanggal ultah kamu? Kalau begitu, selamat ulang tahun ya, semoga kenangan akan kelahiran ini membawa berkah dan mewujudkan doa-doa yang terucap :) . Hihi tak apa, sudah berkunjung dan menyempatkan waktu membaca jurnal ini pun sudah apresiasi yang berharga untukku.

    ReplyDelete
  3. Makasi haha always keep posting mbak, tapi jangan bikin nunggu sampe 44 hari lagi ya~ peace!

    ReplyDelete