Friday 30 October 2015

Perempuan yang Mengusap Air Matanya Berkali-kali


Aku memanggilnya perempuan bermata malam, bukan karena manik dan bola matanya hitam, atau buta oleh  burung gagak hitam mematuk biji matanya, hingga meninggalkan lubang gelap yang menganga. Melainkan, air mata yang keluar terus-menerus tanpa henti, seakan kesedihan begitu berpora dan kedukaan tumbuh subur dari dalam matanya. Tapi, air mata itu tak pernah benar-benar jatuh melandai hingga melewati lehernya. Ketika air mata itu turun dan saling menyatu di ujung dagunya, mengalir pelan ke lehernya dan akan menyentuh dadanya yang terbungkus kemeja gelap, perempuan itu akan tertawa. Lalu, si air mata itu pun lenyap. 
Banyak yang bilang aku gila – dan orang-orang selalu takut pada kegilaan, tanpa tahu kewarasan dihasilkan dari kegilaan-kegilaan yang diterima dan disepakati bersama lalu menjadi kelaziman – terutama karena aku menceritakan perihal si perempuan bermata malam ini pada mereka. Tentang perempuan yang ada ketika malam melarut, di dalam cermin rias kamarku. Ia bersandar, seraya mendongakan matanya. Seakan mencari langit malam, lalu berharap salah satu dari bintang yang bergelantungan di sana meminang bola matanya, jadi ia tak perlu lagi menitik satu persatu air mata.
Akhirnya pada malam ke sekian ini, aku memulai cengrama dengannya. Kuperhatikan mata sembabnya tidak kunjung merah walau meneteskan berbotol-botol, berember-ember, bergalon-galon air mata tiap malamnya. Aku pun mengetuk-ngetuk kaca cermin, berusaha menarik perhatiannya.
Lebih banyak tentang kapan pertama kali ia memiliki mata yang menghasilkan air mata seperti itu, apakah itu kutukan? Ia tidak menanggapi, kecuali terus menurunkan air mata dan tertawa sebelum mencapai dada. Aku semakin penasaran. Siapa gerangan yang membuatnya seperti itu, ataukah memang ia terlahir dengan mata yang terus menderaskan air mata?
“Kamu mengingatkanku pada seorang lelaki yang padanya tak pernah sempat kusampaikan jika matanya begitu indah, lebih dari sekadar cermin atau jendela yang menempel di tubuhnya. Matanya yang berhasil membuatku menyimpan pertanyaan hingga hari ini perihal apakah cinta tetap bisa dikatakan demikian jika sunyi yang kupilih sebagai cara mengungkapkannya. Jangan bilang ini cerita remaja patah hati akibat pendam rasa yang tak sampai, Lelaki Bermata Malam. Sebab, kuberikan setiaku padanya dalam tunggu yang tak ia harapkan, kuuraikan akhirnya walau terakhir kami bertemu jawabannya adalah matanya yang sulit sekali kucari, dan hanya menyisa tatap yang kurindu. Tak apa, biar sunyi yang merenda akhir ceritanya dan cinta ini masih kupelihara. Walau ada sesal, mungkin seharusnya kubiarkan saja diam mengunci langkah. Tapi, mataku terlalu liar ingin menyapanya tiap malam.”
Perempuan bermata malam itu tiba-tiba menengok ke arahku. Menatapku cukup lama dengan matanya yang basah karena entah. Baru kusadari, ini pertama kalinya mata kami bertemu setelah belasan malam aku menemaninya – jika bisa disebut demikian, karena aku hanya duduk di sampingnya, lalu mengamati guncangan di pundak mungilnya ketika tertawa. Dan, aku tak pernah merasa sunyi begitu menepi, lalu diam-diam berdentam memasuki rongga dadaku dan berumah di sana. Sedangkan, air matanya semakin banyak. Menciptakan kabut.
Aku dengan pongah berusaha melawan kabut dan senyap yang saling bergulat mengaburkan pandanganku, dan memaksaku meluncurkan air mata. Aku tetap menajamkan pandang, memicingkan mata walau aku merasakan mataku mulai berair. Aku mendapati si Perempuan Bermata Malam menitikan air matanya. Dan, kali ini tanpa tawa yang mengusap air mata itu pergi. Kini, ia menatap lurus ke arahku. Matanya memerah, perlahan tetesnya berubah jadi darah. Kemeja hitam yang dikenakannya ia singkap dengan sengaja, dan mataku terbelalak olehnya. Dadanya penuh luka, tak bisa kubedakan mana kulit dan daging – penuh lubang yang matanya bilang dari janji yang tak pernah tergenapi, berbau busuk yang matanya katakan dari harapan yang tak kunjung menuai jawaban. Itu luka yang belum mengering, yang dari dada menggerogoti jantungnya. Dengan melihatnya saja, nyeri berkelindan menginjak-nginjakku.
Ketika aku membalikan tubuh dan tak ingin melihatnya, aku merasakan ada cairan hangat yang turun dari ujung mataku. Aku menyekanya dengan punggung tanganku.
Darah. Bukan air mata.
Mataku menjelma dua cermin kecil, ada bayang lelaki yang begitu kukenal di sana yang memudar dan leleh dalam darah. Dadaku sesak. Kurasakan sakit yang sudah menahun tak pernah kutemukan penyembuhnya mulai menjalar sekali lagi.
Luka.
Aku gemetar. Kuarahkan tubuh sekali lagi ke cermin, tak ada lagi si perempuan bermata hitam. Hanya udara dingin yang menyelinap masuk dari jendela yang tidak kututup rapat. Dan, sunyi yang tertawa-tawa bersama gerak jarum jam yang melambat. Tiada siapa-siapa di dalam cermin itu, kecuali aku.
This entry was posted in

0 Comments:

Post a Comment