Saturday 31 October 2015

Perihal 'Aku Cinta Kamu'



Seharusnya aku tidak mengisahkannya di sini. Lebih baik kita membuat janji lewat pertukaran teks singkat melalui jalur pribadi, mengatur sebuah pertemuan tertutup di kafe pinggir kota yang kupilih; yang dindingnya berwarna krem dan digantungi potret-potret foto sepia, pelayannya mengenakan pakaian bernada muram, lalu asing dan keganjilan saling meningkahi orang-orang yang datang ke sana. Kafe yang menjadikan kesedihan sebagai menu utamanya. Sebab, ini kisah yang awalnya dilabeli rahasia – kudapati dari perempuan yang mulutnya berbau alkohol di suatu malam, dan seraya menghisap tembakau, ia menceritakannya padaku.
“Sudah punya pacar? Ah, biar kuganti pertanyaannya, adakah yang sudah berani-beraninya bagai pangeran yang baru memenangkan pertempuran dengan naga, mengatakan cinta atau mengutarakan sayang padamu?”
Kubiarkan koor suara ramai lelaki-lelaki paruh baya yang melontarkan rayuan murahan pada pelayan perempuan yang menyajikan minuman berwarna, tawa keras remaja-remaja tanggung di pojok ruang, bisik-bisik gosip sekelompok wanita dewasa bersepatu selop tinggi berwarna merah, sebagai jawabannya. Ia menengok padaku dengan mata sayunya yang seakan siap tidur saat itu juga. Aku tetap diam, dan wajahku terang-terangan menunjukan ketidaknyamanan. Tapi, nada suaranya yang terdengar serius – bahkan tegas ketika mengajakku terlibat dalam obrolan, membuatku bertahan. Ia melanjutkan.
 “Jika pada suatu masa, di tempat yang sudah kamu khayalkan dan jadi nyata, bersama orang yang kamu pilih atau entah memang namanya ada di kitab penyatuan milik Tuhan – “ ia tertawa ketika mengucap sebutan agung itu; Tuhan. Sembari terbatuk dan membuang puntung rokoknya yang masih menyala. Pandangannya menerawang ke atas ruang yang dijilati lampu warna-warni yang membuat sakit mata.
“...mengatakan ‘aku menyayangimu’ padamu, coba tanyakan pada ia yang berbisik demikian; sudah berapa perempuan yang mendengar kalimat itu selain dan sebelum kamu. Tak apa bukan kamu yang jadi pertama, perkaranya bukan itu. Tapi, apakah kamu yang menjadi terakhir yang mendengarnya, ataukah kamu hanya berpura diperlakukan seperti yang pertama, tak berbeda dengan yang lain-lainnya.” Suaranya serak, mendekati putus asa. Dengan sedikit kasar, ia memantikkan api pada ujung tembakau barunya. Seketika asap tembakau pun mengepul, membumbung tinggi, lalu lenyap bersama udara pengap ruang riuh itu. Aku merasa kejanggalan menekan dadaku, kita membicarakan hal-hal yang begitu sepi di ruang yang berteman akrab dengan ramai. Ini tidak ramah terhadap perasaan, aku ingin beranjak. Tapi tangannya yang lebih besar dan kuat dariku, menahan lenganku dengan satu sentakan.
 “Jangan pernah percaya pada lelaki yang mengatakan ‘aku cinta kamu’ sehabis seks. Karena bisa saja besarnya cintanya diukur dari seberapa besar ukuran payudara dan pinggulmu,” tukasnya tegas, tapi masih kutangkap getar di akhir kalimatnya. Aku tertegun, sekuat apapun ia, aku yakin masalah apapun itu telah berhasil menyentuh titik paling rapuhnya.
Aku mencoba meraih tangannya yang terkepal, tapi ia menepisnya cepat. Ketika aku berusaha mencari-cari matanya, kudapati pandangannya sudah berkaca-kaca. Ia berdiri tiba-tiba, memesan satu botol minuman yang bagiku entah. Lalu menyambarnya dari nampan pelayan, pergi meninggalkanku begitu saja. Aku hendak menyusulnya ketika secarik kertas yang sudah diremas hingga berbentuk bola, teronggok di atas bangku yang baru ditinggalkannya. Aku membuka kertas itu, merapikannya – dan kesan pertamaku adalah, itu sebuah surat.
Kapan terakhir kali kamu bilang pada perempuanmu yang kamu pinang untuk menemanimu hingga hari tua, bahwa kamu berterimakasih pada mereka, karena telah melahirkan peri-peri kecil untuk mewarnai hari-harimu? Selain merutuki dan mempertanyakan mengapa gaun-gaun kecil mereka yang dikenakan saat gadis dulu untuk menggodamu tak pernah lagi terlihat dipakainya, lantas berganti menjadi daster longgar yang tak menarik. Kadang kita lupa, mereka abai pada perawatan diri mereka karena memastikan rumah tetap hangat ketika kamu pulang, peri-peri kecil tetap aman di istana mereka, dan kebutuhanmu tetap penuh saat kamu minta. Saking sederhana, dan di matamu itu hal remeh temeh dibanding perempuan lain yang duduk di atas meja kantormu dan menunggu untuk kamu santap sebagai selingan makan malam.
Dan, ini juga untuk kamu, yang dua belas tahun lalu mengatakan ‘aku mencintaimu’, dan sekarang berbisik padaku dengan mata asingmu yang seolah bilang padaku jika kamu tak lagi melihatku seperti pertama kali kita bertemu. Lalu, aku masih saja mengingat bagaimana binar dan semangatmu mengucapkan sumpahmu di altar yang menjadi saksi selamanya kita berdua. Kini, itu hanya jadi kaset rusak yang diputar di ruang kepalaku saat mengenangmu.
“Aku mencintaimu.”
Kudengar bisik seorang lelaki di samping mejaku. Lengkap dengan mata dan tangan lelaki itu yang melata di tubuh perempuannya. Aku tersengat, kutatapi lelaki itu bergantian dengan surat koyak di genggaman tanganku.
This entry was posted in

0 Comments:

Post a Comment