Monday 30 March 2015

Ada Selamat Ulang Tahun Untukmu


“Rhein, pada suatu waktu setelah bertahun-tahun lamanya sejak kamu lahir, apa kamu pernah bertanya barang sejenak; apa arti namamu – yang kerap kali meningkahi hujan, sederhana di antara sepotong bibir yang mengucapkannya, dan menjadi yang paling setia melekat padamu?”
Biar kubantu, coba kamu bayangkan tentang aliran sungai memanjang yang membelah perbatasan antarnegara. Di sepanjang sungai itu – tepiannya, tumbuh berbagai macam bunga yang bahkan tak akan habis kamu petik untuk dijadikan beribu-ribu karangan istimewa, lalu ada juga rerumputan hijau yang masih perawan menyimpan sebaran bulir embun, serta satu lagi, itu sungai yang mampu memantulkan utuhnya bayangmu di riaknya yang teduh. Dan, pada satu titik di aliran sungai itu, tak jauh dari tepianya, berdiri kastil – aku menyebutnya istana kecil, itu bangunan yang membawamu pada cerita-cerita dongeng penuh keajaiban, pelangi, dan bintang-bintang mungil yang masih menunggu. Tak ada kata yang pernah tepat untuk membingkai keindahan kuas Tuhan melukiskan karya itu.
Namun Rhein, tahukah kamu, jika apa yang baru kamu bayangkan tadi adalah yang terangkum dan tertangkup seutuhnya dalam namamu. Bagian darimu. Kamu adalah aliran sungai, Rhein. Rhein adalah sungai yang ada, yang mengalir, yang memanjang indah, yang ada di salah satu belahan di dunia ini – yang paling memikat. Mungkin kamu tak percaya, untuk itu kamu bisa mencari di kotak pencarian yang menjadi pekerjaanmu sehari-hari, tentang sebuah sungai indah bernama Rhein – sungai yang membuatku jatuh cinta berkali-kali, tiap menikmatinya. Lagipula, jika kamu tak menginginkan sungai, kamu punya hujan, Rhein. Hujan di kedua matamu, yang pernah kubilang, mengundang kenangan  yang menjaring kalbu.  
Aku selalu percaya jika nama adalah doa. Begitu pula, aku yakin jika kelahiranmu adalah istimewa. Bukan pemberian, tapi ia adalah anugerah. Kamu terlahir dari setubuh cinta, gumpal angan, tangkup doa, dan penungguan yang disertai wajah-wajah ceria. Itu yang membuat setiap orang; kamu – menjadi spesial.
Karenanya, selamat mengenang kembali berkat dan rahmat, yang menyertai dan membentuk istimewanya tanggal tiga puluh dalam dekapan Maret. Selamat ulang tahun, Rhein Mahatma. 
This entry was posted in

Saturday 28 March 2015

Perihal Menanti, Tentang Menunggu


“…perihal menanti adalah siap dilumat sepi dalam resah tak pasti yang menguliti, bersedia ditemani sunyi yang bermukim di ruang hati, lalu seluruhnya kamu lalui dan lewati dalam sendiri.”
Malam itu, aku meremas kedua tanganku yang saling tergenggam. Sesekali aku memeluk diriku sendiri, mengeratkan mantel hitam yang membalut tubuhku. Ruang tempat aku dikepung sunyi, nyatanya juga tengah sendiri. Hanya ia satu-satunya yang berdiri kukuh dan menyala, di antara ruangan lainnya yang menggelap tak terpakai ketika malam naik tahta. Gelisah, aku terus mengekori gerak jarum jam yang setia memutar dan kembali mengulang. Baru akhirnya kusadari, ada yang berbeda antara aku dengan ruangan itu. Kita mungkin sama-sama sendiri, tapi ia hanya diam, sedangkan aku; menanti.
Menurutmu, apa yang paling menggelisahkan dari menunggu? Seorang kawanku menjawabnya sembari angin lalu, menurutnya penungguan adalah pohon pahit yang berbuah manis. Jawaban itu mengantarku pada sejumlah kisah yang ingin kuceritakan padamu pada temu kita yang harus didahului waktu tunggu terlebih dulu. Sebab, tak selamanya menanti membawamu pada janji-janji yang tergenapi. Tak selalu menunggu membawamu pada peluk temu. Terkadang, ia membiarkan rindu tergugu, angan terbelenggu, hingga menjadikan bayangmu membiru.
Apa kamu pernah dengar tentang seorang perempuan yang menunggu datangnya seorang lelaki di Loftus Road hingga ia menjelma menjadi pohon?* Waktu tunggunya tak terhitung, karena melibatkan seumur hidupnya. Atau kisah lainnya, mengenai seseorang yang menanti Pria Murakami*, sampai ia berbuat hal-hal yang orang anggap tak masuk akal? Banyak peristiwa yang terjadi dalam kurun waktu penantian. Kamu tak terlalu akrab dengan kisah-kisah itu? Tapi aku yakin kamu pernah mendengar kisah seekor anjing yang kerap menunggu majikannya, sebelum akhirnya mati karena menunggu. Dan, penungguan anjing itu masih berlanjut, dalam bentuk patung. Ini mengingatkanku pada bakat seseorang yang menunggu, digambarkan seperti gunung. Coba bayangkan gunung sebagai pecinta yang sedang menunggu orang dicintanya*. Dan, ia sudah menunggu semenjak ia ada di dunia. Akhirnya kamu menghentikan ceritaku, katamu cerita-ceritaku terkait penungguan dan penantian memiliki wajah yang muram dan durja. Saat itu, ingin sekali kubisikkan padamu; maka itu, jangan buat aku menunggu.
Aku kembali meniti angka-angka di jam dinding yang tergantung di ruangan sendiri ini. Nyatanya, aku tetap diringkus waktu tunggu, dan ditingkahi detik-detik menanti. Tak apa, karena waktu tunggu tak akan menuai jemu ketika itu adalah menunggu kamu.
*cerpen ‘Seorang Perempuan di Loftus Road’ karya Bernard Batubara
*cerpen ‘Pria Murakami’ karya Norman Erikson Pasaribu
*diambil dari nukilan ‘Hanya Kamu Yang Tahu Berapa Lama Lagi Aku Harus Menunggu’ karya Norman Erikson Pasaribu

This entry was posted in

Sunday 22 March 2015

Sepotong Dongeng Sederhana untuk Seorang Perempuan Mungil


Saat itu siang, ia sedang duduk di sebuah tempat makan yang tidak terlalu ramai. Ia larut dalam kebosanan yang menyiksa, lalu ia mengamit tanganku. Katanya; mari menjelajah. Aku menyambutnya – dan ia paling tahu; aku tak akan tahan masuk ke toko-toko pakaian dengan berbagai brand terkenal yang menyilaukan mata, ia hanya mengajakku singgah di sebuah rak bacaan kecil di sudut pusat perbelanjaan. Kita membolak-balik lembar majalah, ia membaca artikel mengenai idola Korea dan aku tentang zodiak. Dan, obrolan tentang masa lalu itu pun meluncur; aku seperti melihat waktu kecilku di antara cerita-ceritanya.
“…dulunya, aku tidak seperti ini. Kamu bisa mendeskripsikan aku dengan berbagai macam hewan bertubuh besar, bayangkan dengan kacamata berminus tebal, serta ketinggian yang tidak seberapa. Kamu akan tahu alasan mengapa orang-orang menjelma ibu peri jahat yang menyebutku upik abu. Dan, aku adalah yang tersudut di tepi kelas, melongok pada diri sendiri, lantas bertanya mengapa mereka tertawa padaku? Aku ikut tertawa seperti orang bodoh.”
Tapi, ada yang remuk di hatimu. Karena luka tak harus membuatmu berair-mata. Karena sakit tak harus menjadikanmu meringis. Aku bergumam, dan aku merasakan ada hatiku yang nyeri. Ia melanjutkan ceritanya.
“…suatu waktu saat bepergian, ketika tiap pasang mata lelaki mengintai aku dan temanku, pada akhirnya mereka menanggalkanku dalam diam yang membuang. Dan, mereka – lelaki-lelaki itu, kerap bertanya terus-menerus tentang temanku, yang tampil bak putri di kerajaan-kerajaan dongeng.”
Aku menggeleng keras, mendongak sejenak ke arah langit-langit. Aku pernah memiiliki cerita yang sama, yang hingga kini memukulku tiap pagi menyapa dan malam menyinggah. Aku butuh nafas untuk dada yang sesak. Cerita itu akan menyakitkan – aku tahu, tanpa ia harus menguntainya lebih jauh. Aku berusaha untuk menghentikan ceritanya sebelum itu membuat kita berdua terluka. Hatiku berkecamuk, ingin kuteriakkan padanya jika aku melihat riak-riak manis di tiap senyumannya yang sederhana, aku menemukan cantik pada ekspresi-ekspresinya yang mengundang tawa, aku mendapati seseorang yang mau berusaha keras pada komitmennya mengikuti sejumlah kegiatan, aku merasakan kehangatan dan menjadi diriku sendiri ketika berada di dekatnya. Ia menawarkan hari yang siap jadi kenangan indah akhirnya. Karenanya, ia istimewa.
Kali ini aku meraih tangannya, lalu aku menyampaikan ini padanya (kalimat yang sama, yang berusaha kubisikkan pada diriku sendiri setiap pagi ketika aku menghadapi bayanganku sendiri di depan cermin yang kusam). Sebuah dongeng – dalam cerita lain.
Mungkin kita bukan putri bersepatu kaca yang memiliki pangeran berkuda putih, yang akan membawa kita ke istana paling megah. Tapi apakah kita ingat jika seorang putri adalah seseorang yang sebelumnya hidup dalam abu, terkurung dalam gudang, dan diam-diam menangis di pertengahan malam? Seseorang yang sebelumnya mengenakan baju rajutan dari gorden jendela kumal, yang tubuhnya berbau arang karena lama bekerja dalam babu? Lantas, apa yang membuatnya bermahkota? Aku pun mengutip salah satu kalimat si putri dalam dongeng itu, putri itu bilang; ketika ada kebaikan, di sanalah ada keajaiban.
Dan, padamu Fransiska Desfourina, aku melihat keajaiban itu.  

Friday 20 March 2015

Yang (Tak Pernah) Akhir dari AL


“…malam itu aku duduk di balik jendela yang membingkai sore pertama pertemuan kita; ketika kita saling menyulap secangkir teh menjadi cerita-cerita yang mengejutkan – dan mungkin juga, itu awal rasa lainnya diam-diam merayap, menguat, lalu menyengat. Al, dan itu terjadi hingga sekarang, pada gerak jarum jam yang menyuarakan setia.”
Al, apa kalimat ini pernah melintas sepintas di benakmu; jika cinta membutuhkan jarak, bukan sebagai pertanda pisah, tapi untuk menguji ketabahan mereka yang jatuh di dalamnya. Dan, pada minggu-minggu tanpa kamu, aku menggambarkannya seperti ini; waktu terus berjalan menjadi lembar-lembar lalu, dan rindu ini masih menunggu, mencipta dada yang penuh guruh. Sebab ada rasa ingin bertemu yang bertalu-talu. Kamu utuhnya yang menerbitkan riak-riak rindu, gejolak rasa yang riuh, dan bahkan menjadikan hening begitu menggulung; kamu bukan hanya membuatku jatuh berkali-kali pada rasa yang terus memburu, kamu membunuhku – lewat suara dan matamu yang jadi hantu di tiap mimpi-mimpiku.
Namun, Al. Ini bukan kisah dongeng saat segalanya dipastikan berakhir bahagia. Kita hidup di tempat ketika takdir mampu memainkan cerita kita. Aku takut jika memang tak ada keajaiban di antara kita, kecuali persilangan yang menuai luka. Dan, pada akhirnya kamu pergi, meninggalkanku merekam sepi dalam sendiri. Bukankah kamu sudah tahu tentangku – yang tak cukup mampu membuatmu terjaga sepanjang malam dan tak terlalu menarik untuk menahanmu dalam obrolan panjang? Mungkin aku hanyalah deskripsi lain dari pucatnya langit, dan kebosanan dalam suatu perbincangan. Tapi Al, aku masih saja mencintaimu – dan itu membuatku semakin dungu. Lagipula, sejak awal aku sudah mengira rasa ini tak perlu untuk tersentuh. Biar ia mematung, membeku, hingga mati tanpa kamu tahu. 
 Suatu malam, menjelang pukul dua, kamu pernah menyapaku dan bilang jika mataku bercerita dimanapun, lantas hari ini aku memikirkannya. Aku hanya resah bila kamu tahu apa yang berusaha kusimpan. Karena Al, ini tentang diam. Mengenai cinta yang memilih hening, tersembunyi dan menjadi rahasia yang nyeri. Karena segala tentangmu adalah menanti. Biar kuuraikan seperti ini; sepotong hati ini hanya satu – lengkap dengan lebamnya membekas biru, serta penggal kenangan yang menimbun, tapi ia memilih untuk mencintaimu dengan utuh. Melulu, dan selalu begitu.
Al, izinkan aku melukiskan alasan mengapa tulisan-tulisan akanmu tak kunjung usai. Ini seakan; saat aku melihat wajahmu di antara terang bintang malam, aku sadar kamu telah menjelma kisah yang tak akan akhir kusulam. Alasan lainnya Al, sederhana saja. Karena ini tentangmu. Senyummu adalah lengkung sabit yang melelapkan malam tidurku. Tawamu adalah yang terus terngiang di ruang kepalaku. Matamu adalah yang bersarang di bilik kenanganku; membutakanku. Dan, kamu adalah yang tak henti membuatku mencipta cerita-cerita. Sekali lagi, kamu; yang masih menemukanku di antara keramaian, yang tetap melihatku di tengah silaunya terang cahaya, dan yang membuatku jatuh cinta.
Lama aku terus menukar cerita dan mengulang kisah. Kini aku ingin bertanya, Al. Sebelum episode yang panjang ini kututup, akankah cinta datang tepat pada waktunya? Atau tentang kita hanyalah seonggok kisah. Bagaikan kisah, ia tak benar-benar nyata. Jika memang benar, aku memilih untuk tetap tinggal dalam cerita-cerita, dan tak terjaga.
Aku pernah berharap segala rasa yang timbul, bisa cepat berakhir lenyap. Tapi lagi-lagi aku takut, jika begitu, aku hanya akan mengeja senja terus-menerus, tanpa tahu mengapa ia  istimewa.
Al, jika ini cinta. Ia selalu punya jalannya sendiri untuk pulang. Dan, ketika ia sudah menemukan arah untuk kembali ke rumah, aku berharap itu adalah kamu.
Episode ini kututup, namun kamu akan tetap mendapati selip-selip kisah mengenaimu di tiap tulisan-tulisanku – juga pada bentuk karyaku yang lain, yang meminjam namamu. Lalu,  terima kasih karena telah membiarkanku mencintaimu. Itu akan terus berlangsung dan masih. Dan, mungkin ia akan menjelaskan padaku arti selamanya.
*Maaf, karena mungkin aku terus menjadi orang yang membosankan, tak cukup cantik, dan tidak pula menarik, di matamu. Sekali lagi, dari perempuan yang saat disekap sendiri, melakukan hal-hal aneh seperti mengeja senja, mempertanyakan hujan dan memuja malam; semuanya untuk meneriakkan rindu, yang tak jua habis walau usai bertemu; denganmu.
Untuk yang bertanya sekali lagi perihal Al, ingin kujawab: Al bukanlah seseorang, ia adalah banyak orang – jadi satu.

Wednesday 18 March 2015

Mengeja Senja di Mata AL


“…seorang penyair menulis, senja ialah memar luka, di punggung pacar gelap. Tapi lelaki yang kini ditunggunya itu pernah berkata; senja hanyalah cara waktu menguji, seberapa tabah engkau mencintai.” – Cerita di Hari Valentine, Agus Noor.

Hari ini aku ingin membincangkan senja. Namun, bukan senja yang dipotong seseorang untuk dipersembahkan kepada kekasihnya. Bukan pula tentang senja yang membuat langit berdarah. Tidak juga mengenai senja yang perlahan dieja malam, dan dilepas siang. Melainkan sepotong senja di hari petang, yang jatuh di matamu; dan aku mencintainya.
Kapan terakhir kita mengobrolkan perihal senja? Waktu itu, kamu mengajakku menyapa senja; yang benar-benar kuingat saat itu bukanlah gores jingga yang menggurat di langit, tapi pantulan cahaya emas yang menggantung di manik matamu. Kamu seakan memberikanku kesempatan untuk mati ditelan senja, dan lahir kembali keesokan harinya sebagai fajar; keduanya sama – menguraikan betapa eloknya jingga mencumbui tubuh langit yang sorenya mendesaukan  kenangan dan paginya mendesahkan embun angan.
“Senja mengingatkanku pada musim gugur. Tentang daun-daun kering dan menguning,” katamu saat kita duduk membelakangi senja, seolah sengaja membiarkan ia mencuri dengar percakapan kita tentangnya. Kubilang, mungkin aku sepakat denganmu. Daun-daun kuning itu jatuh dan gugur, dimainkan angin, berusaha mencari arah untuk rumah barunya. Sama seperti senja, yang terbenam dan tenggelam di kedalaman kedua matamu, lalu dimainkan oleh gerak manik matamu, berusaha menjaring apa yang berusaha kusimpan di bilik kalbu.
“Untukku, petang adalah tempat pulang bagi mereka yang dipasung kenang,” celetukku akhirnya, sembari merapikan anak-anak rambutku yang dicium kesiur angin sore. Kamu tersenyum, katanya kamu sudah sering mendengar tentang hari senja yang mengirim pesan pada siapapun untuk pulang; memeluk seseorang atau siapapun yang mungkin menunggu di suatu tempat dengan hati penuh gelisah timbang. Aku pun melirik ke arahmu, kamu banyak tahu tentang senja, Al. Tentang waktu-waktu siang yang merenta lalu membentuk senja. Tentang remang-remang malam dan temaram yang dipunyai sebelum gelap; semuanya adalah deskripsi lain atas panorama senja.
Kamu mengalihkan pandangmu padaku – tubuhmu menjelma siluet ketika memunggungi senja, wajahmu berubah menjadi bayang gelap dan keseluruhanmu hanyalah hitam. Namun, tidak kedua matamu. Senja menembus melalui manik matamu, menerbitkan cahaya jingga keemasannya yang teduh. Aku melihat senja di kedua matamu, dan sejak itu, percakapan kita tentang senja tak pernah benar-benar kuingat. Kecuali tentang matamu yang berhasil meminang senja. Senja yang istimewa – yang padanya, diam-diam kusematkan cinta yang memilih jadi rahasia di dalamnya.