Saturday 30 May 2015

Fajar dan Senja yang Membangun Rumah di Langit


Suatu waktu, aku diberi secarik kertas oleh dosenku dan diminta membuat tulisan yang bercerita tentang kedua orang tuaku. Mungkin beliau sedikit terkejut ketika kuberikan kembali kertas itu, hanya singkat kutulis; Ayah adalah Fajar, dan Ibu adalah Senja. Keduanya menyatu di langit yang indah. Melahirkan pelangi yang mereka bilang adalah aku. Peran cinta dalam persamaan adalah mengeratkan, tapi dalam perbedaan, cinta berarti menyatukan.

Menyapa Fajar
: seorang lelaki yang kupanggil Ayah
Hari ini, aku menggeser bangku ke beranda rumahku. Di sana aku duduk cukup lama saat petang membelah langit menjadi dua gradasi warna; jingga-emas, oranye-merah. Aku mendengar angin bermain-main membawakan gurau canda dari sekumpulan anak-anak – aku tak tahu apa yang tengah mereka mainkan hingga mampu menyampaikan pesan-pesan bahagia – tapi lengking suara yang menunggang tawa itu menarikku ke memori lampau. Aku melarikan mataku pada barisan awan yang saling menepi, di balik itu, samar aku melihat layang-layang yang pernah berusaha kuterbangkan bersama seseorang. Seseorang yang tiap sore seusai penatnya bergelung dengan kerjaan, menyempatkan waktunya mengajakku berkeliling kompleks perumahan dan menceritakan banyak hal perihal apapun yang kulihat, kutunjuk, dan kutanyakan. Lalu, malamnya sehabis menghabiskan bercangkir-cangkir kafein dan bungkus tembakau, seseorang itu akan menggendong tubuh mungilku dengan lengan besarnya, menemaniku bermain permainan papan; mengalah demi mendengar tawaku, mencandai kebodohanku, dan merekam kekonyolanku. Itu lebih dari sekadar kenangan, terlalu banyak dan tak terkata – bagaimana harus kudeskripsikan seonggok peristiwa yang terasa begitu nyata untuk dikatakan renta, karena hangatnya masih memelukmu kapan saja ketika gigil datang. Ia adalah seseorang yang sederhana, yang pernah duduk di sebelahku pada suatu malam dan bilang, jika ia menyayangiku – singkat saja. Tapi ia adalah sejatinya potret tentang cinta. Kubisikkan padanya sederet kalimat dari bijak yang paling kusuka; any man can be a father. It takes someone special to be a dad. Dan, ia adalah seseorang yang kupanggil Ayah. Sudahkah kita memeluk Ayah hari ini dan menyadari jika punggung tangannya sudah berkerut dirayapi waktu?

Mencium Senja
: seorang perempuan yang kupanggil Ibu
Aku pernah mendengar, jika kata paling indah dalam bahasa Inggris bukanlah ‘love’, tapi ‘mother’. Saat itu, aku tersenyum – mother, ibu, mama, mami, mom, bunda, emak, ambu, apapun penyebutannya, selalu menjadi paling indah, karena ia menyimpan surga di kakinya, dan memiliki kasih Tuhan di tiap sentuh tangannya. Karenanya, sulit sekali untukku menguraikan bagaimana tatap matanya menyentuh langsung hatimu, peluknya meluluhkan beku amarah yang bermukim dalam dirimu, pangkuannya membuatmu memahami makna pulang sebenarnya. Aku ingat saat beliau menjadi koki untukku yang memilih-milih makanan, yang menjadi badut saat aku menangis karena hal-hal bodoh, yang menjadi suster saat aku sakit di pertengahan malam, yang menjadi sahabat saat aku bosan dan ingin bermain, yang menjadi motivator saat aku jatuh ke jurang, yang menjadi apapun dan siapapun saat dimanapun dan kapanpun; seluruhnya menggumpal dalam seseorang yang kupanggil Ibu. Aku teringat pada sebuah cerita yang mengisahkan tentang seseorang yang tumbuh dewasa dan semakin ingin melepaskan diri dari sosok Ibunya – ia malu harus dicereweti Ibunya, ditanyai sudah makan apa belum, pulang bersama siapa dan remeh temeh lainnya – tapi ketika Ibunya tak lagi hadir untuk merecoki itu semua, seseorang itu justru mengais-ngais sekali lagi bayang Ibunya. Dan, Ibunya hidup sekali lagi untuk mengulang semua yang tak pernah jadi kenangan – tapi selalu jadi nyata dalam ingatan. Aku kerap seperti itu; lelah dengan ocehan beliau, letih mendengar cerewetnya yang begitu-begitu saja – namun, ada satu waktu di tiap harinya, lewat ocehan yang sama berkali-kali, kamu akan belajar satu hal tentang cinta. Bahwa, cinta adalah memberi, tentang orang lain dan bukan diri sendiri. Itu bentuk kasih yang sepanjang masa. Sudahkah kita mengatakan cinta pada Ibu hari ini dan menyadari rambutnya sudah memutih diringkus waktu?

Untuk papa dan mama, yang senantiasa mengajarkan cinta dengan cara yang berbeda.
Selain itu, tulisan ini kupersembahkan pada:
Seseorang yang minggu ini pulang ke rumah dan berkumpul dengan keluarga tercintanya
Kawan jauh yang tengah merantau ke kota untuk menuntaskan kuliahnya, dan pastinya merindukan rumah
Teman-teman, siapapun, yang aku tahu di tiap ibadah mereka, menyelipkan nama papa dan mama di antara doa-doa terbaiknya
Selamat hari bakti pada orang tua.  
This entry was posted in

Saturday 23 May 2015

Kepada Lelaki yang Menghajarku Tiap Malam Lewat Kenangan Tentangnya


Aku menggeleng sembari menurunkan tangan seorang lelaki yang hendak mengajakku berdansa malam itu. Aku memilih prasmanan lain ketika lelaki itu datang dengan dua minuman berwarna. Aku beranjak ke balkon saat lelaki yang sama bilang ia akan membawaku mengembara. Lelaki itu mematung di tengah riuhnya pesta saat kubilang, maaf, aku menunggu seseorang. Tapi tiba-tiba saja, aku mengamit lengannya, menuntunnya keluar dari gedung itu ke sebuah bangku taman yang tak jauh, tapi berhasil menyelamatkanku dengannya dari rayapan ramai. Lalu, kutunjukkan secarik kertas padanya – itu lembar yang sudah penuh oleh coretan. 
“…bagaimana harus kubincangkan cinta padamu? Lewat dua orang yang tengah duduk di pojok warung sederhana itu dan berbagi makanan? Melalui seorang perempuan yang menyentuh kekasihnya lewat layar tablet hingga ia terlelap karena obrolan-obrolan yang terjadi karena rindu? Bersama sepasang kekasih yang saling menukar bisu dan menikmati senyap malam walau tak ada kembang api memayungi mereka?”
“…kau tahu, ada sebuah kalimat di sebuah film yang sudah kulupa judulnya yang bilang; kamu tidak mengucapkan selamat tinggal pada orang yang menyayangimu, kamu hanya perlu pergi darinya. You don’t say good bye, you just walk away. Itu caramu melepas. Sedang aku di sini, tak pernah menemukan cara meninggalkanmu, kecuali cara menicntaimu terus-menerus dengan cara yang baru. Tapi, sejak awal jalan kita serupa persimpangan yang berbeda, yang berlawan. Dan kamu menjadikan kalimat itu nyata.”
“…apa cara terbaik untuk kukatakan padamu jika di sini, segalanya tetap sama. Kamu masih lelaki yang sama; yang kulihat pertama kali dan jatuh cinta. Kamu masih orang yang sama; yang namanya tereja saat aku mati dan terjaga. Kamu masih orang dan lelaki yang sama; yang membuatku percaya pada selamanya, sekaligus yang membuatku menangis di depan piala kaca.”
Lelaki itu terkejut sembari bertanya padaku, apa yang kutunggu, apa yang kunanti. Kubisikkan padanya sebelum benar-benar pergi. Bukan apa, tapi pada siapa. Bukan siapa, tapi pada apa. Padamu; siapa. Pada kenangan; apa. Aku tertawa. Luka.
This entry was posted in

Wednesday 20 May 2015

Obituari Hati

Jam bergaya romawi peninggalan nenek, baru saja berdentang dua belas kali ketika sebuah panggilan masuk ke telepon genggamku. Aku tak menyukai dering telepon pada larut malam atau menjelang subuh; ia hampir selalu mengabarkan berita yang begitu mendesak dan kematian. Aku tetap mengangkatnya, terlebih saat nama salah satu kawan dekatku tertera di sana.
“Aku ada di depan rumahmu; sekarang. Akankah kamu keluar dan menemaniku?”
Itu katanya, setelah isak tangisnya yang jadi pertama kali menyapa. Aku pun mengajaknya masuk ke ruang tengah, tapi ia menolak. Ia bilang, ia ingin biarkan dirinya disergap udara dingin malam – biar ia merasakan gigil lain selain rindu. Aku membisu, sembari menyodorkannya secangkir kopi hangat. Aku tahu ia tak menyukai kopi, ia lebih menyukai jus buah. Tapi banyak hal yang bisa kamu selesaikan lewat secangkir kopi – terutama jika itu perkara hati. Misal saja, saat kamu ingin terus terjaga mengeja rindu, kamu bisa mengadu pada kopi. Ketika kamu sedang kesal dengan seseorang yang mengundang kenangan, kamu bisa menyiraminya dengan kopi. Saat kamu ingin sekali bertemu menuntaskan pertanyaan hati, tunjuk saja salah satu kedai kopi. Atau, ketika kamu ingin menggambarkan bagaimana sebuah rasa bekerja, katakan itu seperti kopi; yang awalnya pahit karena hanya berdiri sendiri, tapi bisa jadi rasa yang berwarna ketika itu menemui krimmer, gula, dan lainnya. Baru kusadari aku mengoceh bisu dengan diri sendiri saat kawanku itu menyentuh pundakku dan mulai bercerita.
“Perkaranya sederhana; aku mencintainya. Kukatakan padanya akan menunggunya, mungkin selamanya. Tapi aku tahu ia tidak hadir untukku bersama, dan karenanya sekarang ia sudah beranjak entah ke mana. Tapi aku masih di sini, ada rindu yang belum tuntas. Ada kabar yang ingin kutanyakan, ada cerita dan kisah yang ingin kusampaikan, ada rasa yang ingin kubagikan – lantas, padanya. Aku ingin berpulang sekali lagi dan membangun rumah; dengannya. Bagaimana aku harus berkata dan bergerak, ketika ia bahkan berusaha melupakan?”
Tatapan lukanya menembus mataku – aku melihat kedua tangannya lecet, terlalu keras ia menggenggam telepon genggamnya, mungkin letih menanti kabar dari seseorang yang dicintanya tapi tak ada. Matanya membengkak – mungkin ingin sekali keluar dan mencari tempatnya biasa ia bersarang di kedalaman mata seseorang. Aku memalingkan wajah, kuletakkan mataku pada bulan yang buram. Sedangkan isak tangis kawanku mulai terdengar lagi, ia masih merengek jawab dariku bagaimana harus ia redam rona rindu itu.
Aku pun tak tahu. Malam itu, sebelum ia datang ke mari – sesungguhnya aku baru saja mengelap ulang dinding hati, yang basah oleh darah yang tak akan lesap, karena ada luka yang bersikeras menyebut dirinya cinta.
Keesokkan harinya, kutemukan diriku sendiri tembus pandang; dengan kawanku yang meraung dalam tangisnya bersama tubuhku yang memucat dingin di pangkuannya. 

*aku menulis ini sembari mendengar One - Ed Sheeran, liriknya membuatmu memutar-ulang tentang memahami cinta
This entry was posted in

Rabu, Kelabu dan Hantu-hatu


Aku memelihara hantu di dalam kepalaku – aku tak merawatnya, aku sudah berusaha berkali-kali mengusirnya pergi, tapi ia masih saja bergelayut manja di ruang kepalaku. Hantu; sesosok hitam itu tertawa dan berteriak lantang di dalam diriku; aku akan selalu ada, aku adalah kamu – yang menjelma mimpi-mimpi burukmu. Minggu ini, hantu itu datang begitu saja – tanpa mengetuk pintu, karena memang pintu yang kupunya sudah lama dicabik pisau kenangan lampau yang menghantui. Dan ia mengancam; aku tak akan bangun di pagi hari dengan kisah-kisah bahagia. 
Biar kudeskripsikan hantu itu; ia tidak menyeramkan, tidak bertanduk ataupun berwajah beringas seperti yang dibayangkan. Ia seperti aku – hanya saja sangat gelap dan berdarah, bahkan aku tak mampu melihat matanya. Ia lebih sering tertawa dibanding mengancam – sesungguhnya. Ia adalah bagian diriku yang memastikan aku akan menangis jika lima belas menit lamanya aku termenung di hadapan cermin, menghadirkan mimpi buruk saat aku siap bergelung dalam lelap, dan memasangkan topeng di wajahku ketika aku akan melangkah keluar. Pernah kubilang padanya mengapa begitu kerasan berumah di kepalaku. Jawabannya membuatku gemetar; “…kamu yang menciptakan aku. Olehmu aku hidup, lewat kenangan buruk tentang dirimu yang kamu simpan menahun, bersama kesedihan-kesedihanmu, dan tangis yang kamu jaga diam-diam di tiap larut malam tanpa orang lain tahu. Kamu tanpa sadar memberiku makan setiap harinya.”
Ini Rabu, dan segalanya terasa buruk di mataku. Hantu itu masih bergeliat tak mau tahu. Sedangkan aku hampir mati mengusahakan semuanya baik-baik saja. Lalu, mereka; sahabat-sahabatku, tiba-tiba datang kepadaku satu persatu bertanya ‘mengapa’, dan ‘ada apa’. Katanya, mereka merindukan senyumku, celoteh seriusku, dan tawa-tawaku. Mereka bilang, ada mendung di wajahku – gelayut gelap yang tinggal cukup lama di mataku, hari ini. Tak ada binar saat aku memainkan teori-teori. Tawaku hambar, aku tak benar-benar utuh hadir di antara mereka. Ada yang salah. Aku tersenyum – dan lagi-lagi, itu lengkung bibir yang pucat.
Aku pun pulang ke rumah dengan langit polos malam menjadi payung di atas kepalaku. Aku takut tidur – dan menemui hantu itu lagi. Aku hanya menulis ini – berharap menghidupkan si hantu, bukan di kepalaku, tapi berpindah ke cerita-cerita ini. Mungkin, padamu. 

*aku tidak merasa baik akhir-akhir ini, mimpi buruk itu datang lagi dan hantu itu tak pernah lelah untuk singgah. Tapi, setiap harinya aku selalu punya kawan-kawan yang bagai tangan Tuhan berusaha menyentuhku agar tersenyum sejenak. Mereka yang dalam kesibukkannya selalu bilang, punya waktu untuk orang yang dicintai. Terima kasih pada mereka yang bertanya mengapa tak ada senyumku hari ini. Malam ini, sebelum aku tidur, aku tersenyum untuk mereka.
This entry was posted in

Sunday 17 May 2015

Yang Memanggilmu Pulang


Lalu, malam itu saat aku duduk di antara bising obrolan lautan manusia yang berusaha ditenangkan alunan musik klasik – yang akhirnya mengalah juga – aku mendapati seorang anak kecil lucu berkuncir dua, duduk di hadapan Ibunya. Keduanya tidak saling bercengrama – yang satu asyik dengan ponsel layar sentuh keluaran terbaru, satunya lagi bermain game dari tabletnya. Aku menyesatkan pandang di antara lalu lalang orang, aku teringat Ibu di rumah dengan kampung halamannya. Dulu, aku kecil selalu duduk di pangkuan Ibu, memain-mainkan dress batik yang sering Ibu kenakan, menarik-narik rok selutut bermotif bunga yang kerap Ibu pakai dulu, dan berceloteh tentang apa saja. 
Aku tahu kamu akan bosan ketika aku membahas sore. Berpikir apakah sekali lagi aku akan mengajakmu meniti gelisah hati, tapi tidak. Ada sore lain yang ingin kubagikan denganmu. Tentang sepotong sore bagi aku yang dulu, si anak kecil lugu dan jelek berkuncir kuda.
Sore, ialah waktu kamu bisa bersenang-senang, keluar dari rumah menuju taman bermain di kompleks perumahan sebelah, mencoba ayunan, perosotan, timbangan dan tertawa karena hal-hal bodoh. Membeli jajanan di pinggir jalan yang khas; kembang gula berwarna merah muda, permen warna-warni berbagai bentuk, dan panganan yang dijual di gerobak lainnya. Setelahnya, kamu duduk di rerumputan hijau bersama teman sepermainanmu, mengobrol banyak hal seolah-olah paling tahu tentang dunia. Bermimpi suatu waktu kamu bisa terbang – dan itu benar terjadi, kamu menaiki sepeda keranjangmu, berkeliling di suatu lapangan yang luas, mengayuhnya dengan kencang, dan beradu siapa yang bisa benar-benar melepas setang sepeda dan terbang.
Kamu tak pernah tahu seperti apa warna sore, bagimu bukan seperti apa yang dikatakan orang dewasa tentang senja yang sewarna lebam – menjingga dan remang oranye yang membuat hati diterungku kenangan yang entah seperti apa kejamnya. Bagimu, sore tak bisa terkata karena terlalu banyak warna. Bahkan ketika kamu bertengkar dengan teman mainmu hanya karena soal mainan barunya yang tak ingin dibagi. Kamu menangis, dan datang teman lainnya yang memelukmu dengan erat dan bebasnya. Esoknya, kalian bermain bersama lagi. Berbagi kembali. Kamu menjadi pangeran, dan aku menjadi putri. Kita beranggapan ada di kastil yang kita lihat pada kartun-kartun yang menawarkan keyakinan pada keajaiban.
Kamu tidak mencemaskan apa yang akan terjadi esok hari dan memikirkan apa yang tertinggal kemarin – kamu hanya butuh bermain dan main. Karena hidupmu untuk tertawa, tersenyum, dan bersama dengan orang-orang yang membuatmu terus seperti itu.
Kamu tak tahu, sore ini saat aku memandangi langit sore yang sebentar lagi luruh menjadi malam, ingin sekali lagi aku keluar rumah tanpa memusingkan kapan tenggat waktu terakhir pengumpulan tugasku, apakah aku sudah melakukan yang terbaik kemarin untuk proyek ke depannya, mungkinkan matahari terbenam itu nantinya tidak membuatku teringat pada seseorang, dan lain-lainnya. Nyatanya, aku melangkah keluar rumah dan tetap dihajar banyak hal. Aku rindu menjadi anak kecil sekali lagi – terkadang, dalam mimpiku, aku menjelma aku yang dulu, tiap pukul empat sore, mengayuh sepeda mencari teman-teman untuk bermain batu, kartu, gelembung udara, atau sekadar duduk bersama menikmati Bumi berotasi perlahan.
Aku – kita tak mungkin kembali ke masa itu, tapi setidaknya aku, kamu, dan kita, tidak berusaha membunuh anak kecil dalam diri kita.
This entry was posted in