Monday 22 February 2016

Tentang Berastagi dan Kenangan-kenangan yang Menyertainya



Udara dingin subuh yang berkumpul hingga membentuk kabut tipis di sini, berhasil menyengatku untuk bangun. Halimun tipis nan segar khas butanya pagi segera menyapaku - lengkap dengan bayangan akan bukit Gundaling kemarin yang berbaris rapi bersama bentangan hijau pepohonan pinus masih berkelebat di benakku. Mereka semua seakan sepakat memberikan potret sejatinya alam padaku, menyambut bangunku hari ini.
Aku bangkit dari tempat tidur, mengarahkan kaki ke kamar mandi. Melakukan aktivitas seperti biasa dengan ritme yang cukup cepat; mencuci muka dan menggosok gigi. Hal yang diulang. Aku menggeser kaca jendela yang buram karena bulir hujan dan embun pagi menempel dan mengering berkali-kali di sana. Ujung jari telunjukku menyentuhnya – sejuk, seakan ia hanya meresapi kesegaran dan keceriaan pagi, dan hanya bertugas untuk menyemangati siapa saja yang menginap di sini. Beberapa orang yang lewat lalu-lalang terekam pada pandanganku – mungkin mereka akan pergi ke Pasar Buah Berastagi. Aku tersenyum, teringat tujuan perjalanan kali ini.
“Berkemaslah. Siang nanti kita akan pulang,” ujar suara perempuan dari belakangku setelah kudengar suara pintu dibuka. Aku tidak menjawab, kubiarkan anggukan kepalaku mewakilinya. Dan, aku juga tidak melakukan apa yang dipinta. Aku memilih tetap berdiri, melarikan jari jemari di atas bahu jendela yang terbuat dari kayu berpelitur yang catnya sudah mengelupas dan melapuk. Ada bagian dari hatiku yang meminta untuk tetap tinggal.
Pulang?
Bukankah aku sendiri sedang pulang saat ini.
Tok...tok...tok...
Suara pintu diketuk. Awalnya aku mengira teman liburanku yang lain, jadi kuurungkan niat untuk menengok atau menyahut. Namun, bukan. Kali ini nada rendah dan volume yang hampir berbisik ialah suara dari pemilik penginapan ini.
“Seminggu kamu di sini, tak sekalipun aku melihatmu benar-benar tersenyum. Mungkin kamu butuh sembahyang sebentar, Nak.” Aku memutar badan, seorang bibi yang biasa kupanggil Ayi – dalam bahasa Hokkian. Perempuan paruh baya yang hari itu mengenakan blouse berpayet-payet biru tua, yang sudah cukup lusuh, dengan rambut dijepit ke atas, menungguku di ambang pintu.
“Mari sini.” Akhirnya kupaksakan diri melangkah mengekori beliau – walau keganjilan masih memintaku tetap di kamar. Di ruang tamu, sudah ada dua temanku.
“Jangan duduk dekat pintu, nanti susah dapat jodoh!”
“Garpunya jangan nancap berdiri di apel itu, posisinya mirip hio di kuburan.”
“Kamu kok pakai baju dan celana hitam? Warna gelap dari atas samapi bawah, nanti bisa membawa hawa buruk. Ganti sana. Oh ya, ingat juga, jangan sampai pakai kaus terbalik, itu tandanya kamu menyumpahi orang tua, paham enggak?”
“Hey, jangan ganti jadi putih juga, warna yang cerah saja. Kalau baju dan celana putih semua, sama seperti pakaian ke rumah duka.”
Senyum tiba-tiba menyinggahi bibirku – larangan-larangan itu, mengantarkanku pada aku di masa kecilku dulu, yang tinggal bersama Nenek dan mitos-mitosnya.
 “Jangan coba gaun pengantin sebelum nikah, nanti enggak punya jodoh. Bisa jadi perawan tua.”
“Ini nenek buatin onde, makannya sesuai umur A Mei, ditambah satu. Biar jauh dari kesialan.”
“Harus masak mie untuk ulang tahunmu minggu depan, biar panjang umur.”
“Pilih nomor yang banyak delapannya, jangan empat yang artinya kematian dalam bahasa Mandarin.”
Dadaku sesak. Kurasakan ada yang mendesak minta keluar dari ujung mataku. Aku berusaha menahannya. Ayi masih mengoceh tentang cerita nenek moyang, dan aku semakin terjebak di ruang kenanganku. Bukan hanya nenek, aku juga hidup dengan Kakek yang selalu punya banyak dongeng-dongeng serta kisah pengalaman hidupnya. Ah ya, aku tak lupa tentang kebanggaan Kakek lahir dan memutuskan menua di Medan. Menurut kakek, beliau telah menemukan keluarga kedua-nya di kota terbesar di luar pulau Jawa; Medan.
“Kamu tahu tidak, A Mei, Medan punya banyak orang-orang dari suku dan ras beragam. Dulunya, ada dua migrasi besar-besaran yang berbodnong-bondong ke Medan. Orang Jawa dan Tionghoa, sama seperti kakek ini. Banyak dari mereka memiliki keterampilan berkebun.”
“...merayakan Imlek di sini. Memasang lampion di rumah, sembahyang malam tahun baru. Kamu selalu suka ikut kakek membakar kertas baju, kertas uang, dan kertas koper untuk leluhur. Di Medan, budaya dari etnis kita – Tionghoa – masih cukup kental. Kakek merasa menjadi diri sendiri di sini. Teman-teman walau berbicara dengan bahasa daerah yang berbeda-beda, mulai dari Hokkian, Kantonese, Khek, Tiou Chiu, dan lain-lain, kita tetap merasa satu.”
Seseorang menepuk pundakku, cukup keras – nyatanya Ayi sudah selesai dengan ocehannya dan mengajakku mengikuti langkahnya. Ia berlalu sembari menggeleng, kudengar gerutuannya tentang remaja sekarang yang sulit dinasehati perihal kepercayaan dan tradisi zaman dulu. Aku tertawa kecil, teringat aku yang sering kali bebal saat dinasehati. Tapi ujung-ujungnya aku juga menuruti pemahaman-pemahaman tadi.
Aku masuk ke dalam salah satu kamar yang ‘pintu’-nya hanya berupa kelambu cokelat tua – entah karena warnanya memang begitu, atau sudah lama dimakan usia dan ditempeli asap dari dupa yang dibakar hampir tiap harinya. Ada patung Buddha Kwan Im beserta dua dewa-dewi Na Cha masing-masing di sebelah kanan-kiri.
Ayi dengan sigap menyiapkan tiga batang dupa, sedangkan aku masih tercenung di balik kelambu yang memberikanku pandang samar-samar. Lagi-lagi aku teringat wejangan nenek, tiga dupa untuk para dewa-dewi, kalau dua berarti untuk orang meninggal. Aku berusaha mengusir kelebat bayang akan kenang-kenang itu, tapi gagal. Selagi Ayi sedang membersihkan abu dari bekas dupa, yang berserakan di altar, mataku tertuju pada pot pohon bunga mei hwa yang sudah menghitam kusam di pojok ruangan.
Mungkin hanya hiasan Imlek tahun lalu, tapi mengapa rasanya jadi tidak sesederhana itu? Pikiranku terlempar pada perayaan tahun baru Cina sekitar dua tahunan lalu. 
sumber gambar: kemanaajaboleeh.com
 Imlek sekitar dua tahun lalu. Petasan terdengar di halaman depan rumah, yang dimainkan anak-anak. Barongsai sesekali diarak keliling kompleks. Memotong rambut tiga hari sebelum Imlek, mencari baju merah, menyapu rumah semalam sebelum perayaan. Serta toko-toko yang tiba-tiba menyulap diri menjadi merah. Lampu-lampu kerlap-kerlip yang melilit pepohonan mei hwa plastik yang dijual di pinggir jalan kota. Lalu biasanya di pusat kota, kadang digelar festival Imlek, ada banyak sekali lentera merah bertuliskan aksara Mandarin yang menyala dan digantung di langit-langit gedung, beserta pertunjukkan musik-musik. Lalu kebiasaan aku memakai baju ala putri Cina. Lagu-lagu Gong Xi yang diputar dari rumah-rumah, percakapan orang-orang dengan berbagai dialek daerah Tiongkok. Mengingat sebagian besar keturunan Tionghoa menetap di Medan, kadang kali, suasana dan atmosfer kebudayaan yang ada saat Imlek, lebih mengena dari gegap gempita Imlek di ibu kota.
Sekali lagi, semuanya diiringi dengan cerita Kakek akan kecintaannya pada kota kelahiran aku dan beliau ini.
“A Mei ingat tidak teman A Mei dari tetangga sebelah, yang orang Batak? Kamu panggil dia Pinto. Dia sering main ke sini, lihat kamu sembahyang, lalu kalian main bersama. Kamu ajak dia makan kue bulan, dia memaksamu mencoba makanan khas Batak; arsik ikan.”
Ah, benar. Apa kabar dengan Pinto? Teman Batakku yang suka sekali berteriak Horas! Horas! Horas! Serta rasa penasarannya pada adat dan tradisiku yang berbeda dengan budayanya.
Baru hari ini kusadari, ada Indonesia kecil di Medan.
“Ayo sini, minta dan mohonlah keselamatan serta kelancaran untuk perjalanan pulangmu ke Jakarta.”
Aku menggeleng. Mataku sudah basah. “Aku tidak ke mari untuk liburan atau menjadikan perjalanan ini sebagai tempat singgah demi hiburan. Lebih dari itu.”
Ayi mengernyit. “Aku ke sini, mengunjungi Medan sekali lagi, karena...”
Kubawa mataku pada jendela tanpa gorden di ruangan sembahyang tempatku sekarang berdiri. Memandang lurus, menembus pemandangan alam yang terbingkai di luar sana sebelum memantapkan diri untuk melanjutkan kalimatku. “...aku ingin menjelajahi kota ini sekali lagi, dan kalau diberi kesempatan lebih, berkali-kali. Dan bahkan tinggal di sini. Aku ingin meresapi kenangan-kenangannya. Kehidupanku bersama Kakek dan Nenek yang pernah ada. Aku mau diajak jatuh cinta kembali oleh kota ini.”
Perempuan menjelang senja yang berdiri di hadapanku, mendadak melandaikan air matanya. Mungkin ia juga teringat mendiang suaminya – yang fotonya terpajang di dinding ruang sembahyang. Kami pun saling mendekap. Menyelami kehilangan masing-masing, dan mencintai kenangan yang masih bersisa di kota ini.
Sebab, Medan bukan hanya soal bika ambon dan lapis legit yang sering dibawa orang-orang dengan kemasan kardus di antara kesibukan Kuala Namu. Bukan juga becak-becak unik yang bersepeda motor dengan pengemudi di sampingnya. Mall-mall yang tak kalah megah dari Jakarta. Berastagi bagai versi puncak-nya Bogor. Tapi juga kebudayaan yang saling membaur, dan kenangan-kenangan para perantau, keunikan penduduk asli di sana, hingga cerita-cerita nenek moyang. Medan adalah kota kenangan bagi mereka yang pernah mendekapnya, termasuk aku dan kamu – juga kita. (*)

Cerita ini ditulis untuk diikutsertakan dalam Gramedia Blogging Competition, Februari 2016
#GBCFebruari #46thMenginspirasi #NowWeSee. Selamat ulang tahun ke-46, Gramedia!
This entry was posted in

2 comments: