Saturday 26 March 2016

Menuliskan Imajinasi bersama Pangeran Kunang-kunang



“Jadi kalian pasti mau tanya, kalau menulis itu harus bagaimana, apa yang harus disiapkan, dan lain-lain. Jawabanku: menulis ya menulis,” ujar Agus Noor pada workshop cerpen Kompas untuk mahasiswa UMN di Kompas Corner kemarin (24/3). Sudah dua tahun sejak aku pertama kali bertemu dengannya, Mas Agus masih menekankan hal serupa, bahwa kunci utama menulis sesungguhnya adalah menulis itu sendiri.  Mungkin berbagai teknik, peralatan yang mendukung seperti laptop, notes ponsel, buku saku, dan lain-lain, bisa menunjang aktivitas menulis – tapi hal-hal seperti itu tidak membuat kita menulis jika tidak memulai dan melakukan tindakan menulis. Aku jadi teringat salah satu quote dari Dan Poynter yang bilang: “If you wait for inspiration to write, you’re not a waiter, you’re a waiter”. Karenanya, sesi pelatihan menulis bersama Agus Noor jarang (atau hampir tak pernah) berbicara soal teori, sebaliknya, langsung praktek. Mas Agus sendiri pernah menyebutnya sebagai ‘Praktek Imajinasi’.
sumber foto: instagram @kompascorner
Teknik Tiga Kata
Taksi. Satu kata yang Mas Agus pilih dan tuliskan di papan tulis putih yang berdiri di hadapan para peserta. “Baiklah, taksi lagi ngetren, banyak berita, juga banyak cerita. Aku pengen tiap orang menyebut satu kata saja yang paling tidak berhubungan dengan taksi. Ayo mulai,” sahut Mas Agus dengan nada suaranya yang khas. Kata-kata yang dilempar para peserta pun bermunculan untuk bersandingan dengan si ‘taksi’, seperti sisir, balon, filsafat, mantra, zombie, kunang-kunang, lolipop, dan lain-lain. Setelahnya, Mas Agus meminta peserta untuk memilih tiga kata secara acak, menghubungkannya dengan taksi, dan jadikan itu sebuah cerita yang utuh.
“Ide bisa dipancing dari teknik tiga kata. Cara semacam ini membantu kita berpikir out of the box, yang enggak umum, yang berbeda dari orang-orang kebanyakan. Orang-orang kalau berpikir soal taksi, pasti yang deket-deket saja, misal mobil, hijau, biru dan sebagainya. Kita harus keluar dari sana, bikin yang beda, itulah kenapa aku minta kata-kata yang jauh hubungannya dengan taksi. Cari kemungkinan yang paling jauh dari topik itu. Kuberi waktu dua sampai lima menit untuk nemuin idenya,” ujar Mas Agus yang mengaku suka sekali mematangkan ide-ide ceritanya di kamar mandi ini.
Minimal Empat Jam dalam Sehari
Sembari menunggu para peserta mengarungi pemikirannya untuk mendapat ide, Mas Agus mengisinya seraya bercerita. Hanya dalam waktu kurang lebih dua menit, Mas Agus bisa dengan segera mendapat ide cerita. Ia bilang, hal seperti ini harus banyak dilatih, agar tidak ada lagi alasan ‘buntu menulis karena enggak ada inspirasi’. Dulu, saat ia masih mahasiswa, ia sudah punya tekad dan niat untuk menjadi penulis. 

“Aku bilang pada diriku sendiri, aku mau jadi penulis. Karenanya, aku terima segala resiko dan konsekuensinya, jadi miskin, penghasilan enggak tetap. Bodo amat, yang penting aku nulis,” cerita Mas Agus bersemangat. 

Bahkan, karena niat kuatnya itu, Mas Agus mengunci dirinya di kamar dari jam tujuh malam hingga dua belas tengah malam untuk menulis. Ia menolak semua ketukan pintu dari teman-teman kuliahnya yang mengajak pergi dan nongkrong bareng di luar. 

“Pokoknya, minimal empat jam waktu yang kusediakan setiap harinya untuk menulis.” 

Dan, kita semua tahu, itu bukan kerja keras dan perjuangan yang sia-sia.
Waktu sudah habis. Para peserta pun mengacungkan tangan untuk menyampaikan ide ceritanya. Banyak yang menarik, salah satunya ide tentang seorang supir taksi yang berfilsafat di tengah kemacetan. Filsafat yang menyoal soal romantisme di tengah tersendatnya laju kendaraan. “Semuanya bagus-bagus, hanya perlu dikembangkan dan ditemukan logisme ceritanya.” 
"Semoga terselamatkan dari kesedihan," tulis Agus Noor pada buku yang ditanda-tanganinya untukku. Ehem, padahal tiap baca puisinya, aku berkali-kali ditawan kesedihan. Hahaha.
Menulis Bukan untuk Membahagiakan Semua Orang
Selain diskusi terkait ide cerita, pertanyaan-pertanyaan juga muncul mewarnai sesi pelatihan.
Ketika ditanya soal keperluan menyiapkan outline cerita, Mas Agus menanggapinya seperti ini, “Kalau tipenya Dewi Lestari, dia membuat kerangka ceritanya dulu, lalu mencari literatur yang mendukung poin-poin penceritaannya. Keuntungan membuat outline adalah kamu tahu arah ceritamu mau ke mana, dan tidak keluar jalur. Tapi bagiku sendiri, aku lebih suka berpetualang. Membiarkan si cerita yang membawaku ke mana nantinya. Balik lagi pada si penulisnya, lebih suka dan sesuai yang mana.”
Ada juga peserta yang ‘curhat’ soal ending ceritanya yang sering kali saddan sering diminta teman-temannya agar move on ke happy ending.Bagaimana cara menyiasatinya? Jawaban Mas Agus cukup mengejutkan si peserta, “Kamu nyaman enggak dengan gaya bercerita yang gelap dan sad ending? Kalau iya, tak apa, lanjutkan. Kecuali kalau memang kamu menulis untuk pasar atau tuntutan dari produser yang meminta cerita harus happy ending. Jika tidak, tak ada masalah dengan terus menulis dengan ending seperti itu. Balik lagi, kita tidak menulis untuk membahagiakan semua orang.”
Lima Ratus Ribu Perbulan
Workshop baru berakhir ketika menjelang maghrib. Aku pun masih sempat berbincang sebentar dengan Mas Agus, sekaligus menyodorkan dua bukunya untuk ditanda-tangani. Pada kesempatan itu, aku bertanya tentang kesibukan dan hobi membacanya.

“Selain sibuk nulis pastinya, sekarang lagi baca ‘O’-nya Eka Kurniawan dan ‘Inteligensi Embun Pagi’-nya Dee. Kalau buku puisi, aku suka Aan. Aku selalu menyisihkan minimal lima ratus ribu perbulan untuk belanja buku.”

Aku tersenyum seraya mengangguk. Kurasa, kutipan dari Mark Twain akan cocok mengakhiri tulisan ini, "If you want to be a writer, you must do two things above all others: read a lot and write a lot."
aku bersama Agus Noor, dan buku-bukunya


Tulisan terkait workshop cerpen Kompas 2014 bersama Agus Noor, silakan klik tautan di sini
This entry was posted in

0 Comments:

Post a Comment