Wednesday 29 June 2016

5 Fakta yang Kamu Belum Tahu dari Novel ‘Time in a Bottle’



Aku percaya – dan aku yakin kamu juga demikian – bahwa setiap buku yang berada di pangkuan pembacanya atau yang sekarang sedang berbaris rapi di rak-rak toko buku, punya cerita penulisannya sendiri. Orang-orang menyebutnya sebagai ‘kisah di balik layar’. Dan, kerap kali, kisah atau cerita di belakang panggung selalu menarik untuk diketahui. Ia tak hanya menjadi bukti perjuangan keras si penulis dalam menjalani proses kreatifnya, tapi juga jejak lain tentang betapa keganjilan-keganjilan sering mengambil bagian dalam penggenapan sebuah karya!

1. Berantem Mulu dengan Kak Sian
Kerjaan kami sejak awal (selain menulis bersama tentunya) adalah berantem. Saat pertama kali mengetahui kami dipasangkan dalam satu tim, yang ada di kepala Kak Sian adalah aku orang yang sombong, dan yang ada di kepala aku adalah ‘gaswat, dipasangin sama penulis molor yang  naskah solonya selama 13 tahun enggak kelar-kelar, matilah gue’. Dan, ketika diskusi pembuatan outline, sangat kentara sekali selisih pahamnya. Kak Sian maunya begini, aku maunya begitu. Dan ketika ide Kak Sian memeroleh suara terbanyak, aku manggut-manggut dan terlihat yang paling tidak setuju (kalau diingat-ingat lagi, rasanya lucu sekali).
Sepanjang dua bulan (waktu yang kami sepakati untuk menyelesaikan naskah), lebih banyak lagi pertumpahan darah yang terjadi di antara kami berdua. Menurut Kak Sian, aku seperti menulis sejarah musik favorit Marvel. Menurutku, hanya cerita yang dikumpul oleh Kak Sian saja yang tidak melebur dengan ketiga cerita yang sudah ada (maklum, Kak Sian ilmunya ketinggian). Alhasil: kami paling sering telepon-teleponan via Whatsapp plus teriak-teriakkan. Apalagi kalau menjeleang tenggat dan sudah diraung-raungi editor, aku (menggunakan kuasa sebagai koor tim, hahaha) berupaya ‘menggencet’ (oke, kejam sekali kedengarannya) Kak Sian agar cepat mengumpulkan naskah bagiannya (kukejar dari pagi sampai tengah malam karena Kak Sian terlalu perfeksionis dengan tokoh binaannya sampai paling molor dan telat kalau ngumpul bagiannya #digebukKakSian). Tapi, percayalah, novel Time in a Bottle bisa kinclong seperti sekarang (memuji karya sendiri banget yak!), juga berkat tangan dingin Kak Sian sebagai penulis paling senior di antara kami :). Aku banyak belajar darinya! Walau dalam hati sih, sempat kapok bung.

2. Menulis di Foodcourt SMS – Lobby Utama SDC – Ruang Dorado Skystar Ventures
Satu hal yang kerap membayang-bayangiku ketika menulis novel ini adalah tenggat waktu! Deadline benar-benar terasa memburu dan memiliki sepasang mata yang siap membunuh. Hasilnya, seusai kuliah, dibanding harus pulang ke rumah dan bertemu kasur yang selalu siap membiusku untuk segera tidur, aku memilih tempat-tempat untuk menulis. Ditemani kawanku – yang rewelnya minta ampun, sampai akhirnya aku memilih mengetik sendirian – aku nomaden di tiga tempat ini: SMS – SDC – Skystar Ventures!
kiri-kanan: SDC - SMS
Sebagian besar self-editing kulakukan di ruang kerja Skystar, hingga baterai laptop habis dan aku selalu lupa membawa charger. Karenanya, sudah tahu reaksi di grup Whatsapp Tim Makau: “Tinggal Marvel nih. Si Vero ke mana ya? Marvel butuh perhatian.”

3. Enggak Pernah Ketemu Lagi
Selama proses pengerjaan naskah yang krasak-krusuk itu, kami berempat tidak pernah bertemu lagi, sampai akhirnya dikejar-kejar editor ... kami pun berjanji kopi darat di kantor Elex. Berikut fotonya:
Kanan-kiri: Kak Sian Hwa - Kak Tia Marty - Kak Afri (editor) - Aku

4. Riset yang Menyita Waktu
Dari keempat penulis yang ada di Time in a Bottle, hanya Kak Sian seorang yang pernah ke Makau, tiga lainnya masih meraba-raba. Jadi, riset demi setting tempat yang enggak asal tempel saja, menjadi peer bersama bagi kami semua. Belum lagi ditambah pembangunan karakternya, yang mana tiap penulis tidak boleh hanya menyelami satu tokoh binaannya saja, tapi juga keseluruhan tokoh. Sebab ini bukan antologi, tapi sepotong novel utuh. Di sini letak tantangannya. Kami pun lebih banyak menghabiskan waktu untuk riset. Kak Sian sampai begadang demi membaca jurnal kedokteran dan memelajari partitur lagu. Indri yang mewawancarai mantan pekerja kasino Makau. Tia sibuk mencari tahu gaya hidup para sosialita Makau hingga kebiasaan-kebiasaan khasnya. Aku? Googling cowok-cowok Makau biar jadi referensi wajah tampan Marvel,  Belajar mengenali makanan-makanan yang ada di Makau, apartemen di sana, sampai tempat-tempat yang sekiranya akan Marvel kunjungi.
ini 'portuegese egg tart' khas Makau yang jadi favorit kita

 5. Tentang Bab Terakhir Marvel
“Aku sedang menapaki kenangan yang bangkit dan hidup, tepat setelah kematian tiba.” – Marvel dalam Bagian Empat: The Ending.
Aku menulis paragraf-paragraf di bab terakhir ini diiringi dua hal: musik Yiruma dan sepotong kabar. Telepon genggamku berbunyi pada siang yang terasa janggal, karena Ibu sedang keluar sibuk mengatur napas yang dibuat sesak air mata yang sesuka hati jatuh. Suara di seberang sana pertama kali menyambutku dengan isak-isak tertahan sebelum akhirnya mengabarkannya; nenek sudah pulang. Musik Yiruma yang masih berputar kuketahui berjudul Just For A While. Dan, aku sedang menulisi bagian Marvel mengunjungi reruntuhan makam St. Michael. Ini bab yang benar-benar membuatku sesak berkali-kali ketika menuliskannya. Tiap kali aku memejamkan malam, menyentuh paragraf pada bab tersebut, aku kembali lagi pada sebuah siang dengan pertanda dan bahasa alam akan kabar kematian yang duka sekali rasanya.

Jadi, itulah 5 fakta seputar pengerjaan novel ‘Time in a Bottle’! Ada banyak perasaan yang bermain-main sepanjang kepenulisannya. Semua itu turut membuatku menikmati tiap detik pembuatannya. Ia penuh cerita, penuh cinta.

0 Comments:

Post a Comment