Saturday 24 September 2016

Kematian Kecil



Kupikir setiap orang punya kematian-kematian kecil yang mereka simpan sendiri. Aku bertemu dengan masing-masing dari mereka hampir setiap hari; orang-orang yang menyembunyikan kata ‘tidak’ saat ‘iya’ menjadi suara paling nyaring, orang-orang yang menolak mengakui rindu, orang-orang yang menghapus isi pesannya sebelum sempat mengirimnya, orang-orang yang menyimpan surat-surat cinta tanpa alamat yang disembunyikannya di kolong tempat tidur, orang-orang yang membeli banyak buku puisi dan membiarkannya teronggok lama hanya untuk melihatnya berdebu. 
sumber foto: favim.com
“Kalau begitu, kupikir setiap orang juga punya kehidupan-kehidupan kecil yang mereka pelihara sendiri,” katamu dalam tiba-tiba. Aku menengok ke arahmu – dan aku kembali memberimu senyuman itu – lengkungan yang kamu bilang tidak pernah benar-benar penuh karena ada yang belum sembuh. Sejenis kehilangan atau kesedihan yang masih menimang-nimang meninggalkan diriku atau tidak. Tapi kamu selalu bisa mengambil tangan kecilku dan bilang aku tidak pernah sendiri.
“Aku mengobrol dengan mereka satu persatu. Motivator itu – buatku bukan orang yang mendorong semangatmu di mataku; mereka hanyalah para pejuang yang menangis hebat di malam hari lalu masih cukup kuat bangun di pagi harinya untuk tertawa. Kekasih-kekasih itu – buatku bukan pasangan yang memadu kasih yang diceritakan dongeng-dongeng; mereka adalah yang berani menikmati luka untuk mendapatkan cinta yang jalannya selalu di persimpangan antara keraguan dan kebimbangan. Pencerita itu – buatku bukan sosok yang andal menjajakan kisah-kisah; mereka ialah sekelompok orang yang memanfaatkan kenangan untuk dijual. Mereka-mereka itu, sedikit contoh tentang kematian-kematian kecil yang tak pernah kita tahu.”
Dan, aku – yang menyambar potongan-potongan puisi yang kukumpulkan dari klipping koran, membacanya keras-keras, sesekali bisik-bisik, setiap malam untuk menyembuhkan yang kamu bilang bagian-bagian yang tak pernah damai dalam diriku.
Kamu diam. Cukup lama. Kamu melepaskan genggamanmu – menyematkan matamu di antara mondar mandir orang di teras kafe. Kamu masih membiarkan bisu yang bicara. Sampai lebih dari lima belas menit lamanya. Seperkian detik, singkat saja, terlintas kamu pergi sekali lagi dengan cara yang lain. Membiarkanku menikmati kematian kecilku sekali lagi. Dan, aku meraih Lang Leav, menelusuri sajak-sajak sirkus duka cita dengan penuh suka. Begitukah?
Lalu kamu kembali. Kamu pulang.
“Ver, kupikir setiap orang punya kehidupan kecil yang mereka rawat sendiri. Kamu tahu kamu jatuh cinta ketika kebahagiaannya menjadi kebahagiaanmu juga. Tak peduli salah satu cara menikmati kebahagiaannya adalah dengan melepaskannya – kamu pergi. Orang-orang bilang kalau kamu jatuh cinta, kamu tidak akan meninggalkannnya, kamu akan memperjuangkannya, kamu tahu cinta sesungguhnya adalah memilikinya untuk melindunginya di tempat terbaik yang bisa kamu berikan. Tapi, dengan kamu pergi dan ia bahagia – kamu masih memilikinya: memiliki kehilangan akannya.”
Band indie, alirannya mungkin Blues, naik ke panggung kafe. Basa basi tentang lagu perdana yang akan dibawanya, tentang request yang memungkinkan. Aku mendadak tuli kecuali apa yang keluar dari bibirmu.
“Kupikir, Ver, setiap orang memang menyimpan kematian kecilnya, tapi itu adalah bagian dari menjaga kehidupan kecilnya.”
Kamu tersenyum – mengamit tanganku lagi. Aku tidak membalasnya, kamu selalu tahu itu. Kamu selalu tahu.
Kamu kematian kecilku, sekaligus kehidupan kecilku. Sepanjang malam.

0 Comments:

Post a Comment