Tuesday 18 October 2016

Dijual Rumah dengan Segala Kehilangannya


Ada yang ingin kuceritakan padamu. Sekitar tujuh hari yang lalu, aku singgah sebentar ke rumah salah seorang senior. Katanya ia baru saja pindah, aku tak pernah menanyakan alasannya mengemas seluruh pakaian dan barang-barangnya hanya untuk menempati rumah kecil yang sudah tak diurus pemilik sebelumnya selama lebih dari tiga tahun. Kupastikan bukan karena uang – karena seniorku tidak menjual rumah miliknya. Ketika aku sampai di sana, koper-koper bajunya masih tergeletak di ruang tengah yang sempit dengan hanya satu sofa yang busanya sudah keluar ke mana-mana. Ia baru selesai mandi saat aku menerobos masuk pagar rumahnya yang tak terkunci. Kami saling bertukar kabar, dan belum sempat aku minta disuguhi teh tawar hangat, ia sudah mengajakku pergi: ke rumah lamanya. Hal mengejutkan, rumah yang ditinggalnya itu begitu terawat. Ia mempersilaku masuk, dan rentetan setelahnya sulit kuungkapkan padamu: ia masuk ke kamarnya dan membawa satu boks dus. Isinya bingkai-bingkai foto, jepit rambut, kaos-kaos yang kelihatannya belum dicuci jika dicium dari baunya, dan hal-hal lainnya. Lalu ia menyambar sebuah album yang berisi potret adik perempuannya yang baru meninggal sebulan silam. 
sumber foto: sailorjennie.com
Aku terkesiap: ia menghindari kenangan hanya untuk menemukannya kembali.
Aku pulang dengan perasaan gelisah. Kamu tahu, aku jadi teringat tetangga di kampung halamanku. Tetangga yang rumahnya terletak di paling ujung kompleks, hampir satu deret perumahan menyebut si tetangga itu gila. Karena hampir tiap petang, ia selalu duduk di teras rumahnya, menangis dan tertawa seraya memutar video keponakkannya yang meninggal bertahun-tahun lalu. 
Aku terkesiap kedua kalinya: ia sengaja menyeburkan dirinya dalam duka untuk merasakan kehadiran seseorang itu kembali.
Aku cepat-cepat masuk ke dalam rumah, mengunci rapat-rapat jendela. Tiba-tiba aku ketakutan. Padahal aku tahu tidak akan ada yang akan masuk – maling sekalipun, apa yang ingin ia curi? Aku membeli rumah ini setahun lalu dari iklan di koran lampu merah: dijual, rumah yang lengkap dengan semua kenangannya. Aku cuma punya kenangan. Tapi, aku masih saja menutup semua pintu, dan menggembok pagar. Menyelindung di kamar bersama pikiran-pikiran yang tak pernah sendiri; ditemani ingatan-ingatan tentang kamu. Aku meraba-raba meja kecil di samping tempat tidur, mencari obat yang diberi dokter seminggu lalu. Meneguknya cukup banyak tanpa membaca keterangan dosisnya. Setelah aku cukup tenang, aku menyambar ponsel, memutar lagu-lagu yang biasa kudengarkan sejak kamu pergi*. Meraih buku-buku puisi yang kubaca sejak kamu beranjak. 
Aku terkesiap ketiga kalinya: aku memeluk kehilangan demi menegaskan setidaknya aku pernah memilikimu, walau sekali saja, dulu. Sudah cukup.
*kalimat yang dinukil dari puisi Lang Leav

0 Comments:

Post a Comment