Friday 21 October 2016

Sayang, Ini Bagian-bagian Liar Dariku yang Tak Pernah Sempat Kamu Tahu


Begini, sayang. Kita berlima – tengah berkumpul lengkap untuk pertama kalinya pada semester ini. Berbincang tanpa arah yang jelas selama lebih dari lima jam. Aku bilang, kita menjadi dekat karena tanpa sengaja satu sama lain mampu menemukan keanehan masing-masing dan melihatnya sebagai sesuatu keunikan untuk ditemani. Kawanku tertawa, menimpal, “Setiap orang punya keanehan-keanehannya sendiri. Dan, kamu hanya butuh mengenali dua orang yang mengetahuinya untuk tahu kapan kamu harus menjadikannya bagian dari hidupmu: yang menjauhi keanehan itu, atau justru belajar mencintai keanehan itu.”
sumber gambar: pexels.com
Lalu, sayang. Aku mengatakannya pada kita satu persatu: keanehan sudah jadi makanan kita setiap hari, yang kita santap bersama telur dadar favorit di piring melamin putih yang sudah retak karena dibeli dengan harga diskon di mobil truk biru yang keliling rumah. “Kita melihat keretakan masing-masing serupa keanehan,” kataku dengan delapan mata mengerubungiku.
Lantas, sayang. Kapan kita benar-benar membuka retakan itu – 
kapan kamu berani mengakui keliaran yang kamu pelihara dalam dirimu? 
Aku penasaran alasan mengapa piring yang kita beli bisa retak. Aku hanya tahu ia retak baru pagi ini, tiba-tiba saja. Kamu pun heran. Sejak kapan. Tak ada yang tahu. Sama seperti kita yang tidak tahu mulai tanggal berapa keliaran yang berupaya aku kamu sembunyikan tumbuh jadi monster yang menelan diri sendiri? Kita berlima hening. Es krim yang kita beli dengan harga murah, mencair pelan-pelan bagai jam pasir yang menunggu kapan kita mendiamkan kegelisahan dengan mencoba lebih jujur pada diri sendiri?
Maka, sayang. 
Tak ada yang berani memberi suara pada perasaan-pikiran liar untuk bicara. 
Tiada yang juga benar-benar mau mendengarnya. Aku bilang – kita seperti pergi ke pesta topeng. Katanya kamu mencintai seseorang di sana, kamu ingin mengenal dirinya lebih daripada yang ia tunjukkan ke orang-orang. Tapi kadang kali kamu yang mengucapkannya, tak memahami sebetulnya yang kamu katakan. Keinginan mengenal lebih karena perasaan yang orang bilang cinta – berarti lebih dari sekadar mengetahui ketakutan dan kelemahannya, tapi juga menerimanya. Satu paket dengan keliaran-keliaran, yang ia punya.
Tapi, sayang. Kita berlima masih diam. Begitu juga kamu. Kenyataannya, orang-orang bilang ingin mengenal lebih tapi tak pernah cukup siap. ‘Kelebihan-kelebihan’ itu nyatanya terlalu banyak baginya – bagi kamu. Lalu sering kali akhirnya kita menekannya agar tidak keluar, jadi yang baik-baik saja. Sayang, ketahuilah, sampai di sini, tak ada cinta yang namanya apa adanya. Kita hanya berusaha menekan apa yang liar, apa yang kata orang-orang tidak sesuai, apa yang kamu bilang ingin kamu ketahui tapi sesungguhnya tak siap – agar diam-diam bisa sesuai dengan kriteria yang tak pernah kamu ungkapkan untuk menyenangi hati orang yang kamu rasa, kamu cintai.
Jadi, sayang. Berhenti bilang kamu menyayangiku apa adanya. Aku bukan apa adanya, kamu hanya tidak mengenaliku sebagai ada apanya yang utuh. Berhenti pula untuk setelah ini memintaku membongkar keliaran dan kamu bilang pasti bisa menyetujuinya.
Soalnya, sayang. Bagaimana jika di awal pertemuan kita, aku segera menarik tanganmu, membawamu ke sebuah resto asing dan segera bertanya tentang apa pandanganmu mengenai 32 tahun Soeharto yang sempat membuat kakekku hilang, berapa jumlah perempuan yang diam-diam ingin kamu tiduri dalam hidupmu, mengapa kamu masih bertahan dengan agamamu sekarang, pernahkah kamu berpikir nabimu adalah seorang alien dan kitab suci yang kita baca berkali-kali tanpa benar-benar mengetahui maknanya selain hanya karena kebiasaan adalah hasil penafsiran yang salah dari orang-orang dulu sebelum kita, apa pikiranmu tentang anak-anak, masa depan, budaya, dan, dan, dan.
Pertanyaannya, sayang. Apakah kamu siap dengan keliaranku yang ingin mengikatmu di atas kasur motel asing dan membiarkanmu berteriak minta tolong sembari aku mencongkel kedua matamu yang kubilang begitu indah tiap lampu dimatikan? Apakah kamu cukup kosong untuk menerima kenyataan aku mencintaimu agar memiliki kesempatan untuk membunuhmu – sehingga aku memiliki kehidupan sekaligus kematianmu? Apakah kamu cukup kuat jika aku menyeretmu keliling melihat-lihat betapa kesedihanku menjadi Tuhan dan kehilanganmu menjelma jadi impian sekaligus ketakutan, sehingga aku ingin memberimu ciuman yang tak pernah kamu lupakan tapi sebagai stempel selamat tinggal? Aku menyimpan seribu keliaran dalam diriku yang menunggu kamu tahu – tapi kupikir kamu cukup takut untuk mengetahuinya barang satu saja.
Karena, sayang. 
Kamu pergi sebelum aku sempat mengutarakan apa pun selain kelebihan yang kujual berulang kali depanmu untuk membuatmu jatuh cinta. Lama akhirnya kusebut itu sebagai cinta dan kesialan-kesialan. Dan malam ini aku bertanya, kapan aku berhenti jadi perempuan bodoh yang memilih menghindari keliaran demi melihatmu tinggal?
sumber gambar: entrepreneur.com
 Sebab, sayang. 
Aku lelah mencintai lelaki cerdas, kaya, tampan, hebat di ranjang, puitis, pintar jadikanku bak putri, relijius, tubuh kotak-kotak, rapi, lincah, harum, mapan, keturunan kerajaan, sayang keluarga, punya Ferrari, dan yang mereka bilang sebagai syarat kesempurnaan lainnya. Aku ingin memiliki cinta sederhana pada seorang lelaki yang masing-masing dari kita mengakui keliaran yang dipunya dan tetap jatuh cinta.
Sampai kemudian, sayang. Aku tak tahu siapa yang memulai. Tapi salah satu di antara kita berlima, mulai memutar botol air mineral bekas di atas meja. Yang ditunjuk mulut botol, akan dipaksa untuk mengakui keliaran rahasia yang dipunyainya. Lalu, kita semua mendengar hal-hal paling gelap, yang setiap kalimatnya adalah kejutan: jatuh cinta pada pacar orang lain, membeli barang-barang mahal di luar gaji buta hanya demi reputasi beberapa menit di depan orang-orang berpakaian perlente yang kamu sebut sebagai klien, dikejar lelaki pemilik Mercedes tapi sinting tapi kamu menikmatinya, mengolok-olok perempuan lain dengan sebutan nakal sedangkan dulu kamu kerap meminta lebih ketika ciuman lelakinya hanya sampai di dahimu saja, memakan junk food setiap hari dan bilang program dietmu tetap berjalan lancar, pernah seminggu tidak memakai bra di kantor, diam-diam tak pernah berhenti membuka profil mantan yang berkali-kali kamu sebut hidung belang, dan, dan, dan. Ketika salah seorang kawan menangis sembari bercerita – tiba-tiba aku teringat padamu.
Kamu, sayang. Yang akan kuakui sebagai keliaranku nantinya, pada giliranku bicara.


0 Comments:

Post a Comment