Saturday 8 October 2016

Suaramu yang Kudengar Tiba-tiba Menyelip Di antara Denting Piano




Belakangan ini aku suka sekali menulis ditemani 27 May, dan bagai kebiasaan orang-orang; aku memintanya agar terus di sini dan mengulang dirinya tanpa jeda bersama sepaket cerita yang dibawanya. Sahabatku geleng-geleng kepala lantas menyeletuk, katanya ia punya saran manis untuk aku yang mahir dalam menyepi.
sumber foto: pinterest.com
“Mungkin kamu bisa mempertimbangkan seorang pianis untuk mendampingi cerita-ceritamu. Bayangkan kamu mendeklamasi nada-nadanya, dan ia memainkan tokoh dalam kepalamu dengan cara yang berbeda. Itu akan jadi resital dan pembacaan hening paling diingat. Lalu, tiap ia duduk di balik piano itu, kamu berdiri di sampingnya, setia membantunya membalik halaman-halaman partitur. Pada progresi-progesi yang tak terduga yang tiba-tiba menyerang, kamu bisa mengecupnya dengan cara bersahaja lewat puisi.”
Lalu, aku teringat padamu. Kamu pernah berusaha merekam suara hujan untukku – dan aku memutarnya seribu kali lamanya, berusaha meraba apakah ada tawaran merajut kenang bersama di sana.

Namun, rekaman itu sudah berhenti, hujan tetap turun, berita tentang seorang pianis yang menghadiahkan sepotong komposisi di tanggal pernikahannya bukan lagi hal yang mengejutkan, dan aku melayang di antara tulisan-tulisan yang tidak pernah kuselesaikan. Perihal kamu.

Aku mencoba melarikan diri dari mata sahabatku yang menunggu. Kupandangi cangkir melamin putihku yang berisi kopi penuh – kamu tahu aku tak pernah ingin mengganti earl grey, aku hanya senang melihat hangat cairan hitam itu mati pelan-pelan dalam dingin; sebab rasanya kisah kita bagai bercermin padanya.
Ingatan tentangmu; singgah, sekali lagi. Dan aku tak berusaha menepisnya. Kunikmati saja seperti penungguan lampu kota, mungkin karena sepanjang menanti aku tahu ada harapan di seberang jalan. Sampai semuanya menyerah pada tanda tanya.
“Aku tak membutuhkan nada-nada dari lelaki pianis paling andal. Untukku, suaranya – suara dia, suara kamu – yang memanggil namaku seraya mengetukkan punggung jarinya ke meja kerjaku, adalah sepotong nada paling indah yang pernah kudengar. Suaranya – yang menyapaku tanpa rencana, sekadar ucapan selamat terbit dan benamnya matahari, ialah musik favoritku yang ingin kuputar berkali-kali. Dan, karenanya, percakapan dan perbincangan bersamanya – bersama dia, bersamamu – adalah yang mampu menghidupkan cerita-ceritaku. Komposisi yang menerima tepuk tangan paling banyak sekalipun tak mampu membuat sebait puisiku bernyawa, karena puisi-puisi itu tak punya rumah di sana, ia pulang padanya – pada dia, padamu.”

“Bagaimana jika selamat tinggal adalah ucapan yang dilantunkan suaranya?”

“Bukankah lagu paling manis sekalipun hanya bermain sekitar 3 sampai 5 menit? Tapi kamu masih mencintainya bukan?”
Mari kumulai ini dengan satu pertanyaan – baiklah, kamu akan berdesis sembari memicingkan mata, memutar ulang tentang berapa tanya aneh yang kerap kuajukan padamu secara tiba-tiba, mungkin kamu belum lupa, terakhir aku mengirim berbagai tanya-tanya ke ponselmu yang nyatanya dibaca oleh seseorang bukan kamu, ia pun melilitkan diri dalam bingung, lalu melemparnya padamu, kamu hanya diam dan membiarkan deretan tanya yang menubi itu menggantung tanpa jawaban sampai surat yang akan kuawali dengan pertanyaan ini sampai di pangkuanmu. Kurasa kamu memang tidak mengantungi jawabannya, sebab kamu sendiri adalah teka-teki. Juga serupa puzzle dengan bentukan ganjil.

0 Comments:

Post a Comment