Sunday 14 May 2017

Tiga Puluh Dua

satu hal yang ingin kusampaikan sebelum kamu meneruskan ini lebih jauh: tulisan ini tidak akan berjalan bahagia seperti dongeng-dongeng jelang tidur yang kujanjikan padamu tiap malam.
sumber foto: oddysey online
Ada tiga puluh dua berkas masa lalu yang menempelimu ke mana-mana tanpa kamu tahu. Aku tidak benar-benar bisa menemukan di bagian dan sudut mana mereka membuat rumah, lalu menolak untuk pindah – mungkin karena saking sudah lamanya berada di sana dan berbetah, atau kamu memang sengaja tidak mengizinkannya. Biarkan mereka bebas memangsamu dari dalam atau sebaliknya, mereka masih ada karena kamu menikmatinya. 

Kamu paham betul, kenangan adalah semacam potongan-potongan peristiwa lampau, tapi bukan berarti kadaluarsa, asalkan ingatan terus memperbaruinya tanpa hari libur. Mungkin itu juga alasan mengapa, pada ciuman terakhir kita, aku pulang membawa bibir tiga puluh dua rasa.

Stroberi, kutebak. Aku salah, nyatanya ini peach. Ia terasa manis sekaligus asam yang meledak lembut. Apa iya ini sedikit mint. Kepalaku menggeleng, perlahan jadi terasa seperti cokelat – butir-butir meises yang menyisa di ujung. Aku pun menjilat bibirku sendiri, masih hangat, tekananmu di sana masih menyisa – namun rasanya ganjil. 

Aku gagal mengenali rasa asli bibirmu yang awalnya kukira kayu manis. Sebanyak itu, sayang, mana yang paling kamu favoritkan diam-diam – tepat saat kamu memejamkan mata dan melumatnya satu persatu?

Mendadak, aku tidak bisa tidur. Guling ke kiri, ke kanan. Duduk sebentar, rebah sejenak. Aku mengulangnya hingga malam berjalan seperempat menuju subuh. Aku ingat bagaimana orang-orang meneriakiku kalau kamu adalah jenis lelaki yang sejak awal memang ingin kuhindari. Ini peringatan.  Jadi, aku harus segera mengepak koper pergi sebelum melemparkan diri pada petualangan yang menyakitkan. Tapi aku menolak berhenti, memilih tersesat. Menjebak diri pada kemungkinan-kemungkinan. Jadi aku tidak heran kalau tadi kita mendekap tubuh satu sama lain, dan aku kesulitan memilih lengan mana yang harus kusambut. Sebab tiap inci tubuhmu merentangkan tiga puluh dua pasang lengan yang berebutan minta dipeluk. Lengan-lengan mungil berkulit aneka warna, bertangan polos atau yang berjam tangan atau bergelang, berkuku kuteks pastel atau lentik apa adanya. 

Buatku bertanya, jika orang melakukan sesuatu hal berdasar apa yang pernah mereka alami dan ketahui, pelukan seperti apa yang akan kamu berikan padaku menurut tubuh siapa-siapa yang pernah kamu dekap dalam tiga puluh dua pasang rentang lengan yang sempat mampir? Seramai itu, sayang, lalu mana yang paling kamu rindukan sembunyi-sembunyi – tepat ketika kamu membuka tubuhmu dan menerimaku masuk?

Sampai di sini, kita pun diperangkap macam-macam kekhawatiran; kamu sibuk meyakinkanku kalau dihitung dari nol sampai tiga puluh dua, mau mulai dan berakhir di angka mana pun, aku selalu berada di angka satu. Tiba di sini, kita pun digulung macam-macam kegelisahan; aku rutin memikirkan mungkinkah apapun padamu adalah yang pertama, dan apa saja padaku adalah yang ketiga puluh tiga. 

Sayang, bagaimana mungkin kita bisa saling menyatakan jatuh cinta – ketika kamu memelihara kenangan yang belum tuntas, dan aku memburu kenangan yang belum pernah ada?

Kamu brengsek, kekasihku – walau aku pun tak lebih baik. Kamu mengingatkanku pada  tokoh lelaki favoritku yang menyusun diri tampak sempurna dengan keping-keping masa lalu yang dilemparkan bersisa padamu. Lalu kamu menjadikannya semacam topeng dan mulai tidak memercayai orang-orang. Kamu bermain, dan aku menyukainya. Menikmatinya. Jatuh cinta padanya – padamu.
Aku hampir tidak pernah bergabung dalam sebuah permainan atau game, jadi sekalinya aku mendaftarkan diri, sayang, aku membawa sepenuhnya diriku, melakukannya dengan serius. Bukan untuk menang, tapi agar bisa bertahan untuk bisa bermain sepanjang waktu bersamamu – selamanya.

0 Comments:

Post a Comment