Thursday 17 August 2017

Suatu Hari Kau dan Cinta Mengajak Aku Bercanda

Aku bangun dengan sebelah tanganku terikat pada tiang ranjang. Aku mengerang – semua lelaki seperti itu: mereka membantumu melepaskan pakaian tapi tidak menolongmu mengenakannya kembali. Aku melepaskan diri dengan sedikit geram kesal. Saat itu subuh belum datang, kamar masih oranye oleh penerangan lampu tidur yang hampir redup. Ketika aku hendak beranjak, pria di sampingku menggeliat. Meraihku sekali lagi ke dekapannya. Aku hampir siap sekali lagi ketika ia sampai di lekuk leherku dan berbisik, dia mencintaiku. Aku mendorongnya keras; menamparnya hingga ia benar-benar bangun. Mendadak ia kedengaran seperti kau. 
Dan kau selalu tahu: aku menolak kalimat aku cinta kau sehabis seks. Aku menolak aku cinta kau yang diucapkan tiga puluh dua kali pada enam puluh empat pasang telinga. Aku bukan tak berjuang, aku hanya menolak menahan orang yang memilih pergi.
sumber foto: tumblr
Aku menyambar kimono malamku dari atas lantai. Lalu berjalan menembus ruang tengah menuju teras yang dirayapi halimun dari udara pagi yang masih perawan. Aku kedinginan dan tidak peduli. Jalanan kompleks begitu sepi, kelenggangan di mana-mana mengambil tempat. Perumahan yang tadinya ramai jadi terasa sangat kosong, ketika orang-orang yang tadinya beraktivitas memilih tidur. Tadinya. Aku meraih kotak rokok, menyalakan satu batang. Parumu sudah sembuh? Aku di sini dan tidak berubah. Aku menghisap dalam-dalam tembakau itu, membakarnya di dalam paruku. Aku sedang mencarikannya rumah. Dia butuh aku, karenanya sekarang ini aku akan sering ke sana menemaninya. Sesekali aku juga memberinya uang untuk jajan sebentar. Aku berharap dia segera pulih. Sebentar lagi aku akan mengunjunginya. Aku menghembuskan asapnya keluar dari dua lubang hidungku. Mengisapnya lagi, dalam, sampai-sampai aku merasa siap tersedak olehnya. Andai dia diizinkan tinggal bersamaku. Kau bagaimana? Sudah sembuh? Aku terbatuk. Kau percaya padaku kan? Aku kembali mengisapnya, berkali-kali hingga setengah. Lalu kubuang ke sembarang arah. Kuambil lagi sebatang, kunyalakan lagi. Kuisap lagi dalam-dalam. Jadi kau lebih percaya dia dibanding aku? Kau cinta aku, kau percaya aku. Aku meremas batang tembakau yang terjepit di antara bibirku, bahkan sebelum ia setengah. Kubuang puntung koyaknya. Kuinjak hebat hingga tak ada kepul yang menyisa. 
Kepercayaan tidak diberikan, sayang. Ia dibangun. Dan kau tidak memberiku bahan-bahan untuk menjadikannya kokoh. Ia sering goyah dan aku kerap ragu.

Aku merapatkan ikatan tali kimono di pinggangku. Rasanya belakangan ini sejak-sejak waktu, aku lebih mudah menggigil. Mungkin ada perban yang terbuka dan lupa kututup, hingga udara mudah masuk menusuk tulang, hingga udara mudah masuk membangun rumah di ruang kosong di kedalaman. Udara yang dingin itu. Dan aku lupa – atau kehilangan – cara memeluk diri sendiri. Aku menemukanmu di pesta. Dan dia memiliki ciuman yang seharusnya hanya kita punya. 

Sayang, cinta hanya sementara. Lukanya, tapi. Selamanya.

Suara derap kaki orang terdengar dari kejauhan. Seorang pria paruh baya terlihat mengenakan celana training, kaos polos, dan sepatu olahraga untuk lari paginya. Kulihat lagi, seorang perempuan tua duduk di selasar di seberang rumah, mengamati si pria paruh baya menyelesaikan putarannya. Mari menikah. Kita bangun keluarga kecil bersama. Miliki anak lucu dan keliling dunia. Si pria akhirnya lewat di depanku. Pandanganku mengekorinya. Kenapa selalu tidak. Apa lagi yang kau tunggu. Lambaian tangan kecil diberikan si pria pada perempuan tua di seberangnya. Aku tersenyum kecil. 

Kita hidup dalam kemungkinan-kemungkinan, sayang. Aku takut aku hanya belum menemukan seseorang yang mampu membuatku menjawab iya.  

Aku membungkus pandangan, menundukkan kepala. Membawa langkah pergi masuk ke dalam rumah. Kau tahu apa yang lebih buruk dari berita-berita di koran? Kita.*

--
*dikutip dari sajak puisi karya Andi Gunawan
*tulisan ini jadi puncakku merayakan patah hati (setiap malam yang diam-diam) selain dengan membaca puisi keras-keras, merekamnya, lalu mendengarnya sekadar untuk menemani kesendirian yang semakin sering mengajak bercanda ketika aku kehilangan cara tertawa

0 Comments:

Post a Comment