Sudah
lama sekali, saya tidak menyapa kita semua dengan entri berhash-tag Wonderful
Peace. Namun, itu bukan karena saya lupa, karena saya akan selalu ingat.
Bukankah fokus blog ini pada tahun ini ialah ‘Bring The Peace’, maka itu,
setiap bulannya, saya berusaha membuka mata telinga saya untuk peka terhadap
masalah perdamaian yang kemudian bisa dibahas di blog ini. Pada malam lalu,
secara tidak sengaja, saya mendengar seorang penceramah di salah satu stasiun
TV yang berkoar-koar agar kita bervegetarian. Bukan karena perintah agama.
Tapi, karena agar kita berhenti mendengar raungan para hewan menangis ketakutan
dan kesakitan akibat ternak kejam. Saat itu, saya tersentak. Benar, hewan,
binatang, mereka terlahir bukan untuk kita makan, bukan untuk memenuhi nafsu
makan kita, tapi untuk hidup, mereka punya hak. Dan hak itu bukankah dihormati?
Seperti ketika kita menuntut hak? Saat itu, penceramah mengatakan, bahwa dengan
banyaknya kita mengonsumi hewani, para peternak pun mulai menghalalkan segala
cara agar para ternak mereka menjadi gemuk, menjadi mahal ketika dijual,
menjadi berat ketika ditimbang dll, dan untuk menempuh itu semua, para peternak
beternak dengan cara kejam. Menyiksa. Dan menyakitkan. Apakah kita tidak
merasakan kesakitan raungan mereka ketika kita memakannya? Tiba-tiba, sehabis
acara penceramah itu usai, saya merenung. Tak hanya hak hewan yang tengah kita
tindas, tapi, juga kebebasan dan keamanan hidup mereka. Coba tengok sejenak ke
arah belantara hutan, teropongi muka bumi, luas hektar hutan semakin lama
semakin berkurang, banyak hewan liar yang tidak memiliki tempat tinggal.
Harimau. Gajah. Sering kali terdengar berita mereka mengamuk masuk ke pemukiman
kita. Coba tengok lagi ke lautan luas, di sana, mungkin kita melihat
kejernihan, padahal, dalam kejernihan itu, mengandung bahan kimia pembunuh
populasi terumbu karang. Teluk kematian. Tombak-tombak pembunuh hiu dan paus.
Air darah. Merah. Lautan yang memerah. Sungguh miris. Ironis. Coba tengok ke
arah kutub, es yang mencair, keadatan es semakin berkurang akibat panas,
nasib-nasib beruang kutub mulai diperhitungkan. Semua berujung pada satu
pertanyaan pada batin kita: Bagaimana? Akan diperlukan jawaban yang sangat
panjang untuk menjawabnya. Tapi, yang pasti, ketika ditanya Apa? Saya akan
menjawab, yang terjadi ialah krisis kebebasan hidup para hewan. Kita yang
membatasinya. Hanya saja, jika ditanya solusinya, hanya ada satu kata singkat
yang menyelesaikan ini semua: Damai. Ya, damaikan hati kita. Damaikan diri kita
dengan para hewan itu. Damaikan dunia ini dari nafsu mengekang kebebasan
mereka. Karena bagaimanapun, damai tak hanya tak ada perang, tapi juga tak ada
kesakitan, ketakutan, dan yang penting merasa bebas dengan sesama, dan itu yang
tidak sedang didapat mereka…
Saturday 10 September 2011
Semangat 66 Tahun: Parodi Kucing Kolombia
Umur
Indonesia sudah cukup renta. 66 tahun. Menurut penanggalan Hijriyah, 68 tahun.
Angka enam-puluhan telah kita capai. Indonesia semakin dewasa. Umur kemerdekaan kita semakin matang. Di atas
kertas, mungkin tertulis seperti itu. Namun, akankah benar-benar matang? Saat
Tujuh Belas Agustus kemarin, saya menyaksikan satu pemberitaan TV yang begitu
memiriskan hati. Dalam pemberitaan tsb, dikabarkan bahwa semangat nasionalisme
warga menyambut ultah ke 66 ini memudar drastis dari tahun sebelumnya. Ini
terbukti dengan liputan di beberapa desa dan bahkan pertokoan/gedung
perkantoran, tidak memasang bendera Merah-Putih saat tanggal 17 sudah di depan
mata. Padahal, pada tahun sebelumnya, seminggu sebelum kemerdekaan, kain Merah
Putih sudah menghiasi gedung dan perumahan. Ironi. Ketika ditanya mengapa,
bahkan ada yang mengatakan lupa. Susah memasangnya. Sibuk mencari uang dsb. Ya,
ironi, ironi dan ironi. Kemerdekaan mungkin semakin tua semakin tidak matang.
Kemerdekaan sekarang ialah kemerdekaan mungkin terjadi ketika Kucing Kolombia
bungkam seperti sekarang. Lah? Apa maksudnya? Ya, kemerdekaan bagi tikus-tikus
yang disebut namanya. Tikus-tikus yang kalang kabut membuat perisai sebelum
kucing Kolombia datang ke Indonesia. Lalu, ketika datang, perisai itu
dikeluarkan kekuatannya hingga membuat si kucing bungkam dan tidak memunculkan
taringnya untuk menjerat para tikus. Perisai berupa ketakutan, kecemasan, dan
tekanan. Jreenggg, menyerang secara abstrak. Bahkan, kekasih kucing Kolombia
pun kabur entah kemana, Singapura atau apalah. Mungkin jika tertangkap, mengaku
sakit. Ah, sinetron tikus-tikus politik. Mari kita ganti channel. Mari kita
cari channel mengenai kemerdekaan sekarang dari sudut semut-semut kecil, ah,
lihatlah mereka, susah payah bergotong royong mencari makanan untuk Ratu semut
mereka, semut pekerja bekerja keras pagi siang malam. Ah, reality show lampu
merah. Lah? Berarti kemerdekaan ke 66 tahun ini, diisi oleh banyak cerita
sinetron dan reality show? Berarti diuat-buat dong? Skenario? Namun, tahun ini,
settingnya di Kolombia. Pemain-pemainnya terus berganti-ganti. Tapi, perannya
tetap sama, itu-itu saja, koruptor. Konfliknya juga itu-itu saja, korupsi,
gratifikasi, dll. Lalu, kapan dibuat episode yang lebih menyegarkan? Lebih
baru? Fiuh, tanyakan saja pada rumput yang bergoyang…bagaimana caranya. Jangan
tanya pada saya atau orang-orang, karena mereka pasti akan menjawab: Sssssttt,
nih lagi sibuk nonton sinetron Kucing Kolombia nih. Mending, kamu ikutan
nonton, nih cemilannya, Sari Roti, mau?
Cermin, Mirror!
Kulihat
diriku di depan cermin. Berkaca mata minus tinggi. Tebal. Aku mencoba tersenyum
dalam bisu. Senyuman yang begitu palsu. Bayanganku di cermin hingga tertawa
melihatnya. Senyum palsu terus yang kuperlihatkan padanya. Padahal, air mata
tengah mengalir deras di sela-sela senyuman itu. Baru kemarin malam, aku
mendengar sepercik siraman kehidupan dimana, kita tidak boleh fokus pada apa
yang tidak kita miliki, karena kita akan terus memandang rendah diri dan tidak
maju, karena hanya bisa memiliki rasa iri. Aku diam tertunduk ketika kata-kata
itu terngiang kembali dalam gendang telingaku. Tapi, aku harus bagaimana? Aku
memang tidak bersyukur. Dalam hati aku menjerit, pantaslah jika aku dihukum.
Aku membenamkan wajahku. Mengalihkan diri dari cermin itu. Aku masih ingat akan
pesan singkat yang kuterima. Aku masih ingat bagaimana pesan singkat yang jika
dibaca tidak berarti apa-apa. Namun, jika ditelusuri, kalimat sederhana itu
menjelma menjadi sebilah pisau tajam yang mampu merobek-robek organ-organ
tubuhku yang membuatku bernafas kini. Bagaimana rasanya jika diri sendiri
mencoba membandingkan diri dengan orang lain? Ketika itu dilakukan terpaksa
ataupun suka-suka. Bagaimana jika banyak sekali orang di sekitarmu yang datang
menghampirimu, tersenyum, menjabat tanganmu, dan bertegur sapa denganmu, hanya
untuk mendekati seseorang yang menjadi teman dekatmu? Ketika itu semua runtuh
karena dibungkusi kepalsuan. Reruntuhan itu mengenai kepalaku dan rasanya
begitu sakit. Hingga aku perlu tangisan. Ingin sesekali ada seseorang yang
benar-benar melihatku ketika ada seseorang lebih dari segalanya disampingku.
Tapi, realitanya, itu semua tidak pernah ada. Semuanya hanyalah ketulusan yang
dibungkusi kepalsuan. Era sekarang, ketulusan pun bisa dipalsukan. Perlu bukti?
Lihatlah ke dalam cermin. Pantulan bayangan kita sesungguhnya ada di dalam
sana. Hancurkanlah ia, agar kepalsuan itu tidak menjadi momok yang
menghancurkan…
Kisah Tentang Kamu (2)
Kini,
kamu sedikit lebih segar. Air mukamu sedikit lebih cerah. Kamu merasa bahwa
kata-kata sudah menarik sebagian dari beban yang ada dalam otakmu. Kamu kembali
menulis. Menulis lebih banyak. Kamu ingin lebih banyak yang dikeluarkan. Lalu,
tiba-tiba kulihat kamu kadang kala terdiam lalu menulis lagi. Saat itu, aku
bertanya, apa yang kamu pikirkan ketika diam itu. Lalu aku tahu dari matamu,
matamu berbicara banyak. Kamu memikirkan. Kamu kembali teringat bagaimana kamu
begitu rapuh dengan beban itu. Kamu menjalani setiap waktu dengan terpaksa.
Seperti robot. Semuanya terjadwal. Hanya menunggu seseorang memencet tombol Off
untuk mematikanmu. Malam hari. Lalu, On pada pagi hari. Hanya saja, kata-kata
telah memberimu kekuatan dan keyakinan bahwa itu semua hanyalah berupa warna.
Saat itu, kamu duduk di bangku ruang tamu. Sendirian. Bola matamu menelusuri
setiap huruf berderet tanpa gambar di koran. Tapi, aku tahu, otakmu tidak.
Lalu, kamu terlihat begitu gelisah. Aku melihatmu seperti sedang menunggu.
Ketidakpastian. Ibumu mengira dirimu sakit, menyuruhmu meminum obat. Kamu
bingung. Apakah dirimu sedang sakit atau tidak. Tapi, kamu yakin, fisikmu tidak
sakit. Lantunan lagu yang kamu putar di lewat telepon genggammu itu sepenuhnya
list lagu mellow terus bernyanyi. Kamu semakin terpuruk. Kamu berniat dan
hampir saja memutuskan untuk mengurung diri di kamar. Tidur tanpa tidur. Tapi,
pikiranmu memaksamu untuk tidak melakukan itu. Matamu berbisik pada telingamu.
Bahwa ia akan menangis dan menangis untuk hal yang tidak dibanggakan. Kamu akan
kecewa dan semakin membenci dirimu sendiri. Akhirnya, kamu tetap masuk ke dalam
kamar, tapi tidak untuk menyendiri. Kini, hanya duduk bisu diam di depan
komputer. Dan disanalah ceritamu dimulai mengapa kamu bisa sesegar ini, teman.
Dan kamu tidak pernah tahu mengapa tiba-tiba kamu ingin duduk di depan komputer
berdebu itu, tapi, aku tahu, itu karena jiwamu dimiliki oleh kata-kata. Karena
kamu ialah penulis…hanya saja akhir-akhir ini, kamu lupa. Mengapa aku tahu
semua tentangmu, teman? Itu karena aku adalah sebuah pena. Pena yang selalu kau
bawa dan kau kaitkan di kerah atau kantong bajumu. Tanpa kau sadar, kau selalu
membawaku. Dan aku selalu memperhatikanku. Maka itu, aku menulis kisahmu dengan
tinta yang sebenarnya hampir kering ini…untung saja, kamu segera sadar sebelum
aku benar-benar mongering. Terima kasih, Teman…
Kisah Tentang Kamu (1)
Ada
satu keadaan dimana hatimu memaksamu untuk tidak bercerita. Bercerita mengenai
penat ini. Mengenai masalah ini. Mengenai beban ini. Bukan karena suatu alasan
mulia yaitu tidak ingin berbagi beban dengan orang lain. Bukan karena tidak
ingin menjadikan orang lain sebagai tempat sampah. Bukan karena ingin
menyembunyikan. Bukan karena itu…bukan. Tapi, karena hatimu memang ingin
menyimpannya. Bukankah orang bilang, turutilah kata hatimu. Hanya saja, hati
bukan tempat untuk menyimpan. Melainkan merasa. Semua beban yang beratnya tidak
bisa diukur dengan satuan-satuan fisika itu, mencari tempat untuk bermukim.
Otak. Pikiran. Tempat yang tepat. Strategis. Pikiranmu menumpuk. Sakit rasanya.
Pusing. Bingung. Otakku mendesakmu untuk mengeluarkan buah-buah pikiran kiriman
hati yang tak bertanggung jawab atas perintahnya. Namun, kamu tetap tidak bisa.
Bertumpuklah. Penuh. Akhirnya, kamu menyibukkan diri, melupakan pikiran sendiri
yang terus merengek. Kamu membaca. Berusaha menggantikan pikiran beban itu
dengan dunia fantasi. Yeah, berhasil. Hanya saja, sementara. Kamu berusaha
melewati setiap detik. Setiap menit. Setiap jam. Menuruti apa yang
diperintahkan orang lain yang masuk ke telingamu. Mencoba melaksanakan apapun.
Kesibukan apapun. Asalkan terlupakan. Namun, ia tidak akan pernah lari. Terus
di dalam dirimu. Pikiranmu. Maka, pelarianmu atasnya hanya berlangsung
sementara. Kamu mencoba mengalirinya, dengan lagu. Gagal. Karena itu membuatmu
semakin terhanyut. Semakin terpikirkan. Tapi, lagu tetap saja kau nyalakan. Kau
putar. Kamu sedikit lagi menjadi gila. Kamu ingat, besok akan ada ulangan, kamu
semakin kesal, berarti kamu harus menghafal. Tiba-tiba, kamu duduk diam di
depan komputer. Kamu pandangi komputermu yang berdebu itu. Tuts-tuts keyboard
komputer yang tidak pernah kau sentuh lagi. Debu semakin alma semakin tebal
sejak sebulan yang lalu kamu tidak pernah lagi menulis. Kamu ingat, dulu
sekali, saat ada yang ingin kau keluarkan namun sebenarnya tidak bisa, kamu
selalu bawel dengan kata-kata. Melukis beban itu dengan huruf. Mengukir masalah
itu dengan rangkaian kata. Kamu merindukan itu semua. Kamu bersihkan debu-debu
itu dan jari-jarimu dengan cepat menari-nari di atas tuts keyboard. Begitu
lincah. Kamu merasakan kembali lagi hidupmu. Nyawamu. Jiwamu. Kamu merasakan
bahwa beban itu menjadi terasa begitu
ringan. Ternyata hidupmu memang bernafas dengan kata…buku hanya suplemen, tapi
menulis ialah roh…akhirnya kamu bisa mengeluarkan beban itu tanpa mengeluarkannya…rasanya
sedikit lebih baik. Kamu memang penulis, teman…larilah bersama
kata-kata…bersembunyilah di dalam rahim kata-kata. Karena kamu terlahir dengan
kata-kata, teman…nah, kini jiwamu telah lebih baik, maka itu, tersenyumlah,
jalani detik ini dengan menjadi jiwa yang lebih baik dari detik
sebelumnya…tersenyumlah, biarkanlah berjalan dan mengalir seperti detik waktu
mengalir tanpa memperdulikan apa yang terjadi sepanjang ia berjalan. Lalu
ingat, bahwa kamu akan selalu kembali pada kata-kata…
Subscribe to:
Posts (Atom)