Wednesday 26 February 2014

More Than This


Lalu, kukatupkan buku yang tengah terbuka di depanku. Lelah berpura-pura membacanya, ketika justru aku tengah berusaha membacamu yang mengambil duduk di belakangku. Tak jauh. Hanya dipisahkan oleh sebuah meja bundar tua yang kakinya sedikit reyot. Malam kian larut, mengisahkan carut marut akan lalu lalang orang yang makin kalut. Kau tetap tenang dalam diammu, menikmati alunan klasik yang merangkak di dinding krem kafe. Aku tak tahu akankah aku mampu mencintaimu lebih dari ini.

Dari bingkai kaca mataku yang melirikmu dalam bisu, melihatmu ketika keramaian menenggelamkanku dan menyentuhmu saat sejuta alasan sudah kugenggam. Rasa itu menyeruak. Matamu tetap memaku, tidak beranjak, mengisahkan beribu kisah bimbang. Dan, kau menepuk pundakku pelan, memilin ujung rambutku dengan jahilnya, lalu kau berikan tatap jenaka itu. Matamu menawariku sebongkah rasa untuk dijajaki. Tatapmu mengajakku menimbang perasaan masing-masing. Apakah kita mampu saling mencintai lebih dari ini.
Sudah lama sekali, aku menunggu pertemuan ini. Tanpa apapun, kecuali membawa angan-angan akan masa depan setelah detik ini. Apakah mampu menakhlukkan jarak dan mengelabui waktu. Bertanya-tanya tentang harapan. Yang tak kunjung berujung pasti. Dan, kamu sibuk dengan masa lalu, masih berjalan-jalan di lembar silam, meniti tiap untai rasa yang katanya belum usai. Kau pun tak mampu menjawab akankah kita mampu mencintai lebih dari ini.
Kau menjejalkan kenang bisu di antara kita ini dengan sebuah lagu dari grup musik favoritmu yang kau putar berulang-ulang kali. Kau tahu, aku sering mengatakan ini padamu yang bersikeras jika lagu hanyalah sebuah lagu. Bahwa, untukku, dibalik lagu apa yang didengarkan seseorang, selalu terselip nyanyian hati yang ingin disampaikan. Tapi, balasmu membuatku dikunci sunyi yang membunuh; lagu bahkan tak mampu merangkai lirik kata dan nada yang tepat tentang apakah kau dan aku mampu mencintai lebih dari ini.
Kau masih dikurung masa lalu. Kau bilang, masih ada sisa harap agar ia akan berpulang, kembali bersandar pada bahumu dan kembali seperti awal saat kau berbinar bercerita akan indahnya rasa pertama. Tapi semua hanya meninggalkan serpih peristiwa dulu, dan kini tentang membuka hati baru. Dan kau katakan, akan mencarinya. Jauh dari tempat kita menata hati sekarang ini. Jadi, kujawab, aku tahu akhir dari pertemuan kita yang kutunggu ini.
Andai saja kita lebih berani mengatakan iya, mungkin tak akan ada cerita sedih lainnya tentang kita yang tak mampu mencintai lebih dari ini.
“...it just don’t feel right, cause i can love you more than this.” 
– More Than This, One Direction

Monday 17 February 2014

Fate


Aku berandai, jikalau kita adalah tokoh rekaan dalam sebuah buku. Pastilah kita bertemu di halaman yang paling awal. Lewat pertemuan-pertemuan manis yang akan kita ingat di malam sebelum tidur. Yang akan melukiskan seulas senyum di bibir kita. Yang akan membingkai kedua manik mata kita dengan secercah binar. Maka itu, di sinilah, akan kuceritakan pertemuan kita.
Tak ada yang pernah bisa melihat bagaimana Tuhan tengah menulis skenario kisah tentang kita. Kita disatukan dalam sebuah ruang kelas berukuran sedang. Kita dipertemukan sehabis perpisahan singkat setelah penjurusan. Duduk berdekatan tanpa tahu jika itu adalah bagian dari plot cerita yang telah direncanakan Tuhan. Tak ada satu pun di antara kita yang mengira – jika kita akan saling mengikat. Di saat suka. Ataupun, duka.
Lalu, mulai tumbuh cinta di antara kita. Kita mulai saling membutuhkan. Saling memahami jika mungkin saja, hari-hari tak akan lagi sama untuk dilewati tanpa adanya kita semua. Lantas, serangkaian kenangan paling indah yang mampu membuat kita menangis ketika membukanya lagi, mulai kita untai setiap detiknya.  
“Mungkin, kita tidak akan mampu menyelesaikan masalahmu. Tapi, kita tidak akan membiarkanmu melewatinya sendirian.” 
Kau tahu. Kita menjaga keping-keping memori yang tersebar di jarum waktu, perlahan menyusunnya menjadi satu pigura utuh yang menggambarkan persahabatan terindah yang pernah ada.
Dan, di tubuh malam, aku menangis. Aku menuatkan jari jemari kita bersama, memejamkan mata. Beberapa di antara kita, tetap membuka mata, melempar pandang kosong pada jalan lenggan di komplek perumahan yang sunyi. Lalu, kubisikkan janji yang kuharap mampu memenggal jarak dan menebas waktu.  
“Apapun yang terjadi, kita masih bersama seperti ini bukan? Whatever happens here, we still remain, aren’t we?”  
Kita semua mengangguk bisu. Lalu perlahan, dikoyak sunyi. Dimakan kenangan. Dan, didiamkan rindu. 
- Ini tentang kita berenam, kawan. Desy, Dewi, Mila, Richard, Richky.

Wednesday 12 February 2014

Yang Mungkin Terlupa



Pertama kali mengenalnya, tiga tahun lalu. Saat itu, ia masuk ke dalam ruang kelas yang riuh. Tanpa memperkenalkan diri, ia membiarkanku memaku diri pada angka-angka aritmetik dan geometri. Aku tidak terlalu mengenalnya. Ini tentang seseorang, tak harus bagian dari belah jiwa. Maka, salah jika mengira ini sebuah kisah cinta.

Ia singgah hanya satu hari itu di ruang kelasku, karena ia hanyalah guru pengganti dari salah satu guru yang absen hari itu. Aku tidak diajar olehnya. Saat itu, mungkin terlintas di ruang pikirku, tak mungkin aku akan merajut kenangan dengannya. Tapi, tidak. Justru, darinya, aku belajar lebih dari sekedar menyelesaikan persoalan angka-angka.
Suatu waktu, aku bertanya, mengapa ia tak pernah mengikuti perkembangan berita. Tidak menonton televisi atau meluangkan waktu sekedar membaca koran. Aku tak tahu jika dari pertanyaan sederhana itu, aku akan diajak mengembara pada kisah lainnya; tentangnya. Sepulang mengajar dari sekolah, ia harus segera pergi menuju tempat les. Bahkan, saat weekend sekalipun. Ia mengajar kelas umum maupun privat. Waktunya banyak tersita. Sebab, tentu. Ia tak mungkin menghidupi keluarga dan adik-adiknya hanya berbekal profesi guru di sekolah. Ia pulang ke rumah sekitar pukul sembilan malam. Terkadang pukul sepuluh. Lalu, terlelap. Dan baru kembali ke sekolah pukul delapan – lebih siang di antara yang lainnya. Ia lelah, siapapun tahu itu. Tapi, aku melihat senyum itu terus ada. Menularkan keramahan dan canda yang mampu membuat siapapun itu tertawa bersamanya. Semenjak itu, matematika tak lagi semenakutkan itu.
Di tengah – jika kubisa katakan, keadaan yang mungkin mencekiknya, ia masih memikirkan kami. Memerhatikan anak-anak yang duduk di kelas dengan seluruh kenakalannya. Membawa buku-buku yang ia dapat dari tempat les yang ia ajar untuk kami semua. Memfoto-kopinya dengan berbagai cara agar kami tetap bisa memilikinya dengan harga murah. Ia ingin kami lulus. Dan mungkin, itu kebahagiaannya di antara masalah yang ada.
Kau tahu, aku menulis tentangnya dengan sisa air mata yang mengering di atas tuts-tuts keyboard. Entah, akhir-akhir ini aku mengingatnya. Ada bagian dari ruang di benak yang gelisah, meminta untuk menuliskannya.
Kudengar, ia akan segera pergi. Mungkin tidak lagi mengajar. Mencoba peluang profesi lain. Meraih asa yang seharusnya ia dapat dan gapai sejak dulu dengan kecerdasannya. Dan, mungkin setelah lulus nanti. Aku tak lagi melihatnya. Tak lagi menyapanya. Ia dengan bentuk wajah kotaknya, kaca mata hitam yang membingkai kedua matanya serta cara jalannya yang sering kali cepat. Yang mungkin saja, akan terlupa di benak banyak anak.  
Suatu waktu, di suatu masa. Aku akan membuka kembali lembar kenangan itu, mengenangkan sebagai seseorang bukan saja guru. Melainkan seseorang yang pernah menepuk pundakku dan mengatakan jika tak seharusnya aku menyerah. Tentang suatu hal. Lain.
Ya, tentu. Sesederhana itu.
This entry was posted in