Friday 25 November 2016

Tidak Ada Cerita Cinta Hari Ini


Aku menghitung hari awal pertemuan kita sampai sekarang, kira-kira sudah dua tahun lamanya kamu dan aku mengetahui nama masing-masing, menghabiskan waktu dua sampai tiga hari dalam satu bulan, dijebak gengsi dan rahasia-rahasia hati, dihantui ego dan bagian nyawa yang lain. Selama rentang waktu yang cukup lama itu, dongeng banyak mengambil alih percakapan kita; menjanjikan kebahagiaan yang bahkan belum benar-benar kita berdua temui. Puisi terlampau banyak juga melakoni bahasa kita, hingga menelan suara hati yang harusnya bicara yang sebenarnya. 
sumber gambar: faded tumblr
Kamu tahu, sampai tahap ini, kita memang mengizinkan diri meragu, demi bisa meraba-raba apakah kita mencintai satu sama lain atau mencintai masing-masing. Mendustai diri atau memang mengikuti kata hati?
Radio peninggalan marhum kakek – yang pernah kuceritakan padamu begitu ingin punya cucu tukang baca buku – kubiarkan menyala, selalu tiap menjelang pukul sepuluh. Kemudian aku duduk bersila, membuang pandangan menembus kaca jendela rumah yang kabur oleh kering embun dan debu. Lalu menemukan jalan petak perumahan yang menghitam karena lampu kompleks yang tak menyala sedangkan pungutan terus jalan, keliling-keliling. 
Seperti biasa, lampu ruang tamu masih redup dan aku selalu menolak untuk memperbaikinya: tidak ada yang salah dengan keburaman jendela dan keremangan ruang, semuanya punya satu bau menyerupai tubuhmu yang sampai sekarang belum berhasil kuikat ke atas ranjang: kesedihan. 
Kamu terkejut, sejak aku memutuskan memanggilmu sayang, kamu hanya tak pernah bertanya selama dua tahunan ini, lelaki seperti apa yang buatku benar-benar mengeja diri jadi bagian dari perasaan remaja kasmaran? 
Jangan tanyakan pada tulisan-tulisanku – karena kamu hanya akan menemukan keraguan. Tidak pula menengok ke dalam matamu – sebab aku hanya akan mengecup keyakinan yang diusahakan dengan terbata-bata. Tapi, sampai detik ini, kita masih bertukar sapa baik-baik saja, tetap bilang selamat tidur mimpi indah.
Sebut saja lirik lagu, artikel tips percintaan di majalah, atau rayuan sambil lewat, kamu hampir pasti pernah mendengar kalimat ini: jatuh cinta membuatmu teringat seseorang – mendadak mengiringi tiap gerakanmu, tiba-tiba menempel di kepalamu. Buatku, dibanding diburu ingatan dan kenangan, ia lebih layak dibilang pengintaian diam-diam. Aku duduk di ruang tengah rumah dan melihat ada sedan hitam plat sama yang berputar di kompleks lebih dari tiga kali, kupikir itu kamu yang kurang kerjaan ingin memperbarui berita tentangku. Aku makan nasi goreng di sebuah resto kecil tak jauh dari kampus dan mendapati lalu lalang orang dari balik pintu kaca, tiap kali berusaha menengok, kupikir itu kamu yang muncul tiba-tiba entah dari mana. Aku membaca komik yang tokoh-tokohnya membuat orang-orang berkhayal hal-hal tak masuk akal soal memilih pasangan, lalu kupikir aku melihat wajah mereka serempak berganti jadi kamu. Aku ketakutan. Lantas kamu katakan ini romantis, aku meringis. Sedangkan rindu dan teror sering kali beda tipis, apalagi kalau sudah bawa-bawa cinta yang katanya, tak bisa berhenti.
Lagipula, kamu tahu apa yang salah dari kisah roman picisan zaman sekarang, sayang? Kita masih menganggap kebodohan sebagai pengorbanan.
Lagipula, kamu tahu apa yang benar dari kenyataan, sayang? Kita masih membaca kesedihan dengan bahagia dan menyadari ini semua adalah istimewa lengkap dengan segala kepincangannya.
Tidak ada cerita cinta hari ini. Tapi, aku tidak jamin apakah akan terus begitu besok, lusa, atau hari-hari nanti. Sedangkan hati ini kurang ajarnya bilang, kapan kamu akan ada kembali duduk bersama di sini, lagi? Dan berani janji dan tepati: tidak akan pergi.
*tulisan ini dibuat setelah membaca cerpen-cerpen Rieke Sarasvati dan novel Puthut EA, 
dan juga terinspirasi dari: kamu

Gadis Papua Bicara Keberagaman: Perbedaan adalah Alat Persatuan


Potongan rambut keritingnya yang dipangkas pendek dengan poni digimbal rapi, menjadikan ‘mahkota’ yang dipunyainya langsung mencuri perhatian. Ditambah lagi kulit cokelat kehitaman yang membungkus postur tubuh tinggi nan tegapnya, berhasil membuat perempuan itu terlihat mencolok di antara mahasiswa yang tengah berkumpul di Kompas Corner. Tak heran jika aku langsung mengenali sosoknya. Ia yang hari itu mengenakan atasan kemeja merah marun berpadu dengan blouse kelabu tua, spontan berdiri menyambutku dengan seulas senyum ramah. Aku akrab memanggilnya Lina, seorang gadis Papua tangguh yang sekarang tengah menempuh strata satu Ilmu Komunikasi di Universitas Multimedia Nusantara. 
Line (di tengah), ketika mengikuti orientation leader di Curtin University
Dari provinsi terluas di tanah air itu, ada sejumlah keping cerita yang disimpan Lina, berangkat lewat perjalanannya menyapa perbedaan-perbedaan di lingkungan sekitar. Perjalanan yang punya kisah tersendiri, karena tak sebatas di ibu kota saja, namun luar nusantara jua. Padanya, kita diajak menerjemahkan ulang makna keberagaman, dan bercermin sekali lagi tentang warna lain Indonesia.
“Kedua orang tua asli Papua. Kampung halamanku di Jayapura, tapi aku besar dan menghabiskan masa sekolah di Timika. Numpang lahir di Jakarta. Les Bahasa Inggris untuk mengasah IELTS/TOEFL di Makassar. Sempat kuliah di Australia dan Malaysia, sebelum kembali ke Indonesia. Karena aku hidup pindah-pindah, aku jadi punya cerita untuk setiap tempat,” ujar perempuan dengan nama lengkap Herlina Anace Yawang, tanpa sekalipun menanggalkan senyum dari bibir ranumnya.
 Sesekali ia terlihat sibuk mengecek berkas-berkas tulisan yang masuk ke surel Kompas Corner dan meladeni beberapa pertanyaan dari beberapa teman kelasnya, di sela-sela obrolanku dengannya. Lina memang mahasiswa yang benar-benar aktif, selain memegang andil sebagai editor Kompas Corner, ia juga bertanggung jawab dalam kepengurusan lakon ‘Les Miserables’ Teater Katak milik kampus, serta menjabat sebagai bendahara komunitas Pojok Sastra. Namun, di tengah sibuknya manajemen prioritasnya, Lina masih sempat meneruskan cerita.
Lina baru duduk di bangku kelas satu SMA ketika menerima beasiswa dari Prof. Yohanes Surya untuk belajar di Surya University. Ia tidak langsung kuliah, melainkan memperdalam ilmu eksatanya di universitas tersebut. Awalnya ia sempat kaget, perubahan tempat tinggal dan budaya antara Papua dan Tangerang Selatan, sama sekali berbeda. Belum lagi, setelah dua tahun ia menamatkan sekolahnya, ia langsung dikirim ke Australia dan Malaysia untuk melanjutkan jenjang studi lebih tinggi.
“Aku ketemu macam-macam orang dari banyak negara ketika di Curtin University, Australia. Mereka sering tanya asalku dari mana, ketika kujawab Indonesia, sebagian besar dari mereka enggak percaya. Mereka bilang; memangnya di Indonesia ada orang berkulit hitam? Saat itulah kujawab, tentu saja ada, Indonesia memiliki Papua, salah satu tempat yang menyumbang ragam warna Nusantara,” sambung perempuan yang sore itu mengenakan kemeja merah marun berpadu blouse abu tua, dengan nada berapi-api.
Kejadian sama juga terjadi ketika Lina singgah berkuliah di Malaysia, teman-temannya mengira ia berasal dari Afrika atau negara dengan ras kulit hitam lainnya. Sesesering itu juga Lina harus menjelaskan ia dari Indonesia; yang akhirnya membuat mereka bertanya-tanya, sekaligus memandangnya takjub bahwa Indonesia sebegitu kaya dan luasnya, bukan terbatas pada tanahnya tapi juga budayanya. Ada surga kecil keanekaragaman di sana. Terlebih ketika Lina sering menceritakan kebiasaan dan tradisi Papua yang dimilikinya.
“Ada waktu ketika aku merindukan rumah; tempat kenangan kecilku tumbuh subur dan ceritaku pertama dirajut. Dulu saat di Papua, kalau ada perayaan ulang tahun atau syukuran diperingati dengan menggelar bakar batu. Itu tradisi khas, yang mana batu-batu dikumpulkan di halaman rumah untuk dibakar besar-besaran di atas tanah yang sudah digali. Di dalam tanah tersebut, ada sayuran dan daging yang sudah ditimbun supaya matang oleh panas batu di atasnya. Enggak jauh beda sama panggang-memanggang. Menariknya, pas aku ceritain ini ke teman-teman, mereka langsung ajak aku barbekyu-an.” Lina tertawa ketika mengingat momen itu. Betapa banyak hal yang harus disesuaikan Lina di tempat baru, tapi ia tidak menganggapnya sebagai persoalan, sebaliknya hal tersebut adalah kesempatan bagi Lina untuk siap menerima pengetahuan dan budaya baru sebagai lahan belajar.
Tak heran jika proses adaptasi diri, telah jadi sesuatu yang akrab bagi Lina. Perbedaan yang ditemuinya sehari-hari membantunya memahami makna keindahan sesungguhnya. Walau keadaan-keadaan kecil yang ditemukan Lina terus-menerus mengingatkan akan perbedaan yang nyata, seperti sisir kayu khusus untuk menyisir rambut keriting khas Papua tidak akan ditemuinya di negeri Kangguru maupun Jiran, tas anyaman dari kulit kayu kesayangannya yang tak dijual di Tangerang, tatapan pasang mata tiap orang yang penasaran dengan rambut keriting Papua miliknya, tradisi dari kampung halaman yang sulit dijalankannya di kota, dan keadaan-keadaan asing lainnya. Lina tak lantas mengeluh, apalagi menyuarakan perpecahan. 
Sebaliknya, ia bersama kawan-kawan sesama darah Papua yang bersekolah dan berdiam di Perth, bahu-membahu menciptakan komunitas khusus yang mewadahi keunikan budaya Papua dan Indonesia. Dan, selalu saja ada orang-orang yang mampir dalam pertemuan komunitas itu untuk bertanya tentang apa yang Lina dan kawan-kawannya bagi. Lantas mereka saling bertukar kebudayaan, menyatukan pemahaman dengan saling terbuka satu sama lain.
Lina juga mengaku di kampusnya sekarang, Universitas Multimedia Nusantara, tanpa membangun komunitas khusus pun, banyak teman-temannya yang aktif mencari tahu dan akhirnya melahirkan diskusi kebudayaan. Tidak ada yang berusaha sikut-menyikut untuk berdiri di depan dan menyatakan keunggulan sendiri. Perbedaan yang terjadi dan ketidaksepakatan tak dilihat sebagai percikan menuju masalah, justru dialami sebagai rahmat.
Selain itu, Lina juga punya satu misi pribadi: me-rebranding Papua. Lina ingin Papua dilihat sebagaimana yang selama ini banyak diberitakan: tempatnya konflik bersenjata, gerakan separatis, hingga tanah yang tertinggal dari teknologi. 
“Aku mau Indonesia membicarakan perbedaan bukan sebagai kesenjangan, melainkan kesetaraan dan keberagaman yang patut diapresiasi dan dikenalkan. Sebab, keberagaman adalah surga kecil di depan mata, ia buat siapapun belajar sesuatu dan jadikan budaya lebih hidup.” Karena itu, Lina berupaya tanpa henti untuk mengoleksi pengalaman dan mengumpulkan ilmu sebanyak dan setinggi yang ia bisa. Bukan untuk mencapai target pribadi nan berkualitas saja, tapi demi persembahan bagi rumahnya di Papua, juga tanah airnya; Indonesia.
Kunci kesatuan sesungguhnya terletak pada masing-masing individu. Menghargai keanekaragaman Nusantara tidak cukup hanya diam di tanah air, lantas berkata bangga bahwa budaya-budaya yang ada adalah bagian dari kesatuan negaranya. Begitu saja, tanpa aktif berbuat apa-apa, hanya akan berujung sia-sia. Setiap orang perlu untuk keluar dari zona nyaman; pergi ke mana saja, ke tempat yang mana seseorang tersebut jadi minoritas, jadi pihak yang belajar menyesuaikan, jadi posisi yang terbuka untuk menyikapi hal-hal baru dari lingkungan luar, kemudian menjalin keselarasan dalam ragam perbedaan. Kalau sudah seperti itu, semangat persatuan akan menguat, jati diri Indonesia yang toleran akan benar-benar tercipta.
“Kita sering kali memandang perbedaan sebagai sumber masalah, lantas mengotak-ngotakkan diri. Keadaan semacam itu bikin kita melihat dunia hanya dari kotak yang kita buat, sehingga yang tidak sama dengan kita adalah malapetaka, padahal tidak. Perbedaan bukan pusat utama perpecahan, melainkan persatuan. Karena kesatuan terbentuk bukan karena semuanya sama, tapi yang berbeda-beda saling menyatakan diri hidup berdampingan dalam damainya harmonitas. Jadi, perbedaan yang kita namai dengan indahnya sebagai keberagaman, ialah sejatinya alat terkuat untuk menyatukan. Bagiku, mempersatukan nusantara kuncinya bukan pada menyeragamkan semuanya, tapi merangkul perbedaan sebagai sesuatu hal wajar untuk dibagi bersama, memberi warna satu sama lain, dan suatu peluang untuk saling mengisi. Sebab pelangi tidak akan indah jika satu warna hanya berdiri sendiri,” tandas Lina panjang, sambil bangkit dari bangku sofa bundar berkulit hijau. Ia meregangkan sebentar otot-otot tubuhnya setelah lama seharian berkutat dengan laporan dan agenda rapat yang harus diurusnya dalam gunungan berkas.
Jeda sejenak. Kuedarkan pandanganku pada tiap sudut ruangan. Mahasiswa-mahasiswa tampak sibuk mengerjakan tugas, menukar canda dan membaur dengan teman-temannya. Lalu, aku teringat mereka semua adalah teman Lina dari berbagai daerah lain di seluruh Indonesia. Di antara mereka maupun Lina, terlihat gambaran wajah harmoni sebenarnya. Aku tertegun, menyadari setiap orang termasuk Lina, menjadi dewasa dalam perbedaan.
Selang beberapa menit, Lina kembali duduk dan mengikuti pandanganku menyapu keseluruhan ruangan. Tidak ada satu pun di antara kami yang berbicara, hanya diam menikmati riuh perbincangan kelompok mahasiswa yang silih berganti bermunculan. Dan, pelan tiba-tiba, kudengar Lina berbisik kecil di telingaku, sekaligus menjadi akhir dari obrolan kecil kami, “Keberagaman ini, aku menyebutnya anugerah.” (*)

*tulisan ini memenangkan juara pertama dalam ajang lomba penulisan feature Communication Festival 2016 antar unversitas tingkat pulau Jawa, yang diselenggarakan Universitas Multimedia Nusantara


This entry was posted in

Menjawab MEA yang Tak Pernah Main-main


foto diambil di co-working space ruang Dorado, Skystar
Sore itu, ketika langit jingga singgah di Serpong, aku menemui seorang lelaki berpakaian kaus hitam lengkap dengan jaket kain berwarna hijau army di inkubator Skystar Ventures, Gedung New Media Tower Kampus UMN. Senja yang jatuh di tempat kerja lelaki itu, seakan mengabarkan jam pulang kerja sudah tiba. Namun, hal tersebut tak membuat lelaki pemilik nama Alvian Dimas, berhenti menekuri layar laptopnya sembari berkisah.
Sebagai CEO dan Founder dari perusahaan rintisan atau startup bernama INIGAME.ID, kesehariannya tak jauh-jauh dari mengejar waktu dan menyapa gunungan kerjaan. Namun, melewati senja dan menantang malam dengan setumpuk pekerjaan bukan lagi menjadi hal yang melelahkan baginya, karena itu adalah caranya menyiapkan senjata dan perbekalan untuk menjawab MEA (Masyarakat Ekonomi ASEAN).
Alvian tak gentar menyapa MEA yang kerap dipandang sebagai tantangan berisi sejumlah persaingan tak berkesudahan, Ia sudah menyiapkan INIGAME.ID sejak Februari 2014 lalu sebagai ‘senjata’ untuk bertanding menghadapi MEA. INIGAME.ID sendiri adalah sebuah perusahaan rintisan atau startup, yang terwujud dari kombinasi impian, kegagalan, usaha, kerja sama, dan jatuh-bangun tim.
“Aku dan tim di INIGAME.ID, tidak takut pada MEA. Kita bergerak dan bekerja di bidang game, karenanya kita melihat MEA sebagai suatu permainan. MEA seperti quest game yang harus diselesaikan dengan strategi-strategi matang. MEA layaknya mainan baru yang begitu menarik untuk dicoba. Seakan bermain game, kita akan menemui saat menjadi game over dan kekuatan melemah, tapi bukankah dititik itu, kita punya kesempatan untuk mengulang lagi dan menanamkan skill baru? Begitu juga MEA, ini adalah game dengan sejumlah peluang untuk menang,” ujar remaja berusia 23 tahun itu.
Sembari menyinggahi tatapan matanya pada ruang kerjanya yang sore itu sepi di ruang ‘Volans’, Alvian melanjutkan ceritanya. Ia hanyalah bocah kelas enam SD saat pertama kali mengenal game online, dan mulai menjadi gamers pada umumnya. Perlahan, ia merasa menjadi gamers biasa tidak membuat kesehariannya berarti. Alvian membangun tekad dan berusaha mendapatkan posisi sebagai moderator game di sebuah situs game terkenal saat itu; EGAMESBOX.COM. Usahanya berhasil, mengantarkannya menjadi global moderator yang menangani sebuah forum game. Ketika itu, Alvian sadar jika tengah terjadi krisis informasi antara konsumen dan produsen game. Seperti ada bola lampu kuning yang muncul dari dalam kepalanya yang bilang ‘harusnya ada portal yang menjembatani keduanya’.
Menyadari adanya persoalan yang mengusiknya untuk menemukan solusi, masa pendidikan menengah pertama Alvian pun dihabiskannya dengan belajar membuat dan mengembangkan sebuah situs secara otodidak. Sebelum akhirnya Alvian berseragam SMA dan mengenal jika kekuatan media adalah satu-satunya jembatan paling tepat untuk mengatasi komunikasi antara konsumen dan produsen game. Saat itu, MEA sudah mulai bergaung. Perdagangan bebas dan pasar terbuka yang ditawarkan MEA tak hanya mencakup sektor barang dan jasa, tapi juga tenaga kerja, mulai menyergap pikiran setiap remaja yang akan lulus sekolah, tak terkecuali Alvian.
“Kekhawatiran dan kecemasan untuk kalah bersaing mulai mewabah. Tapi, kalau aku terus fokus pada kelemahan, kapan aku melihat ini sebagai kesempatan membuktikan diri aku bisa? Bagiku, kemenangan di MEA bukan hanya diukur dari seberapa besar pendapatan atau tinggi jabatan kita dibanding lawan main, melainkan bagaimana aku bisa berperan bagi diri sendiri dan masyarakat di dalamnya,” lanjut Alvian, sambil sesekali mengelap kaca mata berbingkai hitam miliknya yang tergeletak di atas meja kerjanya. Aku mengalihkan pandang pada meja kerjanya yang sering kali menenggelamkannya pada setumpuk kerjaan, tempatnya memonitor hasil kerja kesembilan karyawannya yang semuanya adalah mahasiswa remaja lokal yang ahli di bidangnya masing-masing, dan ‘rumah kedua’nya untuk menerima kunjungan kawan. 
 Pekerjaan Alvian setiap harinya menuntutnya bermain di segala peran, baik menjadi public relations, pelaku IT, hingga gamers itu sendiri. Seluruhnya bukan serta-merta mengejar pemasukkan iklan yang jutaan rupiah, tapi juga menyelesaikan persoalan komunikasi dan edukasi game yang sempat mengusiknya beberapa tahun lalu. Itu membuat pekerjaan dan tim yang dimilikinya berbeda dengan kompetitor lain yang bersaing bebas di MEA nantinya. Sebab, Alvian selalu bilang pada diri sendiri dan kawan-kawan satu tim setiap harinya jika mereka akan bekerja dengan hati.
Bagi Alvian, kunci utama untuk ‘menggembok’ MEA agar tidak mengancam remaja, tidak cukup hanya dengan mendalami kreativitas, berpikir beda, membenahi kesiapan dan meningkatkan kemampuan, tapi juga mengiringinya dengan cinta. Maka, pastikan ide bisnis dan rencana kerja ke depannya adalah hal yang disukai, itu akan membantu seseorang menghadapi kegagalan. Alvian bersama INIGAME.ID pernah jatuh berkali-kali, mulai dari konsep awal INIGAME.ID yang kalah saat kompetisi business plan di kampus UMN, sulitnya pendanaan di awal-awal, hingga kebingungan menentukan kanal-kanal berita game yang harus dipublikasikan. Tapi, Alvian menyukai game, menyelaminya bertahun-tahun, dan jatuh cinta padanya. Jatuh dan gagal adalah perkara bangkit lagi. Bersaing di MEA adalah tentang berani bermain dengan kepala tegak. Keyakinan dan kepercayaan pada impiannya, akhirnya berhasil membawa INIGAME.ID diinkubasi oleh Skystar Ventures, salah satu inkubator dan tempat co-working bisnis yang berlokasi di lantai dua belas Gedung C Kampus UMN.
“Kita punya amunisi-amunisi yang kuat untuk melawan MEA, mengapa harus mundur dan takut? Walaupun gagal, bukankah nantinya kita akan belajar dari pesaing kita agar lebih baik lagi? Kita hanya perlu sedikit optimisme untuk menggenggam MEA,” tambah Alvian, kali ini ia beranjak dari meja kerjanya, berjalan-jalan sejenak melepas penat yang menjerat. Lalu, lelaki kelahiran 9 April itu tersenyum padaku dan bercerita lagi dengan nada pelan berkaitan ‘amunisi-amunisi’ yang akan ditembakkannya pada MEA.
Tiap harinya, ia dan timnya tak pernah absen untuk melakukan networking dengan key person  dari produsen dan perusahaan game. Selain untuk membangun koneksi, juga sebagai kolaborasi. Hal ini berguna agar INIGAME.ID sebagai portal media game online Indonesia, bisa menguasai titik-titik penting di pasar. Alvian juga memastikan INIGAME.ID menyediakan versi dual language, jadi tak hanya menyentuh konsumen lokal tapi juga luar. Lalu, menyulap INIGAME.ID menjadi wadah bagi remaja-remaja kreatif dari lokal untuk menjejaki pengalaman, mengasah keterampilan, dan mencicipi dunia kerja. Terakhir, INIGAME.ID juga hadir sebagai tempat edukasi bagi remaja-remaja yang tertarik di bidang game, dengan harapan bisa mencetak anak muda siap kerja yang percaya diri dalam menembus MEA.
Terkait banyaknya peran dan pekerjaan yang harus dilakoni Alvian, hingga membuat waktu kerjanya meniti langit gelap malam, Alvian tertawa kecil sebelum sempat menjawab,
“Jika raja tidak benar-benar memimpin, bagaimana ia bisa berharap orang-orang di bawahnya akan mengikutinya? Kamu tidak menjadi pemimpin karena kamu cerdas dalam segala hal dan bisa memerintah begitu saja, kamu berada di posisi pemimpin untuk bekerja lebih keras dibanding orang lainnya. Ini bagai game. Pilihannya ada dua, menunggu MEA datang dan menghancurkanmu begitu saja, atau menunggu MEA sembari menyiapkan plan A dan plan B. Kamu harus menerjangnya balik. Jika pasar bisa begitu terbuka mengobarkan perperangan padamu, kamu harus tertantang untuk mengalahkannya.”
Malam sudah habis memakan sore saat aku pamit dari ruang kerja Alvian dan bersiap pulang. Aku melangkah bersama Alvian melewati beberapa ruang kerja di Skystar Ventures yang penerangannya menyala. Aku pun diberitahu jika tiap ruang kerja dengan nama label berbeda-beda, memiliki sejumlah remaja yang tengah bekerja untuk impian-impiannya. Jadi, di Skystar Ventures yang bertempat di gedung C Kampus UMN berarsitektur ‘telur’ itu, setiap harinya berusaha melahirkan anak-anak remaja yang siap mengupas habis MEA.
Ada senyum yang membingkai bibirku. Kuucapkan pada Alvian sebelum pisah pada pertemuan itu, jika ia, kisahnya dan kawan-kawan remaja lainnya yang tengah sibuk mengolah mimpi-mimpinya, telah berhasil meyakinkan dunia jika Indonesia akan menyambut MEA dengan tangan yang siap merebut peluang. (*)
*tulisan ini keluar sebagai juara kedua dalam lomba penulisan feature antar universitas tingkat pulau Jawa pada ajang Communication Festival 2015, yang diselenggarakan UMN

This entry was posted in

Friday 18 November 2016

Saif Haromain Al-Fashi: Setiap Buku Punya Perjalanan Masing-masing


Rak-rak bercat kelabu tua yang terbuat dari besi kokoh, berdiri rapi membelah luasnya ruang perpustakaan. Tiap rak menyimpan jejeran buku-buku yang berbaris berdasar klasifikasi desimal Dewey, mereka – buku-buku itu – menunggu siapa saja datang untuk mengajak mereka mengobrol dalam ‘percakapan’ yang sunyi: membaca. Satu persatu punggung mereka, diberi label pengenal. Lalu, disusun bersama teman-teman segenre mereka dalam rak bernomor khusus agar satu sama lain bisa nyaman dan terawat. Tujuannya satu: biar buku-buku bisa awet muda, dibaca berkali-kali tetap bagus kondisinya dan tahan lama buat para pembaca. Andai buku-buku tersebut bisa bicara, mungkin mereka akan banyak bercerita tentang para perawat telaten mereka; sosok-sosok pustakawan, yang salah satunya adalah Saif Haromain Al-Fashi, atau akrab dipanggil Mas Saif. 
 Ditemui di ruangannya pada bagian pengembangan koleksi perpustakaan Universitas Multimedia Nusantara (UMN), Saif, yang siang itu mengenakan kemeja biru laut bermotif garis kotak-kotak kecil berpadukan jeans berwarna gelap, membagikan sembilan tahun lebih kisahnya menggeluti bidang pustaka. Mengikuti kisah Saif, seperti membolak-balik halaman buku favorit yang dipunya, dan mendapat sesuatu dari sana.
Merebut Bangku Perpustakaan UI
Tahun 2005 adalah tahun genting bagi Saif. Baru lulus ujian nasional dari SMA 8 Bogor, Saif dihadapkan pada pilihan dari Bapaknya: masuk pesantren atau Universitas Indonesia (UI). Alasannya sederhana,UI memiliki penawaran diskon bagi anak yang orang tuanya adalah pegawai di UI, yang mana kebetulan kala itu, Bapaknya sehari-hari bekerja sebagai office boy di perpustakaan universitas tersebut.

“Maklum, Bapak tak punya biaya untuk menyekolahkan saya ke kampus swasta, jadi antara ke pesantren yang lebih murah masuknya atau ke UI karena diskonan. Terlebih lagi, kakak sudah kuliah di sana, dan keluarga maupun tetangga selalu membanggakan masuk UI adalah hal yang prestisius. Bisa dibilang, saat itu ‘UI minded’ banget, akhirnya saya memilih ke sana,” ujar Saif, mengenang masa-masa juniornya dulu seraya tertawa-tawa.

Dan, perjuangan pun dimulai. Saif mengincar peminatan Manajemen dan Perpustakaan. Lambat laun, pilihannya mengerucut pada jurusan Perpustakaan saja, karena persaingannya tidak lebih banyak dari Manajemen. Tapi merebut bangku Perpustakaan UI bukanlah perkara mudah juga, karena satu bangkunya bisa diperebutkan oleh belasan orang. Alhasil, setiap harinya Saif pergi ke toko loak untuk mencari buku-buku bekas sebagai bahan belajar. Selain tekun mendalami materi-materi ujian masuk hingga subuh, pria yang menjadi anak kedua dari empat bersaudara ini mendadak tekun beribadah. Shalat lima waktu dijalaninya sampai berdoa siang-malam. Sampai-sampai, Bapaknya menyeletuk, andai kata Saif nantinya diterima UI, itu berkat 90% doa, 10% kecerdasannya. Akhirnya memang membahagiakan. Usaha keras dibarengi daras doa, Saif diterima UI, penjurusan Perpustakaan.

“Ada yang lucu saat orang-orang tahu saya diterima di UI. Pas ditanya kuliah dimana, saya jawab UI, semuanya menggumam bangga. Lalu ketika ditanya lagi ambil jurusan apa, dan saya bilang perpustakaan, mereka cuma diam dan melongo bingung sambil ngomong ‘emang ada ya?’,” lontar Said dibarengi tawa.

Awalnya memang seperti ‘dipaksakan’ mengambil studi tersebut karena keterbatasan pilihan dan desakan keadaan, namun semakin hari, ia tahu pilihannya tak pernah salah. “Sampai hari ini, saya masih kerap ketemu orang-orang yang mencemooh jurusan ini, atau profesi pustakawan. Biasanya akan saya ajak ngobrol, kasih tahu benefit ambil (peminatan) ini dan hal-hal menariknya di sini. Kebanyakan yang mencemooh adalah mereka yang lebih berorientasi ke perut (baca: uang), ini dianggap profesi yang enggak menghasilkan ke depannya, tanpa tahu dari sini kita juga bisa berkembang banyak, terlebih lagi segi pengetahuan.”
Tak peduli apa kata orang, Saif terus menjalaninya, sebab lentera jiwanya sudah ada di sana. Bukti keberhasilannya tertoreh dengan pengalaman sembilan tahun lebih menjadi pustakawan di perpustakaan-perpustakaan kampus, sampai menangani proyek-proyek terkait taman baca.
Dari Perpustakaan Anak Jalanan Sampai Books Cafe
“Salah kalau pustakawan itu kerjaannya cuma ngurus buku-buku. Kita juga banyak berinteraksi dengan orang-orang dan melayani kebutuhan informasi mereka. Dan, yang paling berkesan bagiku adalah saat pernah membantu CSR Perusahaan Sony untuk mendirikan perpus di SD Karet 01, Kuningan,” lanjut Saif, seraya melempar pandangnya ke luar jendela, mengamati ragam laku mahasiswa memilih buku-buku.
Proyek CSR tersebut selain mengharuskan Saif membuat konsep matang tentang perpustakaan yang layak bagi anak-anak SD, ia juga diminta terjun dan terlibat langsung di lapangan. Saif pun ikut melakukan story telling bekerja sama dengan komunitas ‘Ayo Dongeng’. Dari sana, Saif menyadari kecintaannya bertemu dan berinteraksi dengan anak-anak. Karena itu, ia pun menyatukan dua passionnya; dunia pustaka dan anak-anak, Saif kembali melibatkan diri dalam proyek pembangunan perpus lainnya bersama BIN (Bina Insan Mandiri).

“Waktu itu, kita bangun (perpus) di Terminal Depok. Perpus ini khusus untuk anak-anak jalanan. Selalu ada kebahagiaan sendiri melihat anak-anak itu membaca, memanfaatkan pengetahuan yang terbuka di hadapan mereka dari tiap buku yang ada,” tandas pria yang pernah menjadi asisten kepala perpustakaan Swiss-Germany University (SGU) selama empat tahun itu.
Lewat cerita-cerita pengalamannya, Saif seakan menegaskan, menjadi pustakawan tidak melulu berkutat dengan buku-buku. Ada banyak skills yang harus dipunya, mulai dari kemampuan berkomunikasi, niatan belajar terus-menerus, memahami database pengunjung, hingga terjun juga ke bagian TI mengurusi data-data buku digital, jurnal dan lain-lainnya. Lebih jauh bagi Saif, setidaknya seorang pustakawan membutuhkan tiga kemampuan utama, yakni marketing, communication, dan design. Karenanya, Saif tak pernah berhenti untuk terus meningkatkan dan mengembangkan dirinya, terlebih ketika ia punya satu cita-cita: me-rebranding perpustakaan.

“Perpustakaan itu seperti gudangnya informasi. Dan, jadi pertanyaan kenapa orang-orang jarang atau bahkan tak berminat ke perpustakaan, berarti ada yang salah. Bukan hanya pada perilaku baca masyarakat tapi tampilan perpustakaan. Perlu ada perubahan dan terobosan,” sambung Saif bersemangat ketika hendak menjelaskan impiannya.
Perpustakaan butuh pembaruan. Dari sisi desain, perpustakaan tidak boleh kaku, harus mengikuti zaman. Jika sekarang arah trennya adalah tempat nongkrong, jadikan perpustakaan sebagai pilihan utama orang-orang untuk habiskan waktu dengan konsep books cafe: sediakan bar kopi, wi-fi gratis, sofa nyaman dengan koleksi majalah tematik terbaru, sulap dinding dengan wallpaper yang berisi kutipan-kutipan cantik dari buku populer maupun serius. Giring masyarakat yang awalnya hanya sekadar nongkrong, jadi berniat baca buku. 
Setelahnya, para pustakawan dibekali gaya komunikasi yang interaktif dan fleksibel. Tidak hanya membatu penyediaan informasi, tapi juga pencariannya. Misalkan, pengunjung tidak menemukan koleksi yang diinginkan, pustakawan bisa secara aktif merekomendasikan daftar buku yang topiknya serupa, meriset tempat baca mana yang masih memiliki koleksi tersebut, dan lain-lain. Ketika sisi desain dan komunikasinya terpenuhi, tantangan berikutnya ada pada marketing. Perpustakaan sudah siap, sumber dayanya juga telah mumpuni. ‘Menjual’ perpus seperti ini juga tidak bisa dengan gaya konvensional, tapi harus memanfaatkan media kekinian. Contohnya, buat akun Snapchat resmi, rekam video singkat yang menceritakan asyiknya berdiskusi di ruangan khusus di perpus, atau via Instagram, ajak para pustakawan mengunggah foto bersama kutipan di dinding-dinding.
“Banyak yang harus dibenahi jika benar-benar ingin mewujudkannya serempak. Tapi saya yakin bisa, saya ingin buat orang-orang bangga punya kartu perpustakaan,” celetuk Saif kemudian.
Ajakan Berteman dengan Buku
Merombak penampilan perpustakaan memang menjadi fokus impian Saif ke depannya, tapi itu bukan satu-satunya yang jadi perhatian pria penyuka buku-buku manajemen marketing dan self improvement ini. Apalagi ketika Saif dihadirkan fakta bahwa Indonesia berada di posisi 60 dari 61 negara, ranking terbawah dalam hal minat baca masyarakatnya.

“Ini memang jadi persoalan. Terutama karena sistem pendidikan yang lagi-lagi kaku, murid-murid jadinya menganggap sumber pengetahuan adalah buku cetak sekolah dan silabus yang ditunjuk pengajar. Eksplorasi terhadap bahan bacaan jadi lemah. Tapi, kami dari jajaran perpus sudah berupaya membangun lagi minat baca ini. Terakhir, kami meluncurkan lomba resensi buku agar jadi sebentuk pancingan.”


Selain kompetisi resensi, Saif bersama kawan-kawan pustakawan, giat membuka kelas Literasi Informasi bagi mahasiswa UMN, yang isinya teknik-teknik mengumpulkan referensi dan bacaan secara tepat, cara mengutip yang benar untuk laporan ilmiah, belajar menggunakan e-library, dan sejenisnya. Pelatihan-pelatihan dalam bentuk kelas perbulan itu, digelar gratis. Tak hanya berkontribusi di internal saja, Saif juga tergabung dengan komunitas 1001 Buku yang dibuat seorang pustakawan dengan tujuan membangun rumah baca di sepanjang pinggir Pulau Jawa. Kesemuanya adalah upaya Saif menghidupkan gerakan membaca. Dan, untuk menjawab tuntutan era daring, yang erat dengan konsep e-book, e-paper, e-journal dan bacaan elektronik lainnya, Saif bersama teman-teman pustakawan sedang menyiapkan dan mengemas perpustakaan hibrida, yang mengombinasikan dan menyediakan buku fisik dan versi digital. 

“Membangun minat baca butuh tahapan dan proses tersendiri mengingat masyarakat kita belum melek literasi atau reading society. Ini sama seperti buku yang punya perjalanan dan masalahnya masing-masing, perlu perlakuan dan perawatan khusus,” ujar Saif, sekaligus menutup obrolan panjang nan inspiratif sore itu.
kiri kanan: Saif dan Veronica. Ini fotoku bersama pustakawan favorit!
  Fakta-fakta Lain Tentang Saif Haromain 
  • Buku Favoritnya adalah 5 cm karya Donny Dirgantoro
  • Kutipan yang paling disukainya adalah ‘cinta itu seperti menggenggam pasir, bila genggamannya semakin erat, ia akan berhamburan. Sebaliknya jika direnggangkan dan dilepas, maka ia akan habis ditiup angin’
  • Idola dalam hidupnya adalah Farichatur Rasyidah, yang tak lain dan tak bukan adalah kakak perempuannya sendiri. “Aku selalu kagum sama kakak, ia sosok yang tangguh, dan baik sekali. Ia yang subsidi biaya kuliahku dulu.”
  • Lahir di Jakarta pada 1987, tanggal ulang tahunnya 12 Oktober
  • Perpustakaan bagi Saif itu, “...bukan cuma ruang nyimpan buku, tapi tempat terlahir dan terciptanya kreativitas.”
  • Sekarang jadi pustakawan di perpustakaan Universitas Trisakti
  • Pesan Saif, “Buat jadi pustakawan, enggak harus mencintai buku kok, asalkan ada niat menjadi garda terdepan penyedia layanan informasi. Dan, dalam memilih profesi, bukan memilih yang buatmu kaya, tapi pilihlah yang dalam menjalaninya buatmu bahagia.”
photo captured by Darfi Rizkavirwan
@UMN Library

Thursday 17 November 2016

Sejak Kapan Kita Diperangkap Tetapi

Aku sedang dalam perjalanan pulang, menggenggam ponsel berbaterai lima persen yang masih kupaksa memutar daftar lagu. Mobil yang membawaku itu melaju cepat membelah jalan lenggang pada Minggu siang, berlomba dengan arak-arakan awan mendung dari kejauhan. Rasanya berisik sekali: radio mobil dinyalakan, dua anak kecil mengobrol tentang games terbaru di tablet masing-masing, dan supir yang mengomentari pilkada Jakarta. Tapi, lagunya masih hidup, samar-samar namun jelas mengeja kerinduan si penyanyi pada istrinya yang dipisahkan dalam ketuk palu perceraian. Aku menembus pandang ke luar kaca jendela yang kabur karena rintik hujan yang sudah kering dan enggan beranjak karena lama tidak dibersihkan. Aku jadi teringat pertanyaan-pertanyaan lugu kita dulu saat kecil pada ibu guru: kenapa pemandangan di luar sana seperti lari begitu cepat meninggalkan kita ketika bus studi tur mulai mengebut maju? Tawaku tergelak, kecil. Si penyanyi masih berteriak di telingaku, tentang dunia yang melawan mereka dan sisa ucapan ‘kita’ lama perlahan jadi ‘kamu dan aku’, lalu tanpa kata penghubung – berdiri sendiri, masing-masing.
Tawaku muncul, tawar. Pohon-pohon berpaku, rambu yang sudah tak menyala selain lampu kuningnya yang kedap-kedip, kabel-kabel listrik dengan sangkutan layang-layang, terik yang sesekali mengintip dari barisan awan tebal, sampai deru mesin pesawat yang kadan kala kupikir terbang terlalu rendah, berlari cepat menjauhi mobil yang membawaku – seperti bus kuning studi tur kita dulu. Masih sama layaknya tahunan lalu itu, dari gerak cepat pandangan dari balik jendela kendaraan, yang mengabur, yang memudar, yang berbayang, pelan-pelan aku melihat kamu. Satu kedipan kemudian hilang. Bedanya, dulu aku tak pernah takut, karena aku hanya perlu menengok sebentar saja untuk memastikan kamu memang di sini masih memakai kita untuk menjelaskan ke orang-orang perihal kejahilanmu menempeli kursi guru dengan permen karet, soal ide menukar tanda palang toilet untuk perempuan dan laki-laki, tentang melompati pagar sekolah saat terlambat, mengenai permainan rumah-rumahan dengan kamu adalah pangeran dan aku seorang putri, dengan boneka beruang sebagai si bayi. Masih kita. 
Aku hanya perlu menengok ke samping – tak peduli itu kanan atau kiri – tempatku adalah tepat di sebelahmu, dan tempatmu adalah benar di dalam bagian  istimewa ruang hatiku. 
Aku masih bisa merasakan hangatnya tubuhmu ketika mendekapku dalam lugu, dengan seribu keceriaan di mana-mana.
sumber gambar: johpavlovitz.com
Aku menarik napas, panjang. Udara segera memenuhi rongga dadaku. Segalanya terasa sesak, tapi aku tahu bukan karena itu. Potongan lagu tadi sudah lama mati, sebelum sempat selesai. Ponselku kehabisan cara untuk tetap hidup. Racauan dua anak itu mendadak berganti suara dengkuran. Radio mobil tiba-tiba bervolume rendah. Komentar pilkada menjelma jadi gerutuan akan jalan yang tiba-tiba diperangkap lengkingan klakson. Laju tersendar-sendat, sesekali geraman mesin yang terbatuk-batuk, jadi latar sayup-sayup yang menembus ruang dalam mobil. Jendela yang membingkai pandangan di luar sana menampakkan wajahnya dan menjelaskan dirinya perlahan-lahan. Dan, tak ada kamu di sana. Mataku terus terbuka dan kamu memang tidak pernah ada. Aku mengerjap berkali-kali, yang kudapati adalah gambar-gambar acak yang tak mampu menyusun dirinya jadi utuh. Aku menengok ke samping, ke segala arah yang kupikir mungkin, aku merasakan dinginnya memeluk kehilangan dengan seribu kesedihan yang berceceran di mana saja. Sesaknya tetap sama, dan perasaan itu masih belum mau selesai jalan-jalan ke museum yang isinya obituari cerita kita.
Dua jam. Aku sampai rumah dengan muka lusuh, baju acak-acakan, dan perasaan yang berantakan. 
Membuang ponsel ke sembarang sudut, menjatuhkan diri ke atas kasur yang tak pernah kubereskan sejak bangun tidur pagi tadi, rasanya tak jauh berbeda keadaannya dengan meja kerjamu. Aku mengangkat kepalaku, menemukan boneka terakhir yang kamu hadiahkan dengan sederhana, aku meraihnya, mendekapnya erat berpikir akan menemukan bau tubuhmu di sana. Aku beranjak dari tempat tidur, mataku menubruk tumpukan buku-buku berdebu, sama seperti surat-surat padamu yang tak pernah sempat kukirimkan hingga akhirnya jadi abu. Aku keluar dari kamar, menenteng laptop hitam yang tak pernah kuberi nama, ke halaman belakang rumah, menulis ini – seperti mengunjungi sajak-sajak puisi kenangan yang tidak mau menamatkan diri. Seperti hidup terus di masa lalu asalkan kamu ada di sana dan tak pergi. Seperti kamu dan aku, yang dulu janji akan selalu pulang lagi dan kembali. 
Tapi semesta memiliki rencana lain, yang tak kuasa kita ingkari. Tapi Tuhan punya skenario lain, yang tak mungkin kita pungkiri. Tapi. Tapi. Tapi. Sejak kapan cinta diperangkap tetapi?
Sebenarnya. Sesungguhnya. Sebetulnya, sayang.

Di luar tetapi-tetapi, kamu tahu aku masih di sini. Mencintaimu dan menolak untuk berhenti.

Friday 11 November 2016

Stempel Rindu yang Masih Utuh Walaupun Telah Menempuh Jarak Jutaan Tahun Cahaya dari Bumi Menuju Tempat Tinggal Alien nun Jauh di Luar Angkasa Sana


Seperti biasa, kamu datang dengan menyertai diri bersama kejutan-kejutan kecil. Aku menemukan nama panggilanmu – yang kerap berganti dari nama lebah, penggalan suku nama tengah, hingga gabungan dari ketiga nama lengkapmu – di surelku yang sesak, pada suatu malam. Lebih dari sekali. Lalu, kemarin malam, ketika lebih dari hitungan bulan kita saling menghilangkan diri dalam tenggat-tenggat dan perkara perasaan yang tak pernah sekali pun benar-benar kita bincangkan, kamu pulang lagi. 

Aku mendapatimu dalam kiriman video, isinya perayaan enam tahun persahabatan kita yang pelan-pelan dipaksa lupa oleh macetnya Jakarta, kantong-kantong mata yang menebal, dan drama-drama yang dulunya kita tertawai bersama, lalu kemudian kita alami tak jauh berbeda. 
sumber gambar: pinterest.com

Alienku sayang – demikian kita sepakat tentang panggilanmu dariku - kadang kali aku memikirkan tentang kelinci yang ajaibnya ditarik dari topi pesulap atau kakek Santa yang mengintip pelan-pelan dari balik cerobong asap, saat berupaya menggambarkan kamu yang muncul dalam tiba-tiba. Itu bagian-bagian dari kemunculan manis yang menungguinya diiringi tebak-tebakan penuh canda, yang pada akhirnya diingat sebagai hal-hal kecil menakjubkan dari sederhana. Pada akhirnya kita berdua menyadari, kita lupa memberi makan kanak-kanak dalam diri kita seperti dulu mereka pernah hidup. Tapi kamu mengetuk pintu, dan mengabarkan rindu setelah lama ia dibekap kesibukan. Kenangan kita pun ranum sekali lagi.
Karenanya, aku banyak mengembara akhir-akhir ini pada lima sampai enam tahun silam, saat menemukanmu hanya dengan menengok ke belakang bangku kelas. Kamu ada di sana – sesekali tengah bermain kecupan kecil bersama kekasihmu yang sering kamu jahili, mencoret-coret doodle di halaman paling akhir buku tulis, mendengarkan lagu-lagu Barat yang beatnya cepat, mencoba gaya-gaya baru mengikat rambut, sampai berdebat dengan salah satu kawan kelas kita tentang akhir zaman. Rasanya mudah menggantikan aktivitas-aktivitas itu dengan penggal memori lain, tapi ada yang tidak dengan gampangnya digeser, sebab ia tidak memegangi diri pada kepala: perasaan-perasaan ketika kita pernah melaluinya. Orang-orang mungkin lupa dengan apa yang kamu ucapkan, lakukan, ataupun berikan kepada mereka, tapi mereka akan selalu ingat bagaimana cara kamu membuat mereka merasa. Dan, alienku sayang, seusai membaca surelmu dan memutar ulang video enam tahunan kita yang dibuat acak, dekapmu yang bilang akan selalu tinggal di belakang kelas ketika pengumuman nilai ujian akhir selesai diberi tahu, masih terasa hangatnya – bau tubuhmu yang manis stroberi atau peach sesekali, masih tercium. 
Masih begitu nyata, seperti kita tak pernah memfoto diri untuk buku akhir tahun, layaknya kita tak pernah berjanji untuk reuni kembali, sebab memang tak ada salah satu di antara kita berdua yang mengucap selamat tinggal, bukan jua sampai jumpa. 

Masih begitu dekat, dan aku belajar jika jarak tak memiliki arti untuk orang-orang yang benar-benar punya cinta, tak peduli itu kamu simpan di kantong saku celana jeans, di liontin yang berisi potret tua, atau di selipan struk belanja di dompet-dompet. 

Masih begitu jelas, dan aku menyadari bila waktu memang punya kesempatan untuk membuat potret-potret jadi sepia, tapi ia tak pernah mampu menjelmakan cerita di dalamnya jadi tua.
Jadi, alien, kapan kamu siap ke Bumi, menjemput monster kecilmu ini dan mewujudkan rindu jadi temu-temu? Jadikan janji lebih dari sekadar tautan kelingking, tapi bukti cinta yang kita rawat dalam persahabatan tak kunjung mati. 

untukmu, si alien Gabriella Moureen Naomi. dari sahabatmu yang sering kamu sebut si monster kecil, missing you so bad, yet so right. Apa kabar?

Friday 4 November 2016

Memeluk Ragu

“Mengakui keliaran adalah satu hal, tapi menyertainya dengan menguraikan keraguan-keraguan ialah lebih dari hal-hal yang bisa kamu perbincangkan,” ujarnya. Ia meletakkan pensil alis di meja riasku yang sudah berusia lima tahun, tanpa suara. Manik cokelatnya memindaiku dari pantulan bayangan cermin. Kami sudah pernah membahasnya, aku tahu: ia menyukai keliaran, katanya itu alasan mengapa setiap orang punya rahasia dan mengoleksi cerita yang berbeda, bisa mengetahuinya membutuhkan lebih dari sekadar percaya, tapi juga cinta. “Keraguan, Ver, ia seperti terus-menerus memberi guncangan pada apa yang sudah berupaya kamu bangun,” lanjutnya, seraya menyambar kunci mobilnya yang barusan ia lempar ke balik bantal kamarku. Lalu pergi. 
Di ambang pintu, aku tidak berusaha menahannya, ia hanya meletakkan tangannya di pundak kiriku dan berbisik, “...tapi kamu butuh keraguan untuk menguji keyakinan." 
Ia berlalu. Gaun malam yang dikenakannya menampilkan sebidang punggungnya yang dilukis berdarah oleh seseorang yang tidak pernah ia sebut lagi namanya sejak tiga hari lalu – itu jejak keraguan dari kekasihnya ia bilang suatu hari. Sekaligus keyakinannya yang terlampau lebih dan memakannya. Kudengar tawanya di ujung teras rumah.
sumber foto: tumblr.com
Aku menarik diri ke dalam kamar, menyadari keraguan bisa menempel di mana-mana: kamu mengunci pagar rumahmu ketika bepergian, kamu menyetel kata sandi untuk ponselmu, kamu membawa payung saat hari mendung, kamu memberi jangka waktu tertentu buat siapa saja yang meminjam buku favoritmu, kamu meminta tunanganmu untuk setia, dan, dan, dan. Ia bahkan bisa ditemukan di tempat yang kamu kira penuh keyakinan: matamu, sajak-sajakku, misalnya. Aku jadi teringat pertanyaannya tentangmu sekitar sebulanan lalu, “Bagaimana kita bisa tahu seseorang yang kemarin menyatakan cintanya padamu adalah yang jari jemarinya paling cocok ketika ditautkan padamu dalam genggaman, yang lekuk tubuhnya paling pas ketika dipeluk oleh tubuhmu? Bagaimana kamu tahu dia adalah keping puzzle-mu yang hilang, yang sudah lama kamu cari?”
Kamu tidak mengenal orang dari siapa namanya, ramalan zodiaknya di halaman akhir majalah langganan, bagaimana bentuk hidungnya, karakter golongan darah, hasil kuis Facebook,  di mana alamat rumahnya, atau pertanyaan-pertanyaan biodata yang ditulis di kertas surat yang dikoleksi anak-anak. Kamu memahami mereka dari keraguan seperti apa yang sedang dan pernah mereka pelihara: mengapa kamu mengakhiri hubunganmu dengan lima sampai enam perempuan sebelum aku? Kapan terakhir kali kamu teringat pada kawan lamamu yang begitu merepotkan semenjak kamu diam-diam memberinya jarak? Di mana khayalan liarmu kamu simpan sembunyikan dari orang-orang? Siapa saja yang hidup dalam kepalamu dan berapa di antara mereka yang berusaha kamu tekan agar tidak muncul? Itu pertanyaan-pertanyaan yang menggugat keraguan untuk berani bicara, sayang.
“Jadi, bagaimana, Ver? Kamu tidak tahu jawabannya atau memang kamu belum mau memberitahunya?” ujarnya lagi. Kalau tidak salah, ketika itu, aku memain-mainkan sedotan minumanku. Melempar pandang keluar jendela resto. Dan segalanya jadi tampak ragu. Adukkan sedotanku yang setengah-setengah, perhatian yang terbelah-belah, dan jendela yang tidak percaya aku menatapnya.
Aku membayangkan matamu – kamu tahu kalau keindahan itu kadang kali adalah elegi? Terlalu banyak, membuatmu bisa menangis, karena kita nyatanya selalu butuh kesedihan. Aku merindukan matamu – kamu tahu tiap pesan teks yang tak pernah sampai karena diketik ulang hanya untuk kuhapus, karena nyatanya aku tak cukup percaya kamu cukup utuh merasakan sebaliknya. Aku menyentuh matamu – kamu tahu kalau hal-hal yang kamu cintai sering tidak bisa untuk kamu sentuh? Karena kamu terlalu melindungi dan menjaganya hingga menjadikannya gelembung udara yang pecah dengan sebegitu mudahnya. Aku meragukan matamu – terlalu banyak kemungkinan yang ada di sana, dan kamu tahu, kamu pernah dimenangkan oleh keraguan. Keraguan pernah memenangkanmu jika tak ingin kukatakan ia pernah mengalahkanmu. Kamu meyakini keraguanmu. Lalu, aku kehilangan matamu.
Aku beranjak. Menyambar jaket hitamku yang mulai memudar dan memutuskan keluar rumah. Mencari setangkai mawar di pekarangan-pekarangan rumah tetangga, memetik kelopaknya satu persatu, membiarkan keraguan menemukan jawabannya sendiri.
“Kamu tahu.” Ia melirik ke arahku, mengangkat sebelah alisnya. Tidak penasaran, juga bukan tak percaya. Ia hanya tersenyum, lalu tawa hambar yang sama itu lagi. Beginikah cara keraguan juga berbahasa? Diam-diam, mengurungmu untuk kemudian membuat apa yang kamu bangun goyah lalu runtuh, atau ia memang benderang muncul buat bilang, ‘hei, aku di sini untuk mempertanyakan segala hal sampai kamu menemukan keyakinanmu’. Keraguan bukan tak punya suara, ia hanya tak ingin bicara, memang begitu caranya bekerja.

Kamu adalah keraguanku setiap hari, dan mencintaimu berarti membiarkan keyakinan juga sesering itu muncul untuk membunuh satu persatu ragu yang masih berusaha hidup. Dan, seperti remaja kasmaran di dongeng-dongeng klasik, cinta selalu punya jalannya mengizinkan keraguan menang untuk kemudian menemukan sejatinya kekuatan untuk benar-benar tinggal. Aku memeluk keraguan, kadang kali terasa seperti dekap tubuhmu, kadang kali juga tak terasa apa-apa, sampai kupikir aku tengah terjebak di labirin atau kamu memang benar-benar berhasil meyakinkanku?
suatu petang yang ganjil, diketik di halaman belakang rumah, Oktober 2016