Thursday, 11 April 2013

Hujan Jatuh - Rain Fall



“Jika kamu tanyakan padaku, seberapa kuat aku mencintaimu, aku takkan menjawab seluas samudra dan lautan, setinggi gunung atau apapun. Sederhana saja, aku mencintaimu sepertihalnya bagaimana kamu mencintai dia.”

Aku tak pernah tahu jika kamu bertahan memangku jarak yang terasa begitu berat, diam dan berusaha menahan nafas agar dia di sampingmu tidak mengetahui jika kamu memperhatikannya. Menyelam ke dalam pejaman matanya. Dalam kepalan tanganmu, kamu yakin satu hal, kamu akan menjaganya, melindunginya. Kamu remuk melihat kerapuhan dalam senyumannya. Dan tahukah kamu? Aku meretak. Remuk. Runtuh. Diam tak terkata.
“Aku dikoyak-koyak rasa. Akan kubawa cinta ini dalam ukiran aksara nisan. Biar ia mati, diam, tak lagi berontak tuk merasa. Mungkin ini akan menjadi aksara paling menyakitkan dariku tentangmu yang pernah tertuang.” –di kala kamu berhasil mengoyakku pada aksara sederhana yang kamu lukiskan.
Kan kutaburkan kelopak-kelopak Kamboja di atas potongan cinta yang kuletakkan pada luka yang tengah menganga. Bahkan, aku menulis ini ditemani alunan nada lagu yang kamu berikan khusus untuknya. Katakan padaku! Dimana harus kuletakkan cinta yang berdarah ini kecuali di atas gundukan tanah berbatu nisan?
Sesungguhnya, aku lelah mengabstraksi kata-kata agar kamu tak mengetahui aku sedang menggoreskan kamu dan dia. Kamu dan dia. Bukan kita, siapa aku? Bukankah hanya seseorang yang berusaha ingin menjadi hujan hanya agar bisa menyentuh dan memelukmu tanpa perlu memberi alasan atas pertanyaan mengapa.
“Jika aksara ini tak lagi mampu mengetukmu, katakan padaku, dengan air mata apa lagi aku bisa meyakinkanmu? Bahwa aku mencintaimu dengan sederhana.”
Aku mencintaimu dengan sederhana. Sesederhana ketika rasa pertama yang muncul ketika kamu melihat dia di sebuah jalan sepi sehabis hujan, mungkin dia atau perasaanmu yang mengharapkan dia ada. Aku mencintaimu dengan sederhana. Sesederhana ketika kamu memperhatikan hal-hal kecil tentangnya. Aku mencintaimu dengan sederhana. Sesederhana langit yang berusaha menyatakan rasanya kepada Bumi lewat rintik lembut hujan. Aku mencintaimu dengan sederhana. Sesederhana ketika kamu berharap ada rasa yang bertemu antara kamu dengannya. Sesederhana ketika aku pun membungkus teriakkan dalam bisikan; aku mencintaimu, kamu dan dia tak perlu tahu. Aku mencintaimu dengan sederhana. Kamu mencintainya dengan sederhana. Sesederhana ketika aku berkata, cintailah dia. Aku di sini menikmati bagaimana aku tertunduk tenggelam dalam sesak, membiarkan air mata dan hujan mengaburkan pandanganku ketika kamu dan dia bersama dalam genggaman tangan di sebuah ruang kelas. Dan di sini, aku sibuk mengaksarakan tentang luka-luka rasa.
-di saat aku berusaha mendiamkan rindu. Menghabiskan rasa.

Monday, 1 April 2013

Hujan Terakhir untuk Teh



“Can you show me the perfect way to write the best love story with the dying heart?”
Tak ada yang terasa dari hujan kecuali akhir cerita menggantung yang dibawa bau tanah dan sepotong senja basah. Ini seperti tengah merangkai rasa yang pernah dibiarkan jatuh dan hanya bersisa cerita-cerita bisu akan luka. Mencipta tanya, bagaimana mematahkan rasa ketika bahkan kehadiranmu tak mampu ditebas jarak dan digerus waktu? Namun, segalanya memaksa aku meninggakan cerita sebagai kenangan. Dan, aku terbunuh begitu dalam, mengetahui hitam tak hanya singgah pada malam, tetapi hujan yang menumpahkannya dalam kisah kelam. Tak ada yang pernah menjadi milik kita berdua kecuali luka-luka karena terlalu banyak ketika-ketika tanpa ada aksi rasa yang nyata.
“The possibility that you will ever felt the same way is just too…less.”
Kali ini, biar tatapan teduh matamu yang kusembunyikan dalam kata-kata dan kusamarkan dalam tinta. Sesungguhnya aku lelah memakai terlalu banyak metafora, karena teduh tatap mata itu tak sebatas kata-kata yang kumainkan. Ia mencpita ketenangan yang bersua seolah segalanya baik-baik saja. Ia adalah sorot dalam kesederhanaan dengan binary hangat yang memeluk dan melindungi di kala rasa yang meretak. Berkali-kali kulempar tanya dan teduh mata itu selalu mampu melepas jawab. Namun, tak pernah mencoba menerjemahkan rasa. Membuatku berhenti untuk terlalu banyak merajut asa.
“Probably this is just wishful thinking and mindless dreaming that we will love each other.”
Aku mengingatmu dalam rindu yang membunuh. Aku tak ingin menguntai rasa dalam hura-hura jika kita akan meniti kisah. Walau rasa itu harus terperangkap dalam ruang ramai pesta, biar ia menemukan jalan sendiri ‘tuk saling mengamitkan janji untuk berlalu dan merangkai keheningan. Pernah dengar? Diam itu bersuara. Bisu itu bersua. Hening itu bercerita. Aku ingin mereka yang berdialog dan mengisahkan indahnya sebongkah cinta yang kusimpan dalam mata yang berbicara. Bahkan lilin di meja romantis Valentine itu kalah dengan binar mata yang saling melepas rasa. Tanpa banyak kata, karena rasa bukanlah bahasa. Maka itu, kubiarkan kata itu berdiam, sunyi, hening dan sepi…aku lelah menuang tinta aksara dalam gerimis hujan, karena hujan pun mampu bersuara lewat geraman guntur, menyuarakan bagaimana rindu ini menjelma layaknya petir yang melukai cakrawala langit, sedangkan secangkir teh hanya berlindung dibalik jendela. Diam.

Friday, 29 March 2013

Memotong Rembulan



Senja sejenak lagi ‘kan dipetik cakrawala. Aku duduk dibalik kaca jendela salah satu mobil angkutan umum berbulir air hujan. Kuciptakan celah yang membiarkan angin menyapa masuk. Duduk diam termenung lama sampai mobil berhenti dan masuk seorang anak kecil sekiranya berumur 7 tahun. Ia duduk di bawah, tepat di pintu masuk. Dingin alumunium yang menjadi alas duduknya tak dipedulikannya. Dengan kaleng kumuh, ia mulai memukul-mukul tangannya dan bernyanyi ria walau terdengar asal. Tak banyak orang di mobil itu. Hanya ada aku dan seorang ibu. Beberapa receh sudah ada digenggaman ibu itu. Lagu selesai dan receh itu pun berganti tempat ke dalam kaleng milik si anak kecil kumal berkaus kuning lusuh. Si anak kecil menatapku dengan binar harap penuh, aku tersenyum dan bertanya padanya, apa ia tidak takut jatuh dengan posisi duduk seperti itu? Hatiku teriris, sesungguhnya aku ingin bertanya; bagaimana ia meniti waktu dengan hanya bermodalkan Bumi sebagai alas dan langit sebagai atap? Si anak hanya terdiam dan kembali duduk. Matanya nanar melempar keluar pandangan, maniknya bercerita berat akan banyak hal yang semakin mengoyak. Mobil itu jauh membawanya ke tempat yang bahkan aku tak tahu ia kenal atau tidak, menembus kabut hujan, senja emas semakin tertarik menuju anasir yang membentuk malam. Aku meringkuk dalam peluk sendiri, sibuk mengecam negara dan pasal-pasal yang melindungi anak-anak sepertinya. Dalam dimensi lain yang dihadirkan waktu, mataku menangkap seorang Bapak yang sedang membukakan bungkus es krim berbatang untuk anaknya, menemukan seorang Ibu yang mengatur posisi agar anaknya bisa digendong di punggungnya, seorang Ayah yang membuatkan video untuk dikirimkan pada anaknya yang tinggal jauh dengannya, seorang tukang becak tidur dengan posisi memprihatinkan; mungkin lelah. Aku bergetar, ada kecamuk rasa yang bermain di dalam, betapa kaca mata dunia ini adalah mereka. Ini potret yang meremukkan. Ini pigura yang menghantam.
Aku belum turun dari mobil itu, ketahuilah. Sebelum ada sepasang mata yang memecah bendungan air mata, aku merogoh saku, menemukan receh untuknya. Ada sejumput doa-doa kecil di receh dan tegadahan tangan penuh noda itu; suatu saat nanti kita akan memotong rembulan untukmu. Aku meminta supir memberhentikan mobil, turun dari sana, sesegukkan, aku menyeka setitik air mata di pelupuk; hampir saja terjatuh. Aku tidak menengok lagi ke belakang, malam sudah memeluk langit. Ada sabit di atas sana, mungkin setengahnya sudah dipetikkan Tuhan untuknya. Aku tersenyum, berjalan pulang.

This entry was posted in

Saturday, 23 March 2013

Sepotong Kasih Tertinggal di Sitanala



catch the news!
13 Februari lalu, tepatnya di RSK Sitanala Tangerang, diperingati Hari Kusta Sedunia ke 60 (27 Januari) yang dihadiri oleh Ibu MenKes RI dan Bapak Walikota Tangerang. Acara itu diisi dengan kata penuturan cerita inspiratif para penderita kusta juga. Sejumlah media massa datang untuk meliput, aku dan tim jurnalistik sekolahku Perddhita News dengan membawa nama Kompas Muda tak luput meliput acara peringatan yang mengusung tema ‘Kusta Tak Menjadi Halangan untuk Berkarya’. Dari sesaknya media dan rombongan menteri, akhirnya aku dan tim memilih mewawancarai salah satu penderita kusta yang telah sembuh berkat perawatan yang baik di Sitanala. Perbincangan santai di kala siang itu berlangsung cukup lama, banyak hal inspiratif dibalik para penderita kusta yang bagi sebagian banyak orang, takut menular-lalu dijauhi. Padahal tidak, ketika kita mulai merangkul mereka dalam pelukan hangat, kita tahu bahwa mereka memiliki sepenggal cerita kasih yang menarik untuk kita tahu.
Spanduk penyambutan
Sebut saja, Bapak Zen, beliau menuturkan jika dulu, masyarakat sulit untuk bekerja di RSK Sitanala, alasannya karena takut tertular. Bahkan, pernah dicetak selebaran agar orang tidak takut dengan kusta. Padahal, kenyataannya, tak ada staff pegawai di Sitanala yang tertular ketika bekerja di rumah sakit tsb. Banyak juga yang beranggapan, keterbatasan fiisk penderita kusta membuat mereka tak mampu survive, tapi kenyataan melempar kita pada satu pembuktian, bahkan ada orang tua yang mengidap kusta namun anaknya tidak tertutlar atau terkena kusta, anak tsb bisa kuliah hingga semester enam di salah satu PTN, cerita Bapak Zen pada aku dan tim. Satu hal yang kutangkap, bahwa dalam batasan dan ditengah kucilan masyarakat, mereka mampu berdiri tegak, tetap menebar kasih, mengatakan jika mereka ada, mereka mampu, dan mereka bisa berkarya. Para penderita kusta pun sesungguhnya memiliki wadah kreativitas dan keterampilan sendiri yang dilatih setelah sembuh di RSK Sitanala. Sssst, Bapak Zen bahkan adalah salah satu yang membantu pembuatan patung Dr. Jb.Sitanala.
me and the report team
Lagipula jika kita ketahui, kusta bukan penyakit yang benar-benar menular, kita hanya terperangkap dalam dogma/stigma yang salah. Sesunggunya penderita kusta tak menuntut banyak hal, mereka hanya memerlukan potongan cinta kita, uluran tangan yang menerima secara terbuka kehadiran mereka, sebab mereka memiliki hak yang sama seperti halnya kita yang sehat, sebuah pelukan penuh cinta.

Wawancara berganti pada salah satu organisasi peduli kusta, GEMPITA yang kutemui di luar ruangan, Kak Glory Rosary. Dalam obrolan singkat dibawah terik matahari siang itu, dikatakan bahwa tujuan GEMPITA justru bukan lebih ke arah medis melainkan lebih pada kehidupan sosial penderita kusta, merangkul dan menggandeng mereka untuk mendorong mereka lebih kreatif dan bisa berkarya. Ini menjelaskan satu hal, sesungguhnya penderita kusta memiliki penyakit yang lebih menyakitkan dibanding kusta itu sendiri, melainkan bagaimana kita memandang mereka dan cara kita memperlakukan mereka; merangkul dalam harapan ataukah mencibir dalam kejauhan.
Bu Menkes & Bpk Walikota Tangerang
Aku melupakan hiruk pikuk di ruangan yang sesak oleh lampu blitz kamera wartawan yang sibuk dengan Ibu Menteri dan Bapak Walikota (lagipula sudah ada tim jurnalistikku yang ditempatkan di ruangan tsb, sedangkan aku lebih memilih turun ke lapangan menjejak kisah), aku pulang dengan membawa sepenggal kisah tentang menyikapi cinta sesungguhnya. Bahwa kusta bukan nista. Kusta adalah bukti nyata bagaiamana cara kita mencinta sesungguhnya. 

me w/ Kak Glory R.Oyong
Terima kasih untuk Bapak Zen, staff pegawai RSK Sitanala Bapak Martono, Kak Glory Rosary and Bapak AB. Susanto (dari GEMPITA) sebagai narasumber peliputan. Untuk liputanku dan tim yang lebih berbeda dan selengkapnya, tunggu di edisi cetak halaman Kompas Muda J . Berikut photo-shoot di sekitaran RSK Sitanala yang ditangkap oleh kamera fotografer Perddhita News.
This entry was posted in

Thursday, 21 February 2013

Dialog Cinta


Apa itu cinta? Ini pertanyaan sederhana dengan sejuta jawaban mengenai rasa.
Yang pasti, cinta itu bukan sebuah syarat, tuntutan atau pun status. Cinta bukan sihir, sebab ia bukan sebuah permainan sulap. Ia bukan matematika yang mempersoalkan mana benar dan mana salah. Ia juga bukan perkara ilmu pasti, karena ia bukanlah fenomena yang harus diteliti.
Lalu, apa itu cinta? Apakah hanya sebuah kata yang terbentuk dari untaian lima alphabet? Bukan.
Cinta itu sebuah rasa, bukan teori. Kamu tak harus mengingat seseorang yang dicinta, sebab ingatan mungkin saja hilang. Namun, rasa tidak. Maka, cinta itu berarti merasakan.
Cinta itu adalah keadaan dimana kamu merasa bahwa kata-kata pun tak mampu bersua untuk menggoreskannya dan warna-warna tak cukup bisa untuk melukiskannya. Cinta itu tak terkata-kata dan tak terlukis, sebab ia bukan bahasa di atas kertas, bukan gambar di atas kanvas, melainkan sebuah rasa di dalam hati.
Cinta itu penuh dengan kekuatan. Ia tidak mudah digerus oleh waktu dan ditebas jarak. Biar jarak tak bisa dilipat menjadi dekat. Biar waktu tak bisa diputar untuk diulang. Cinta tetap mampu berdiri tegak dan bercerita tentang kita ataupun mereka akan ironi sebuah rasa atau indahnya jejak kita berdua.
Kata banyak orang, cinta itu tak harus memiliki. Mungkin benar, sebab cinta bukan sebuah barang. Cinta terkadang mampu membuat kita berkata; cukup dengan ada dia di sini, di sampingku, tak lagi aku memperkarakan segala masalah yang membuatnya tak bisa kugenggam. Seperti halnya pepatah lama yang berkata, cinta itu layaknya pasir. Tak perlu kamu menggenggamnya terlalu erat, sebab perlahan ia akan keluar dari celah-celah. Jangan menggenggamnya terlalu longgar, ia akan hilang bersamaan dengan desiran angin. Jadi, cinta hanya perlu untuk dijaga.
Lantas, bagaimana bentuk cinta? Apakah ia berbentuk daun hati? Tidak. Cinta itu buta. Aku tak bisa melihat bentuk cinta sesungguhnya. Tapi, bagiku, cinta itu memiliki bentuk berupa bayangan seseorang yang kita cinta. Cinta itu juga bisa berbentuk keadaan yang mampu membuat kita bisu. Tanpa sadar, kita pernah merasa; kita memiliki cinta yang bisu. Kita saling berbicara lewat tatapan mata, kita saling mencium lewat senyuman dan kita saling menyentuh lewat hati. Akhirnya kita hanya perlu mengetahui bahwa cinta itu tak berbentuk, cinta itu abstrak.
Lalu, bagaimana menemukan cinta?
Cinta itu universal, tak sebatas kepada pacar, ia tersebar dan terbagi di dalam hati setiap manusia. Ia ada dimana-mana. Kamu tak perlu menemukan cinta dan berusaha mencari peta dimana letak rasa bernama cinta. Percayalah, cinta itu selalu memiliki cara dan jalan sendiri untuk menemukan kita. Bukan lewat cupid, bukan dari hari Valentine dan bukan dari rayuan gombal. Cinta ditemukan dari dua hati yang mengerti bahwa cinta adalah sebongkah rasa yang harus dihargai, bukan sebuah permainan menang-kalah.
Ketahuilah, cinta itu bukan kamu. Tapi, cinta itu adalah kamu dan aku.
Sekali lagi, aku lelah berdialog dengan cinta. Coba pejamkan matamu, adakah bayangan seseorang yang membuatmu merasakan gejolak rasa? Itu emosi dari cinta. Biarkan cinta itu sendiri yang bercerita akan rasa kamu dengannya. Setelahnya, kamu akan tahu apa itu cinta.
This entry was posted in