Friday 21 August 2015

Empat Puluh Empat Hari



Akhirnya, aku menulis lagi. Kalau kamu punya kebiasaan mencoret angka di penanggalan kalender yang sudah lewat, kamu akan menyadari, sudah satu bulan lebih aku tidak mengisi jurnal ini – dan, empat puluh empat hari kita kehilangan apa kabar.
Maka itu, bolehkah aku memulainya dengan bertanya sederhana; bagaimana keadaanmu yang sekarang? Kudengar kamu mulai menyentuh impianmu, pekerjaanmu datang menderamu tiap waktu dan memenjarakanmu dalam kata ‘sibuk’. Itu sepatah kata yang teramat berbahaya – kamu tak menyadarinya. Ia bisa menjelma jadi benteng beton tak kasat mata yang berkata pada orang-orang termasuk aku untuk tidak mengganggumu. Tidak masalah, aku pun sibuk dan memahami bagaimana terkadang jadwal merantai keseharian kita – tapi bagiku, kamu selalu punya waktuku di daftar pertama setelah Tuhan dan keluargaku. Namun, rasanya kamu punya pilihan lain. Sibuk terlalu meringkusmu hingga kamu benar-benar terjerat lupa; akanku.
Kira-kira seperti ini hasilnya; sapaan kita memudar, tatap kita tak lagi banyak bercerita, senyum kita lampus sudah. Lalu jika sudah begini, pantaskah aku bertanya akan nasib rasa – yang sempat kubilang padamu akan kujaga, asal kamu, setidaknya mampu meyakinkanku akan tetap tinggal? Aku akan senang hati menanti, menurunkan tiap tangan lelaki yang mengajakku berdansa di Sabtu malam sebab aku menunggumu – dan rela menjadi pohon. Tapi, empat puluh empat hari kesempatan itu digelar di hadapan kita dan kamu tak sekalipun menyentuhnya. Sampai akhirnya, terlalu banyak yang asing merasuki kamu, hingga aku tak bisa menghitung ini sudah muram ke berapa yang menyertai ingatanku akanmu. Mungkin, kisah tentang kita sudah akhir pada salah satu hari dalam empat puluh empat hari yang kita tak saling tahu itu.
Aku tidak meletakkan kesalahan di pundakmu. Hanya saja, dua puluh hari pertama ketika kamu pergi dan entah sedang minum apa di bar sana – dalam sebuah pertemuan bisnis yang sangat penting atau liburan yang begitu jauh – adalah titian hari yang begitu buruk bagiku, dan aku butuh kamu untuk kubagi cerita-cerita yang hanya padamu aku kisahkan; namun kamu mungkin tengah berjemur di pantai, merancang strategi masa depan, menikmati pemandangan malam yang bermahkotakan lampu-lampu berwarna dan lainnya. Lantas, aku di sini belajar hidup dikendalikan sejumlah botol obat, menyimpan rahasia-rahasia, dan mencuri waktu untuk menangis sepanjang malam. Nyeri mengetahui aku terbatuk dan ditenggelami sejumlah luka darah tiap mengingat apakah mungkin ada rindu yang berlabuh padamu agar setidaknya bertanya apakah segalanya baik-baik saja; yang nyatanya hanyalah angan-angan yang teronggok sia-sia. Sekarang, dua puluh hari paling siksa itu sudah berhasil aku lewati – sendirian. Sisanya hanya koreng-koreng luka yang berusaha kutambal tanpa dirimu. Dan, kita sudah begitu terlambat.
Beberapa minggu setelahnya aku mendapati kamu semakin maju dan berhasil dalam kerasnya usahamu. Aku tersenyum di depan buku-buku tua yang kubaca untuk menemani hari-hari sakitku. Aku ingat mimpimu untuk memperoleh juara di usia muda, dan aku kerap berdoa kamu segera menjadikannya nyata. Doa itu  (hampir) sukses – kulihat kamu semakin banyak menangani proyek dan datang ke sejumlah event yang tak kukenal - , tapi tak lagi kudapati kamu yang punya segudang waktu untuk mendengar dongeng-dongengku, mengirimkan artikel-artikel seputar hobiku padaku, menyambung ucapanku tentang hal-hal aneh, serta bertukar kabar apakah kamu bahagia hari ini. Aku menyadari satu hal; akhir bahagia dalam telenovela percintaan dan drama melankolis, bukan milik kita.
Setelahnya, aku hidup dengan mencoba mencintai kehilanganku atasmu*.
Walau, sesungguhnya aku sudah terlalu kebas untuk kembali membangun episode tentangmu – sebab kata-kataku sudah lenyap, aku mencarinya di pasar, supermarket, gudang, kafe dan tempat-tempat lainnya, aku tak menemukannya kecuali pada matamu yang tak lagi menyarangkan tatap padaku.
Untukmu, dari perempuan yang pernah berkata, menyelipkan namamu di antara doa-doa terbaikku.

*diambil dari salah satu lirik puisi Aan Mansyur

0 Comments:

Post a Comment