Tuesday 18 June 2024

Aku, Kamu, dan AI

Sekitar akhir April, pada Sabtu siang yang lengang, aku berkesempatan mengisi lokakarya tentang penulisan wara di sebuah institusi. Ada satu pertanyaan yang belakangan ini sering kudapati pada sesi-sesi yang kubawakan, “Mbak Vero, sekarang sudah ramai teknologi AI (kecerdasan buatan), apakah ke depannya profesi copywriter yang sedang Mbak jelaskan teori dan praktiknya akan tergantikan?”


Aku ketika mengisi lokakarya luring penulisan wara 

Peserta lainnya tampak mengamini pertanyaan itu. Buat apa belajar dasar menulis untuk industri jika ada mesin cerdas yang bisa mengerjakan keahlian tersebut? Banyak pikiran yang sudah tertebak: lebih baik waktunya dipakai meningkatkan skill lain yang lebih penting dan tak akan terganti.

Ditambah lagi, jika salah satu sektor menulis yang benar-benar komersil seperti penulisan wara bisa ‘direbut’ oleh AI, bagaimana nasib disiplin penulisan lainnya? Sebut saja novelis, cerpenis, esais dan sejenisnya yang bahkan ‘lebih babak belur’ oleh isu royalti yang sedikit, dipotong pajak pula, honor ala kadar, ditambah lagi pembajakan, hingga kurangnya daya beli masyarakat terhadap produk literasi.

Kondisi ini makin ditegaskan oleh studi Goldman Sachs (2023) yang menyampaikan bahwa AI akan menyebabkan disrupsi signifikan terhadap bursa kerja dan berdampak pada 300 juta jenis pekerjaan di dunia, salah satunya ancaman terhadap profesi penulis.

Bisa dibilang, kita yang masih ‘berani’ menekuni pekerjaan menulis adalah orang-orang yang bernyali! Kena hantam sana-sini, tapi kita masih saja tak mau pindah ke lain hati profesi. Kreativitas kita dalam mengolah kata dan cerita tak hanya bersaing dengan sesama penulis, tapi juga mesin. Rasanya seperti writer vs world. Namun, benarkah begitu?

Tak Seperti Mantan

Aku pun mengajak teman-teman peserta saat itu untuk membayangkan suatu hal sederhana.

“Bayangkan novel-novel favorit kita dari luar negeri yang diterjemahkan sehingga bisa kita nikmati bersama ceritanya, kenapa ya, penerbit harus capek-capek nyewa jasa translator padahal ada Google Translate?”

Sebab alat bantu translasi hanya menerjemahkan kata per kata, sementara seni menerjemahkan perlu menangkap nuansa, memahami makna, serta menganalisis budaya untuk kemudian menciptakan karya terjemahan yang relevan antar bahasa. Mesin, robot, dan alat bantu teknologi itu tidak membaca konteks.

Begitu juga yang pada penulisan. AI tidak mampu menangkap hal-hal imateril, ia sekadar memindai perintah sehingga hasilnya sering kali terasa kaku dan tidak pas pada tempatnya. Tulisan AI pada akhirnya membutuhkan sentuhan penulis untuk menjadikannya tidak sekadar susunan kata mati, melainkan tulisan yang berkomunikasi karena memiliki emosi. 

AI membantu kita menyusun kata, tapi penulislah yang membuatnya jadi cerita bernyawa.

“Bayangkan nasi goreng tok-tok yang kita suka pesan tengah malam dari gerobak abang-abang, kok masih aja kita keluar duit beli, padahal kita bisa bikin sendiri dengan bahan-bahan di rumah, plus banyak kok resep rahasia nasgor di YouTube yang bisa kita tiru?”

Sesederhana karena nasgor gerobakan lebih enak. Si abang penjual, ‘lebih ahli’ dalam memasak nasi goreng dengan bumbu pas, kecap rahasia, dan cara membuat yang tiada duanya. Walau punya bahan yang sama tapi jika diserahkan pada ahlinya, hasilnya berbeda. Karena yang ahli, punya taste - mana takaran tepat, mana yang tidak.

Menulis tak jauh berbeda dengan nasgor enak si abang. Kita mungkin punya bahan-bahannya, tapi hasil masakan kita tidak seenak itu. Kita mungkin punya AI, tapi hasil tulisannya tidak sebagus itu. Kita butuh si abang, chef-nya. Kita butuh penulis, ahlinya. 

Sebab AI dibentuk dari sekadar training, sementara penulis dilahirkan dari pengalaman dan kasus nyata sehari-hari.

“Bayangkan berita-berita yang biasa orang tua kita baca di koran atau e-paper langganan, masih aja ada jurnalis yang nulis berita-berita itu, kenapa gak kita aja? Wong kita modal HP aja bisa kok. Coba foto workshop kita hari ini, tulis caption ala berita, unggah di blog atau X (Twitter), kalau rame malah bisa dimonetisasi jadi duit.”

Ada etika dalam jurnalistik. Hasil karya berita para jurnalis melewati prinsip-prinsip jurnalistik yang mempertimbangkan berbagai pihak, tidak sekadar unggah dan viral. Maka itu, jurnalistik warga tidak serta-merta menggeser jurnalistik profesional.

Hal yang sama juga terjadi dengan penulis. Adanya AI writing tidak langsung ‘membuang’ profesi penulis. Karena hasil AI tidak serta-merta bisa dipakai, ia perlu penulis untuk menilai apakah tulisan tersebut cukup layak tayang atau tidak, mengevaluasi apakah informasinya sudah diperbarui atau belum, menganalisis apakah diksinya etis atau justru menyinggung.

Sensitivitas ini membuat tulisan lebih terhubung dengan audiens atau bisa dibilang personalisasi. AI menghasilkan tulisan, sementara penulis menghasilkan tulisan yang berkepribadian.

Pada akhir sesi tanya-jawab ini, kusampaikan pernyataan terakhirku pada lokakarya tersebut. “Penulis itu bukan seperti mantan, yang bisa digantikan karena sudah ada ‘sosok’ baru yang lebih oke.” Seisi kelas daring itu memberi emotikon tertawa.

Kawan Bukan Lawan

Lalu, apakah aku memusuhi AI? Aku bisa menjawabnya dengan bulat: tentu saja tidak. Kantorku saat ini tempat aku berkarya sebagai Sr. Copywriter, bahkan melanggan ChatGPT 4.0 Premium untuk kugunakan. Aku bahkan diikutikan dalam pelatihan-pelatihan pemanfaatan AI, hingga aku sendiri mengeksplorasi dan mengombinasikan berbagai AI untuk menulis komersil.

Setiap hari aku mengajak AI melakukan brainstorming ide-ide konten media sosial dan kampanye brand, membantuku mengoreksi grammatical error yang mungkin terlewat olehku, ‘memaksa’nya memberiku second opinion untuk hasil tulisanku, dan banyak lagi!

AI punya kelemahan dalam hal konteks dan emosi, aku menambal kekurangan itu. Sebagai penulis, kita bisa buntu dan tidak cepat menghasilkan ide ataupun draf awal, AI mengisi kekosongan tersebut. Dari sini terlihat peran antara AI writing dan penulis: kolaborasi.

Alih-alih menggantikan penulis, aku memandang AI sebagai alat bantu yang memperkuat keterampilanku. AI membantuku meriset, menyunting, dan menyarankan ide-ide baru sehingga aku sebagai penulis bisa punya lebih banyak waktu untuk fokus pada aspek kreatif lain.

Kolaborasiku bersama AI memungkinkanku lebih produktif dan inovatif. Aku bisa memanfaatkan AI tanpa harus kehilangan keunikan dan kreativitasku sebagai penulis dan manusia. Penulis tengah memasuki era menulis ditemani teknologi, maka kuncinya adalah adaptasi. Penulis yang menggunakan AI bisa lebih unggul daripada yang tidak.

You & A.I: love hate relationship


Sama seperti taksi biasa yang hadir kembali ke pasaran dengan mengadopsi sistem pesan daring. Sama seperti toko-toko kelontong tradisional yang terus relevan dengan membuka toko daring di e-commerce. Sama seperti ojek pangkalan yang berubah menjadi ojek berbasis platform. Sama seperti layanan logistik JNE yang tidak sekadar memanfaatkan kendaraan konvensional dalam proses antar kirim barang tapi juga menguji coba drone dan robotik.

Saatnya kita penulis juga berkawan dengan AI, memanfaatkannya untuk karier kreatif berkelanjutan di masa depan bukan untuk mematikan pekerjaan. 

Bahkan kemunculan AI justru melahirkan profesi-profesi ‘penulis baru’, yaitu prompt writer. Pekerjaan yang merancang dan menulis prompt (petunjuk atau perintah) untuk model bahasa seperti GPT-4. Tugas utama mereka adalah membuat teks atau instruksi yang akan menghasilkan respons yang diinginkan dari model bahasa, mulai dari membuat konten chatbot hingga menulis simulasi percakapan.

Adaptasi dan kolaborasi, kunci penulis memasuki era digital serba teknologi. Aku jadi ingat salah satu atasanku yang sempat berkata pada kami ketika kantorku secara masif berlangganan berbagai tools AI, “AI itu jangan dilihat sebagai artificial intelligence, tapi alternative intelligence.

AI hanyalah salah satu alternatif alat bantu untuk memproses pekerjaan kreatif, sama seperti alat bantu digital lainnya. Jadi, jangan ragu apalagi takut. Dengan semua inovasi kemudahan ini, saatnya gasss terus semangat kreativitasmu dalam menulis!

#JNE #ConnectingHappiness #JNE33Tahun #JNEContentCompetition2024 

#GasssTerusSemangatKreativitasnya

 

This entry was posted in

Sunday 12 November 2023

Langkah-langkah (Tidak Ampuh) untuk Melupakan

Sebulan belakangan, aku sedang berusaha melupakan seseorang. Dan, ini hal-hal yang kupelajari tentang hal tersebut. 

  • Saat ingin menghilangkan dia dari kepalamu, yang kamu lawan justru dirimu sendiri bukan dia. Dan, itu adalah peperangan yang sangat sulit dimenangkan. 
  • Kamu tidak bisa mengatakan pada diri sendiri 'sedang melupakan'. Tubuhmu yang berpatah hati tak mampu menerima negasi, sebaliknya, kepalamu justru melemparimu terus-terusan dengan namanya. 
  • Lagu-lagu cinta picisan mendadak terdengar seperti ucapan selamat tinggal yang diulang-ulang. 
  • Usaha kerasmu untuk menghindari tempat-tempat yang mengingatkanmu padanya, justru membuat dia muncul begitu dekat denganmu: di mimpi-mimpi paling asing, ganjil, dan liar. 
Sumber foto: Steven Lozano (Unsplash)
  • Waktu paling menyiksamu adalah ketika berada di atas ojek yang membawamu pulang kerja dan menembus bisingnya jalanan Jakarta dikelilingi barisan gedung-gedung tinggi. Rasanya begitu ramai, juga begitu sendiri. 
  • Paksakan pada dirimu bahwa hanya kamu yang punya rindu banyak, sementara dia tidak. Semoga berhasil. 
  • Hindari perjalanan jauh menggunakan kereta sore atau malam, itu akan memperburuk keadaan. Kepalamu akan sibuk sekali berandai-andai dengan segala kemungkinan. 
  • Tidak ada cara terbaik untuk melupakan, percayalah. Kita tidak akan pernah bisa melupakan seseorang kecuali kamu amnesia seperti plot cerita sinetron-sinetron. 

Kupikir yang perlu dilakukan sesederhana memahami bahwa kamu perlu hidup dengan kehilangan ini, bahwa ada bagian-bagian dalam semesta yang tak bisa kita miliki salah satunya: dia. 

This entry was posted in

Monday 30 October 2023

Aku Terlambat

Hampir tengah malam. Aku mematikan TV kamar yang masih menyala menayangkan sinetron favorit ibu, lalu duduk di pinggir kasur. Harusnya aku tidur jika tidak ingin dihantui kamu, tapi aku justru memutar Fools Garden tanpa henti. Mengulang-ulang suara gelas pecah di antara musik itu - yang selama ini kucurigai sebagai bunyi jendela kaca mobil yang hancur menabrak pohon lemon. Ini lagu yang kita nyanyikan bersama-sama sebelum tidur, ingat?

Sumber gambar: Wikimedia

Jarum panjang jam sebentar lagi merapat ke angka dua belas. Jantungku mulai berdebar - belakangan ini tubuhku yang berpatah hati memang tidak kuat begadang. Namun, aku tetap menolak lelap. Aku merogoh kotak obat dan bungkus rokok kosong dari bawah kasur, mencari sisa-sisa aromamu di sana. Itu yang masih ada di antara banyak kemeja kerjamu yang dibuang ibu - kami memang punya cara berbeda dalam menghadapi kehilanganmu. 

Malam kian larut, dan musik sudah berganti ke lagu-lagu picisan yang anehnya di telingaku terdengar seperti selamat tinggal. Aku berdiri di depan kalender. Sebentar lagi November. Sejak kamu pergi tiga tahun lalu, bulan itu selalu datang dengan segala kabar buruk. 

Bagaimana tidak? Tiga tahun lalu, aku dibangunkan pada jelang satu pagi untuk mendengar kamu tiada dan meninggalkan teka-teki di kedalamanku apakah kamu diracun di apartemen itu. 

Kusentuh angka 20, menekannya hingga kertas kalender itu koyak di tengah. Ini bukan film yang mungkin saja kamu hidup lagi. Mustahil ada seseorang dengan wajah mirip kamu yang muncul lagi besok dan berkata ini hanya lelucon. Aku tertawa dan membiarkan kedukaan memenuhi rongga dadaku hingga sesak. Aku menangis dan merayakan kepergianmu.

Tidak ada lagi deru mesin motormu di depan rumahku, atau kicau burung yang kaupelihara di teras. Kamu memang sudah tiada dan memaksaku memahami bahwa mengatakan cinta bukan sekadar saat aku sempat, weekend nanti, atau sehabis meeting ini, tapi…sekarang. Dan, aku terlambat, ayah. 

Memperingati tiga tahun ayah berpulang

Sunday 27 August 2023

Pulang ke Rumah Masing-masing

Sudah hampir sebulan, apa kabar? 

Kami berubah dari rekan akrab dalam semalam menjadi orang asing yang pura-pura tidak kenal jika bertemu di supermarket kota. 

Aku dan dia kembali di tempat masing-masing, mengurusi pekerjaan yang bisa membuat hari jadi lebih pendek sekaligus panjang. 

Sumber: Getty Images

Walau sesekali aku masih menemukan dia di mana-mana - di kursi kosong dekat dinding kaca sebuah kedai kopi, di antara harum donat yang baru ke luar dari panggangan, dari teriakan barista memanggil namaku dengan keliru, di depan etalase kue yang membuatku kebingungan memilih, dan…inilah tempat aku bertemu dengannya untuk pertama kalinya. 

Dia mengenakan hitam, yang saat ini kupikir sangat cocok untuknya. Warna yang sama dengan manik matanya - hitam, bukan coklat, apalagi biru laut. Hitam sama seperti malam, tanpa bintang, bulan, atau awan. Hanya hitam - seperti ruangan tanpa lampu tempatku menyembunyikannya rapat-rapat dan merindukannya dalam diam. 

Sudah lewat sebulan, apa kabar? Kami berubah dari teman akrab dalam sehari menjadi kenalan jauh yang punya janji temu tapi tak pernah terwujud. Aku terus mengosongkan jadwal pada tanggal-tanggal tertentu, berjaga mungkin saja dia akan mengirim pesan untuk membahas apa-apa yang belum usai. 

Namun, nama dia tetap bergeming di urutan pesan masuk paling bawah. Sementara namaku hanya pernah terlintas di surat kontrak kerja yang dia siapkan. Selebihnya hanya mimpi-mimpi janggal dan pengandaian-pengandaian tentang…

pertemuan lebih awal

kesempatan-kesempatan lebih banyak

dan 

keberanian untuk bilang 

bisa jadi, 

aku jatuh cinta

Sudah lama sekali, apa kabar?  Tidak ada jarak yang dilipat dengan kami melihat bulan yang sama. Semesta sudah terang-terangan memberi tanda bahwa aku dan dia tidak dipertemukan untuk memiliki satu sama lain. Tapi, tenang saja. Nyatanya aku baik-baik saja, kuyakin begitu juga dengan dia. 

Dia - sering kali aku menyebut namanya pelan-pelan, lirih, dingin - seperti mengucapkan selamat tinggal pada orang yang sudah berjalan jauh dan tidak menengok lagi ke belakang. 

Friday 28 July 2023

Kereta Malam dan Hal-hal yang Tidak Akan Kumiliki

Dalam sebuah perjalanan kereta jarak jauh, aku melihat lanskap gunung berganti cepat dari balik jendelaku yang kebetulan buram. Aku menyandarkan kepalaku, mengeluarkan ponsel dan memutar Banda Neira. Kini pemandangan sudah berganti hijau hamparan sawah. Tiba-tiba saja aku berpikir, rasanya seperti dia.

Sumber foto: Unsplash

Sejak dulu, aku percaya jika setiap orang hadir dengan tugas dan tujuannya masing-masing. Kamu di sampingku dan aku belajar cara mencintai. Dia dekat di sini untuk singgah dan ajarkanku cara melepas dengan utuh; tanpa setengah-setengah, tanpa ampun. Dan, karenanya, izinkanku bicara tentang dia - setidaknya untuk terakhir kalinya. 

Aku tidak pernah menemukan gambaran yang tepat untuk mendeskripsikannya. Kami hanya memiliki kurang dari tujuh hari. Tidak ada ruang, apalagi waktu, untuk berhasil. 

Semesta memaksaku memahami bahwa ada hal-hal yang tak akan jadi milikku. Dan, merawat apa yang tersisa adalah sebaik-baiknya yang bisa kulakukan, atau jika tidak, aku hanya menemui kehilangan.

Langit jingga mulai pekat. Malam sudah mampir dan aku belum juga sampai. Lalu, kupikir usaha coba-coba untuk mencintai dia seperti berjalan ke luar kamar di tengah malam.  Aku melangkah dalam diam, penuh hati-hati, khawatir menimbulkan bunyi dan membuat yang lain bangun - yang membuatmu tahu. Itu jalan yang sederhana, sebentar, tapi berbahaya. 

Beri aku satu kesempatan lagi untuk membayangkan dia sebelum aku menutup tulisan ini dan membiarkan semua yang kupunya untuk pergi. Dalam beberapa waktu, aku sering merasa dia mirip laut. Dia punya pandangan yang benar-benar teduh - sama ketika kita memandang jauh ke laut luas dan merasa tenang - sampai kupikir aku bisa berlindung di balik mata itu pada hari hujan. 

Tapi, sama seperti laut, sayang. Aku tak pernah benar-benar tahu apa yang ia simpan. Ombaknya penuh kejutan, dalamnya selalu mampu menenggelamkan. 

Menurutku, salah satu cara menikmati laut adalah diam memotretnya dalam ingatan, menyimpannya baik-baik, dan membukanya lagi ketika rindu. Itulah caraku memperlakukan sesuatu yang kusukai tapi tak mungkin kubawa pulang ke rumah. 

Perjalananku masih jauh. Apa yang ada di luar jendela sekarang sepenuhnya hitam, bintik-bintik cahaya dari lampu kota atau desa tampak seperti kunang-kunang. Kupikir ini waktunya aku mengakhiri bagian yang bahkan tidak sempat dimulai. Sebab, dia datang memang untuk kulepas sesegera mungkin, sebelum aku membunuh apa yang ada di antara kamu dan aku. 

Friday 21 July 2023

Mencari Pintu Labirin

Sayang, beberapa bulan lalu aku menemui seorang lelaki di sudut kafe. Aku dengannya duduk bersisian dengan dinding kaca, membicarakan proyek panjang yang kupikir akan melelahkan tapi dia membuatnya terasa seperti permainan baru untuk kutaklukan. 

Credit: Getty Images/iStockphoto

Dalam banyak diskusi, pandangan-pandangannya mengingatkanku padamu. Dalam berbagai pertemuan dan perjalanan intens, keputusan-keputusannya terasa seperti kamu. Entah aku rindu kamu atau memang dia akan jadi kesalahanku. 

Sayang, terlalu dini untuk bilang aku mencintainya. Bagaimana harus kugambarkan ini? Rasanya seperti ada yang bilang padamu kalau bintang malam yang kita lihat di langit sebenarnya sudah lama mati. Padahal, nyatanya tidak. Bintang yang jaraknya masih bisa kita temui dalam mata telanjang, ia masih hidup. Kita hanya meyakini hal yang sama sekali salah - kuharap seperti itu. 

Saat ini, aku menaruhnya jauh di kedalaman diriku - bagian yang tak kujangkau, jika iya pun, adalah boks yang kukunci rapat. Tersembunyi darimu, juga dari kita. Jadi, jika kamu baca tulisan ini, jangan khawatir. Dia - seharusnya -  tidak akan mengusik kamu dan aku. Sebab tiada yang tumbuh, apalagi mulai. Aku menekannya kuat-kuat. Ia kupastikan mati sejak kutahu aku punya kamu. 

Sayang, kuakui dia menghantuiku dalam beberapa lagu yang kuputar. Dia tidak ada di sini - dan tak akan pernah, tapi bayangannya ketika bicara tentang dunia, impiannya, hingga pemikiran-pemikirannya terus berputar bagai kaset musik yang rusak. Rasanya seperti mengisi kekosongan di antara pertemuan kita yang jarang dan dingin. 

Suatu waktu kamu bilang, mencintaiku adalah jebakan. Kamu menjebak diri dalam labirin yang kamu sendiri tidak tahu di mana pintu ke luarnya, tapi kamu menikmatinya sebab kamu terkunci bersamaku. Kamu sukarela hidup dalam jebakan itu. Malam ini, tiba-tiba saja aku berpikir, mungkin kamu memang benar. Hanya saja, aku khawatir sekarang aku tengah berusaha mencari pintu itu. 


Wednesday 19 July 2023

Kita dan Komidi Putar

Kita bertemu pada musim panas tujuh tahun lalu. Sejak itu, langit biru dan air hangat jadi ‘waktunya kita’. Namun, suatu hari hujan. Dinginnya diam-diam memasuki selimutku, menggelitik tengkuk, meningkahi tubuh seakan bermain-main. Ia datang bersama mendung yang penuh ragu, tapi bagiku justru terlihat seperti tebak-tebakan. Penuh petualangan.

Dan, secara rahasia ternyata aku menyukainya - hal yang tak kukatakan padamu. 


Photo by Alex Grodkiewicz


Hari ini, kamu datang dengan sekeranjang buah-buahan. Kita pergi ke tempat makan favoritku. Lalu, kubiarkan kamu memilih film untuk ditonton karena aku percaya kamu tahu apa yang kumau. Kata orang-orang, kamu memang musim panas. Kamu seperti matahari dengan agenda penuh kepastian.

Kamu adalah kebutuhan, sementara dia hanya keinginan - yang kusimpan rapat-rapat. 

Sayang, kamu pernah bilang keyakinanku ini konyol, bahwa saat Tuhan menciptakan perasaan cinta, Ia melakukannya sambil bermain dadu. Sebab jika tidak, bagaimana mungkin, aku sudah punya rumah lengkap dengan segala isinya, tapi aku memilih mencopot jendela-jendelanya dan membiarkannya terlihat ganjil dan pincang? Sekadar karena itu baru dan terasa seru. 


Akhirnya, aku mengajakmu duduk di sudut kedai. Kusampaikan ini dengan berani di hadapanmu. Menyayangimu adalah bagian paling mudah. Mencintainya ibarat bermain api - aku perlu hati-hati. Mencintainya seperti aktivitas merokok yang kamu benci. Ia merusakku dengan rapi dan tertib, aku mengetahuinya tapi kesulitan berhenti. Ia candu yang berbahaya, yang sebaiknya kujauhi sejak dini, tapi justru makin kulakoni. 


Bersamamu, aku mengarungi banyak kesempatan dan kemungkinan. Sementara bersamanya, hanya berupa pengandaian-pengandaian. Sebab dia adalah komidi putar. Menyenangkan tapi tidak ke mana-mana. Dia datang dari tempat yang sama sekali berbeda, singgah sebentar hanya sebagai ejekan semesta untuk mengujiku, apakah mencintai datang sepaket dengan kemampuan untuk bertahan? 


Kopi tinggi gula yang kamu pesan, mendadak sisa setengah dan tidak kamu seruput lagi. Ia mendingin sementara kedai memutar lagu yang tak kita sukai. Segalanya terasa mengganggu dan kita ingin sama-sama mengakhiri ini, tapi tidak tahu cara pergi satu sama lain. 


Kamu pun mencondongkan tubuh dan berbisik lirih. Kamu takut kamu telah terjebak. Aku terkekeh geli. Sementara aku takut jika kamu adalah pilihan semua orang, kecuali aku. 

Tuesday 29 November 2022

Cerita Pulih

Pandemi membuat berita kematian jadi makanan sehari-hari. Nyawa mendadak berubah menjadi angka statistik. Semua aku saksikan dari layar kaca televisi dan gulir layar ponsel setiap hari, tapi tak tebersit jika maut akan sampai juga di sini. 


Malam itu, November 2020, aku mendengar kabar berpulangnya ayah untuk selamanya. Dokter bilang henti jantung, aku tiba-tiba saja hancur. Rumah mungilku hanya tersisa aku bersama ibu sendiri. Tidak ada lagi bau tembakau ayah yang bercampur aroma kopi pahit pada pagi hari, alunan musik berbahasa Mandarin, hingga teriakan ayah bertanya mau sarapan apa hari ini. 


Hidup yang sudah tidak baik-baik saja akibat dunia yang terjangkit penyakit, kini makin terasa berat. Duka menyelimuti tiap sudut rumah, kehilangan mengoyak jiwaku habis-habisan. Ditambah lagi pandemi yang mengharuskanku berdiam tanpa ke mana-mana. Aku seperti terkurung dalam cangkang yang memintaku menghayati kesedihan. 

sumber foto: thewingedchild



Pada akhirnya, aku sering menangis tanpa alasan hanya dengan melewati jalanan yang biasa kulalui bersama ayah, melihat cangkir ayah yang kosong, kasur ayah yang mendingin, dan lainnya. Sampai suatu hari, kupikir ingin menyusul ayah di surga. Saat itulah, ibu merangkulku dan bilang, “Kamu tidak harus lari dari kesedihan, kamu menghadapinya.”


Ibu mengajakku membereskan barang-barang peninggalan ayah. Kami membongkar lemari baju, kotak obat, rak sepatu, dan lain-lain. Proses berberes itu tak pernah usai, karena setiap kali satu barang ditemukan, kami akan membahas kenangan tentang ayah. 


Lalu, perlahan kami menantang diri sendiri menjalani hal-hal yang biasanya dilakukan bersama ayah - pergi ke restoran vegetarian di kawasan kuliner Kota Tangerang, mengisi bensin, menonton olahraga, mengganti bohlam, memperbaiki motor ke bengkel, dan banyak lainnya. Aku paham ibu mencoba membuat kenangan baru tanpa ayah denganku. Beliau mencoba hadir utuh seakan bilang, ketiadaan ayah tidak membuat keluarga kami pincang. “Orang datang dan pergi, yang tersisa selayaknya saling menemani satu sama lain,” ujar ibu. 


Melihat ibu, aku pun belajar untuk bangkit. Aku menyibukkan diri dengan pekerjaan dan proyek-proyek penulisan kreatif yang kusukai hingga mulai menerima ajakan jalan bersama teman. Hari demi hari berganti, dan waktu perlahan pun menyembuhkanku.


Kini sudah dua tahun lamanya sejak ayah meninggal, aku masih terluka, tapi luka itu tak lagi sampai membunuhku. Semua berkat kekuatan dari ibu dan penghiburan dari teman, sahabat, dan rekan sekitar. Aku belajar jika kehilangan memang meninggalkan kesendirian dan kesepian, tapi ia bisa dipulihkan. Terutama dengan kebersamaan tulus dari orang-orang terdekat. 


Keluarga kecilku mungkin tak lagi lengkap pada libur lebaran ini, tapi aku sudah merasa lebih hidup seiring dengan dunia yang perlahan sembuh. Ayah mungkin tidak berada di dunia, tapi aku tak menganggapnya meninggalkanku. Beliau hanya pindah dari semesta menuju surga dan hatiku. Penerimaan ini membawaku pada kemenangan sesungguhnya - lepas dari kemelekatan, yang tersisa hanya keikhlasan. 


*Tulisan ini berhasil keluar sebagai 5 cerita pilihan Kompas dalam kompetisi 'Berbagi Kemenangan, Berbagi #CeritaPulihmu' yang bisa dibaca juga melalui tautan di sini

 

This entry was posted in

Melintasi Lorong Waktu di Sekolah

Kapan terakhir kali kita balik ke sekolah setelah lama lulus dari sana? Kalau bukan karena urusan administrasi seperti legalisir ijazah dan sejenisnya, mungkin tak akan terpikirkan untuk kembali. Aku pun demikian, bahkan sudah hampir 8 tahun lamanya aku putus kontak. Sampai pada suatu siang, sebuah panggilan dari nomor asing masuk ke ponselku. Telepon dari guru SMA-ku!

“Halo, Vero!” Suara dari seberang sana menyapaku ramah dan hangat, rasanya seperti sudah akrab begitu lama. Awalnya aku mengernyit, tapi nada berat dan tekanan di tiap akhir kata yang begitu khas, mengingatkanku hanya pada satu orang.

“Sir Andreas? Betul ‘kan?” tebakku tepat sasaran. Dugaanku benar karena tawa keras dari  balik telepon jadi jawabannya. 

“Kok Vero bisa ngenalin, sih? Hahaha, padahal sudah lama sekali,” sahutnya, sedikit terkejut. Kami pun saling bertukar kabar, walau hatiku dipenuhi satu pertanyaan: ada apa?

“Jadi gini, Vero. Sir mau minta tolong dan kamu harus bisa, nih, hehehe. Sekolah kita minggu depan ada MPLS alias Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah untuk menyambut siswa-siswi tahun ajaran baru. Guru-guru mau kamu mengisi salah satu rangkaian acaranya, Alumni Talks. Mau, ya?”

Aku ketika membawakan materi di MPLS

Aku termenung sesaat. Benakku sempat didesaki banyak pertimbangan, mulai dari kebingungan membawakan topik apa, kerepotan berkendara ke sekolah, persiapan presentasi yang memakan waktu, dan lain-lain. 

Sebelum aku sempat merespons, guruku kembali menyahut, “Boleh, ya, Vero? Kami juga kangen padamu.” 

Kalimat sederhana itu tiba-tiba membawaku kembali pada masa sekolah dulu dengan segala kenangannya: bakmi dan nasi goreng kantin, ujian dadakan yang menyebalkan, hingga bunyi bel istirahat paling ditunggu. Ingatan-ingatan itu menyadarkanku pada fakta bahwa guru-guru masih menyimpan kontakku setelah sekian lama, berhasil membuat hati kecilku menghangat.

“Hmm, jadi bagaimana, Vero?” Sahutan dari suara berat guruku membuyarkan lamunanku. Ini kesempatanku menjelajahi ulang kenangan, meresapi lagi apa yang dulu pernah manis di ingatan. Aku mengangguk tanpa sadar sambil menjawab mantap, “Ok, Sir. Aku siap buat sharing dan kembali ke sekolah.”

Itulah awal aku menginjakkan kaki lagi di SMA Perguruan Buddhi, Kota Tangerang. Lokasinya cukup unik karena bersebelahan langsung dengan TPU (Tempat Pemakaman Umum) masyarakat Tionghoa. Walau demikian, jalanan tetap ramai oleh lalu lalang kendaraan dan gerobak jajanan seperti mi ayam, liang teh, siomay, dan sejenisnya yang berjualan di bahu jalan. 

Aku tiba pukul delapan pagi, sengaja tiba setengah jam lebih awal untuk melihat-lihat sekaligus menyaksikan bagaimana sekolah tatap muka diterapkan penuh setelah protokol kesehatan COVID-19 dilonggarkan.

Senang sekali bisa berbagi di antara siswa/i SMA

Aku pun melangkah masuk melalui gerbang utama yang membawaku langsung ke halaman sekolah. Dua gedung tinggi dan luas berlantai tiga, masing-masing SMP dan SMA, saling berdiri berhadapan. Tampak anak-anak sekolah berseragam putih-kotak-kotak berlarian di lorong kelas atau sekadar duduk di pinggir lapangan dengan jajanan. 

Jika terus berjalan, masih ada gedung SD di sisi kiri dan ruang kelas komputer yang mengapit lapangan basket yang permukaannya diwarnai biru terang. Sementara sisi paling ujung akan tampak vihara kecil tempat siswa berlatih doa dan meditasi tiap pelajaran agama. Di antara itu, terdapat jalan kecil yang menghubungkan langsung ke kantin sekolah. 

Pemandangan yang sederhana, tapi terasa emosional untukku. Aku pernah tiga tahun menghabiskan momen remajaku di sini: merasakan jatuh cinta pertama kali dengan senior, memilih teman sebangku yang asyik, nongkrong sehabis pulang sekolah, hingga membuat klub jurnalistik untuk ekskul bernama Perddhita News.

Aku terkekeh kecil. Kembali lagi ke sekolah bukan saja ajang nostalgia, melainkan juga pengingat bahwa aku pernah menjadi pribadi sepolos itu. Aku bukan siapa-siapa selain seorang anak yang masih belajar dan bermimpi bisa jadi apa saja. Kebahagiaan sesederhana mendengar bunyi bel istirahat dua kali dan pengumuman jika kelas kosong karena para guru sedang rapat. 

Kini aku sudah beranjak dewasa dengan tanggung jawab di mana-mana. Aku menarik napas panjang, diam-diam aku memahami mengapa banyak orang dewasa ingin kembali menjadi anak-anak, atau setidaknya balik lagi pada masa sekolah. 

Aku berbelok memasuki gedung SMA lantai satu. Di tengah halaman kelas terdapat rupang Buddha yang cukup besar bercat emas. Dulunya tidak ada, mungkin ini termasuk pembaharuan. Aku pun lanjut berjalan memasuki kantor guru. Jejeran meja guru dari depan ke belakang dan satu ruangan khusus kepala sekolah masih tampak sama seperti dulu. Mr. Andreas, guru agamaku dulu, langsung menyambutku semringah.

“Namo Buddhaya, Sir,” sapaku mengucapkan salam dengan sikap anjali.

“Namo Buddhaya. Wah, akhirnya datang juga, Vero! Sorry ya, Ver, kelihatan sepi. Soalnya, guru-guru lagi sibuk pengenalan di acara, nanti juga rame. Tapi, tenang aja! Ada saya yang nemenin kamu ngobrol, kok,” ujarnya bersemangat sambil menyajikan segelas air mineral padaku. 

Kami mulai bercakap-cakap, saling memperbarui kabar masing-masing, terutama kondisi sekolah, kurikulum hingga murid-murid. 

“Pusing, Ver. Denger-denger memang nantinya tidak ada lagi penjurusan IPA dan IPS untuk SMA, efektifnya baru tahun depan. Jadi, kita para guru perlu catch-up terus dengan perubahannya. Sejatinya kalau bagus buat murid, pasti akan kita ikuti.”

“Menteri pendidikan ganti, kurikulum ganti juga ya, Sir? Hahaha,” candaku sebelum melanjutkan, “Tapi murid-murid sekarang kayak gimana sih, Sir? Nakal-nakal enggak? Apalagi kemarin sempat wajib belajar online gara-gara pandemi.”

“Hahaha, ya begitulah, Ver. Kalau Sir lihat sih, anak-anak sekarang tuh agak pasif. Mereka lebih senang lihat layar terus, jadi jarang main kayak zaman kamu, apalagi nulis. Tapi ya walau begitu, Sir dan guru-guru yakin mereka punya kreativitasnya masing-masing.”

Aku menyimak pandangan beliau sekaligus cerita-ceritanya tentang salah satu guru yang sudah pindah ke Jakarta, seragam sekolah yang berubah, hingga cat gedung yang diperbarui. Sepanjang itu juga, guru-guru lain mulai berdatangan dan menyapaku satu per satu. 

Mereka kebanyakan adalah guru-guru perempuanku yang berhijab. Melihatnya mengingatkanku lagi pada satu hal yang kusenangi dari sekolahku. Walaupun ia berdiri dengan basis sekolah Buddhis, tapi ia begitu terbuka dengan keberagaman kepercayaan lain. Sebab yang diutamakan dalam perekrutan profesi bukan melulu soal agama, melainkan pendidikan, karya, dan ilmu pengetahuan. 

“Duh, Miss thank you banget, ya kamu masih mau datang ke sekolah! Kita semua di sini gak nyangka, lho,” ujar Mrs. Evi, guru sosiologiku.

“Sekarang kamu kerja di mana? Tambah cantik dan berisi, ya! Dulu ‘kan kamu kurus banget, hahaha,” timpal Mrs. Ridza, guru kimiaku yang logat Bataknya sangat kental. 

“Eh, ayo ke meja Miss, kita ngobrol banyak!” ajak Mrs. Dian, guru bahasa Indonesiaku yang dulu jadi partner andalan ketika berdiskusi soal karangan fiksi.

Kupikir semuanya akan canggung, tapi sebaliknya, mereka justru menyambutku hangat bahkan terlampau ramah hingga aku merasa tidak enak hati. Apa yang kulakukan hanyalah kunjungan sederhana, tapi untuk guru dan sekolah, terasa begitu berarti. 

Di titik itu, aku belajar bahwa meluangkan waktu untuk orang-orang kesayangan, tak akan pernah sia-sia. Aku pun tersenyum. Tanpa harus berada di dalam kelas pun, guru-guruku secara tak langsung mengajarkanku tentang menghargai sebuah pertemuan.

Sharing di alumni sekolahku didampingi guruku dulu

Pertemuan setelah sekian lama tak harus bicara tentang diri sendiri, adu pencapaian, dan kompetisi siapa paling hebat, tapi seharusnya jadi ajang menuntaskan rindu dengan nyaman sekaligus memastikan kabar bahwa semuanya sehat dan baik-baik saja. Kupikir itulah makna reuni sebenarnya.

Tak terasa waktu sudah menunjukkan pukul setengah sembilan. Aku pun naik ke lantai tiga, memasuki ruang kelas yang disulap menjadi aula luas. Sebanyak 73 siswa baru bermasker, sudah duduk rapi di atas barisan bangku berbahan plywood bercat kelabu. 

Dinding kelas yang didominasi warna krem tampak bersih dari hiasan, hanya ada gantungan foto presiden dan wakil presiden, beserta papan tulis berspidol. Jendela-jendela tanpa gorden sengaja dibuka agar tidak pengap dan panas karena kelas tidak ber-AC. Ah, setiap detailnya sangat khas sekolah, rasanya seperti pulang ke rumah kedua, batinku.

Di depan kelas, sudah ada mini panggung tempat aku bisa berdiri dan menyampaikan materi. Mr. Elgus dan Mr. Arfian, kedua guruku yang kompak mengenakan batik, sudah siap di balik meja untuk mengoperasikan salindia presentasi.

Semua mata tertuju padaku. Jantungku berdetak cepat. Rasanya dag-dig-dug sekali bicara depan banyak orang. Aku melirik dua guruku yang duduk di pinggir panggung, mereka tersenyum seraya mengacungkan jempol. Masih seperti dulu, masih mendorongku maju. 

Aku pun menarik napas panjang dan meraih mic, mulai bicara tentang karier dan impian. Topik yang kubawakan hari itu adalah ‘Reach Your Dreams (On Your Own Terms)’.  

“Aku sengaja membawa tema ini untuk teman-teman siswa semua, karena memasuki bangku SMA berarti kita selangkah makin dekat dengan impian dan cita-cita. Saat berseragam putih abu-abu inilah, kita mulai berpikir tentang penjurusan, minat-bakat, kuliah hingga profesi kita di masa depan,” jelasku membuka sesi. 

Sepanjang pembahasan, aku melihat guru-guru yang tadi menyambutku di kantor, satu per satu memasuki ruang kelas. Mereka mengambil duduk di bangku paling belakang, bergabung bersama para kakak kelas yang menjadi panitia. 

Alih-alih gugup, kehadiran mereka menambah kepercayaan diriku. Sebab aku berada di sini atas kesempatan dari guru-guruku. Acara yang berlangsung satu jam itu, akhirnya ditutup dengan siswa-siswi yang antusias menceritakan cita-citanya masing-masing.

Tepuk tangan membahana di seisi kelas. Pandanganku pun menelusuri penjuru ruangan. Momen ini mengingatkanku pada kejuaraan lari estafet. Guruku adalah ‘pelatih’ di luar arena yang melatih anak-anak untuk bertanding. Ketika dirasa sudah siap, kita dilepas untuk membawa ‘tongkat’ yang diberikan ke anak lain. 

Sekarang ini, aku tengah memegang tongkat itu. Cepat atau lambat akan kuserahkan kepada siswa-siswi yang jadi juniorku. Mereka akan berdiri di tempatku suatu saat nanti, bercerita tentang impian yang diraih dan berbagai peluang yang dicoba. Mungkin juga akan bicara kegagalan sebagai pengalaman dan kesuksesan bukan melulu tujuan, serta semua hal yang didapat dan jadi bekal sejak bangku sekolah. 

Mendadak mataku berkaca-kaca. Kembali ke sekolah seperti perjalanan melintasi lorong waktu. Aku balik ke masa lalu dalam versi diriku sekarang, dan karenanya, aku sekali lagi belajar banyak. (*)


Monday 21 November 2022

Begini Caramu Meninggalkanku, Selamanya

Dua tahun yang lalu, tepat pada bulan dan hari ini, jelang pukul satu subuh, adalah malam kematianmu. Sampai saat ini, aku hampir tak pernah membicarakannya secara gamblang kepada orang-orang. Kusimpan saja jadi kenangan buruk di ruang terpojok di kepalaku, di dalam laci paling berdebu, berharap kapan-kapan ia akan hilang atau tak sengaja terbuang - tapi justru keganjilannya membuat keberadaannya terasa begitu nyata. Jadi, mari kita membincangnya kepergianmu yang tiba-tiba itu. 

 

sumber foto: 8tracks pinterest

Kamu ditemukan meninggal di kamar sebuah apartemen pinggir kota. Seperti ini kesaksian teman-temanmu padaku: pukul sepuluh kamu masih tampak segar, katanya kamu baru saja makan nasi goreng. Hampir menginjak jam sebelas, kamu ada di ruang tengah menonton teve, kalau tidak salah komedi Tukul Arwana. Tawa beratmu masih terdengar. 

 

Lalu, menuju tengah malam. Waktu mendadak melambat. Kamu bangkit dan pergi ke toilet, mengeluh sakit perut. Kamu memucat. Hanya satu permintaanmu saat itu: tolong ambilkan air hangat. Temanmu kalut karena melihatmu muntah. Cairannya berwarna, menyerupai pink muda. 

 

Akhir cerita ini seperti yang kita tahu dari ceritaku di rumah duka. Kamu dibawa ke rumah sakit, semua berjalan cepat. Dalam perjalanan itu, kamu kehilangan nyawa. Tanpa aba-aba, tidak ada selamat tinggal apalagi sampai jumpa. Kamu hilang begitu saja dari dunia, dari hidupku, dari apa-apa yang tersisa. 


Di rumah sakit, dokter bilang kamu henti jantung. Aku melihatmu ditempatkan di dekat pintu IGD: ditutupi kain putih, terbujur kaku. Aku menangis dan berteriak berharap sama seperti tokoh utama di film-film drama, bahwa ini mimpi buruk. Namun, aku melihat luka gores di betis kaki yang kamu dapatkan saat merenovasi halaman belakang rumah. Itu memang luka milikmu. Tubuh yang sudah mati dan tak lagi bangun itu, memang kamu. 


Tidak salah lagi, kamu tak akan bangun lagi dan membiarkanku aku hanya menemuimu di dalam mimpi, imaji, dan kalau kata orang: kedalaman hati. Hanya saja, kuakui, sudah dua tahun aku masih egois. Tak cukup memilikimu hanya dalam hatiku, aku ingin kamu kembali ke rumah dan bilang ini hanya lelucon, bahwa Tuhan sesekali suka bercanda. 

 

Harapan itu masih sering ada, walau tiap hari kian meredup, aku tetap menjaganya. Membayangkan kamu mungkin hanya sedang bersembunyi di luar kota - kabur dari kejaran mafia, atau kamu hanya pergi jauh ke kota asing untuk waktu lama - tak apa asal pasti kembali akan kutunggu. Meski ibu bilang aku mengada-ada. Meski orang-orang bilang aku gila. Tapi untukku yang sudah memelihara harapan ini dua tahun, kupikir aku hanya rindu.

 

November 21, 2022. 

Mengenang dua tahun papa pindah ke surga.

Ditulis sambil mendengarkan 'Weird Goodbye' by The National ft. Bon Iver