Tuesday, 29 November 2022

Cerita Pulih

Pandemi membuat berita kematian jadi makanan sehari-hari. Nyawa mendadak berubah menjadi angka statistik. Semua aku saksikan dari layar kaca televisi dan gulir layar ponsel setiap hari, tapi tak tebersit jika maut akan sampai juga di sini. 


Malam itu, November 2020, aku mendengar kabar berpulangnya ayah untuk selamanya. Dokter bilang henti jantung, aku tiba-tiba saja hancur. Rumah mungilku hanya tersisa aku bersama ibu sendiri. Tidak ada lagi bau tembakau ayah yang bercampur aroma kopi pahit pada pagi hari, alunan musik berbahasa Mandarin, hingga teriakan ayah bertanya mau sarapan apa hari ini. 


Hidup yang sudah tidak baik-baik saja akibat dunia yang terjangkit penyakit, kini makin terasa berat. Duka menyelimuti tiap sudut rumah, kehilangan mengoyak jiwaku habis-habisan. Ditambah lagi pandemi yang mengharuskanku berdiam tanpa ke mana-mana. Aku seperti terkurung dalam cangkang yang memintaku menghayati kesedihan. 

sumber foto: thewingedchild



Pada akhirnya, aku sering menangis tanpa alasan hanya dengan melewati jalanan yang biasa kulalui bersama ayah, melihat cangkir ayah yang kosong, kasur ayah yang mendingin, dan lainnya. Sampai suatu hari, kupikir ingin menyusul ayah di surga. Saat itulah, ibu merangkulku dan bilang, “Kamu tidak harus lari dari kesedihan, kamu menghadapinya.”


Ibu mengajakku membereskan barang-barang peninggalan ayah. Kami membongkar lemari baju, kotak obat, rak sepatu, dan lain-lain. Proses berberes itu tak pernah usai, karena setiap kali satu barang ditemukan, kami akan membahas kenangan tentang ayah. 


Lalu, perlahan kami menantang diri sendiri menjalani hal-hal yang biasanya dilakukan bersama ayah - pergi ke restoran vegetarian di kawasan kuliner Kota Tangerang, mengisi bensin, menonton olahraga, mengganti bohlam, memperbaiki motor ke bengkel, dan banyak lainnya. Aku paham ibu mencoba membuat kenangan baru tanpa ayah denganku. Beliau mencoba hadir utuh seakan bilang, ketiadaan ayah tidak membuat keluarga kami pincang. “Orang datang dan pergi, yang tersisa selayaknya saling menemani satu sama lain,” ujar ibu. 


Melihat ibu, aku pun belajar untuk bangkit. Aku menyibukkan diri dengan pekerjaan dan proyek-proyek penulisan kreatif yang kusukai hingga mulai menerima ajakan jalan bersama teman. Hari demi hari berganti, dan waktu perlahan pun menyembuhkanku.


Kini sudah dua tahun lamanya sejak ayah meninggal, aku masih terluka, tapi luka itu tak lagi sampai membunuhku. Semua berkat kekuatan dari ibu dan penghiburan dari teman, sahabat, dan rekan sekitar. Aku belajar jika kehilangan memang meninggalkan kesendirian dan kesepian, tapi ia bisa dipulihkan. Terutama dengan kebersamaan tulus dari orang-orang terdekat. 


Keluarga kecilku mungkin tak lagi lengkap pada libur lebaran ini, tapi aku sudah merasa lebih hidup seiring dengan dunia yang perlahan sembuh. Ayah mungkin tidak berada di dunia, tapi aku tak menganggapnya meninggalkanku. Beliau hanya pindah dari semesta menuju surga dan hatiku. Penerimaan ini membawaku pada kemenangan sesungguhnya - lepas dari kemelekatan, yang tersisa hanya keikhlasan. 


*Tulisan ini berhasil keluar sebagai 5 cerita pilihan Kompas dalam kompetisi 'Berbagi Kemenangan, Berbagi #CeritaPulihmu' yang bisa dibaca juga melalui tautan di sini

 

This entry was posted in

Melintasi Lorong Waktu di Sekolah

Kapan terakhir kali kita balik ke sekolah setelah lama lulus dari sana? Kalau bukan karena urusan administrasi seperti legalisir ijazah dan sejenisnya, mungkin tak akan terpikirkan untuk kembali. Aku pun demikian, bahkan sudah hampir 8 tahun lamanya aku putus kontak. Sampai pada suatu siang, sebuah panggilan dari nomor asing masuk ke ponselku. Telepon dari guru SMA-ku!

“Halo, Vero!” Suara dari seberang sana menyapaku ramah dan hangat, rasanya seperti sudah akrab begitu lama. Awalnya aku mengernyit, tapi nada berat dan tekanan di tiap akhir kata yang begitu khas, mengingatkanku hanya pada satu orang.

“Sir Andreas? Betul ‘kan?” tebakku tepat sasaran. Dugaanku benar karena tawa keras dari  balik telepon jadi jawabannya. 

“Kok Vero bisa ngenalin, sih? Hahaha, padahal sudah lama sekali,” sahutnya, sedikit terkejut. Kami pun saling bertukar kabar, walau hatiku dipenuhi satu pertanyaan: ada apa?

“Jadi gini, Vero. Sir mau minta tolong dan kamu harus bisa, nih, hehehe. Sekolah kita minggu depan ada MPLS alias Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah untuk menyambut siswa-siswi tahun ajaran baru. Guru-guru mau kamu mengisi salah satu rangkaian acaranya, Alumni Talks. Mau, ya?”

Aku ketika membawakan materi di MPLS

Aku termenung sesaat. Benakku sempat didesaki banyak pertimbangan, mulai dari kebingungan membawakan topik apa, kerepotan berkendara ke sekolah, persiapan presentasi yang memakan waktu, dan lain-lain. 

Sebelum aku sempat merespons, guruku kembali menyahut, “Boleh, ya, Vero? Kami juga kangen padamu.” 

Kalimat sederhana itu tiba-tiba membawaku kembali pada masa sekolah dulu dengan segala kenangannya: bakmi dan nasi goreng kantin, ujian dadakan yang menyebalkan, hingga bunyi bel istirahat paling ditunggu. Ingatan-ingatan itu menyadarkanku pada fakta bahwa guru-guru masih menyimpan kontakku setelah sekian lama, berhasil membuat hati kecilku menghangat.

“Hmm, jadi bagaimana, Vero?” Sahutan dari suara berat guruku membuyarkan lamunanku. Ini kesempatanku menjelajahi ulang kenangan, meresapi lagi apa yang dulu pernah manis di ingatan. Aku mengangguk tanpa sadar sambil menjawab mantap, “Ok, Sir. Aku siap buat sharing dan kembali ke sekolah.”

Itulah awal aku menginjakkan kaki lagi di SMA Perguruan Buddhi, Kota Tangerang. Lokasinya cukup unik karena bersebelahan langsung dengan TPU (Tempat Pemakaman Umum) masyarakat Tionghoa. Walau demikian, jalanan tetap ramai oleh lalu lalang kendaraan dan gerobak jajanan seperti mi ayam, liang teh, siomay, dan sejenisnya yang berjualan di bahu jalan. 

Aku tiba pukul delapan pagi, sengaja tiba setengah jam lebih awal untuk melihat-lihat sekaligus menyaksikan bagaimana sekolah tatap muka diterapkan penuh setelah protokol kesehatan COVID-19 dilonggarkan.

Senang sekali bisa berbagi di antara siswa/i SMA

Aku pun melangkah masuk melalui gerbang utama yang membawaku langsung ke halaman sekolah. Dua gedung tinggi dan luas berlantai tiga, masing-masing SMP dan SMA, saling berdiri berhadapan. Tampak anak-anak sekolah berseragam putih-kotak-kotak berlarian di lorong kelas atau sekadar duduk di pinggir lapangan dengan jajanan. 

Jika terus berjalan, masih ada gedung SD di sisi kiri dan ruang kelas komputer yang mengapit lapangan basket yang permukaannya diwarnai biru terang. Sementara sisi paling ujung akan tampak vihara kecil tempat siswa berlatih doa dan meditasi tiap pelajaran agama. Di antara itu, terdapat jalan kecil yang menghubungkan langsung ke kantin sekolah. 

Pemandangan yang sederhana, tapi terasa emosional untukku. Aku pernah tiga tahun menghabiskan momen remajaku di sini: merasakan jatuh cinta pertama kali dengan senior, memilih teman sebangku yang asyik, nongkrong sehabis pulang sekolah, hingga membuat klub jurnalistik untuk ekskul bernama Perddhita News.

Aku terkekeh kecil. Kembali lagi ke sekolah bukan saja ajang nostalgia, melainkan juga pengingat bahwa aku pernah menjadi pribadi sepolos itu. Aku bukan siapa-siapa selain seorang anak yang masih belajar dan bermimpi bisa jadi apa saja. Kebahagiaan sesederhana mendengar bunyi bel istirahat dua kali dan pengumuman jika kelas kosong karena para guru sedang rapat. 

Kini aku sudah beranjak dewasa dengan tanggung jawab di mana-mana. Aku menarik napas panjang, diam-diam aku memahami mengapa banyak orang dewasa ingin kembali menjadi anak-anak, atau setidaknya balik lagi pada masa sekolah. 

Aku berbelok memasuki gedung SMA lantai satu. Di tengah halaman kelas terdapat rupang Buddha yang cukup besar bercat emas. Dulunya tidak ada, mungkin ini termasuk pembaharuan. Aku pun lanjut berjalan memasuki kantor guru. Jejeran meja guru dari depan ke belakang dan satu ruangan khusus kepala sekolah masih tampak sama seperti dulu. Mr. Andreas, guru agamaku dulu, langsung menyambutku semringah.

“Namo Buddhaya, Sir,” sapaku mengucapkan salam dengan sikap anjali.

“Namo Buddhaya. Wah, akhirnya datang juga, Vero! Sorry ya, Ver, kelihatan sepi. Soalnya, guru-guru lagi sibuk pengenalan di acara, nanti juga rame. Tapi, tenang aja! Ada saya yang nemenin kamu ngobrol, kok,” ujarnya bersemangat sambil menyajikan segelas air mineral padaku. 

Kami mulai bercakap-cakap, saling memperbarui kabar masing-masing, terutama kondisi sekolah, kurikulum hingga murid-murid. 

“Pusing, Ver. Denger-denger memang nantinya tidak ada lagi penjurusan IPA dan IPS untuk SMA, efektifnya baru tahun depan. Jadi, kita para guru perlu catch-up terus dengan perubahannya. Sejatinya kalau bagus buat murid, pasti akan kita ikuti.”

“Menteri pendidikan ganti, kurikulum ganti juga ya, Sir? Hahaha,” candaku sebelum melanjutkan, “Tapi murid-murid sekarang kayak gimana sih, Sir? Nakal-nakal enggak? Apalagi kemarin sempat wajib belajar online gara-gara pandemi.”

“Hahaha, ya begitulah, Ver. Kalau Sir lihat sih, anak-anak sekarang tuh agak pasif. Mereka lebih senang lihat layar terus, jadi jarang main kayak zaman kamu, apalagi nulis. Tapi ya walau begitu, Sir dan guru-guru yakin mereka punya kreativitasnya masing-masing.”

Aku menyimak pandangan beliau sekaligus cerita-ceritanya tentang salah satu guru yang sudah pindah ke Jakarta, seragam sekolah yang berubah, hingga cat gedung yang diperbarui. Sepanjang itu juga, guru-guru lain mulai berdatangan dan menyapaku satu per satu. 

Mereka kebanyakan adalah guru-guru perempuanku yang berhijab. Melihatnya mengingatkanku lagi pada satu hal yang kusenangi dari sekolahku. Walaupun ia berdiri dengan basis sekolah Buddhis, tapi ia begitu terbuka dengan keberagaman kepercayaan lain. Sebab yang diutamakan dalam perekrutan profesi bukan melulu soal agama, melainkan pendidikan, karya, dan ilmu pengetahuan. 

“Duh, Miss thank you banget, ya kamu masih mau datang ke sekolah! Kita semua di sini gak nyangka, lho,” ujar Mrs. Evi, guru sosiologiku.

“Sekarang kamu kerja di mana? Tambah cantik dan berisi, ya! Dulu ‘kan kamu kurus banget, hahaha,” timpal Mrs. Ridza, guru kimiaku yang logat Bataknya sangat kental. 

“Eh, ayo ke meja Miss, kita ngobrol banyak!” ajak Mrs. Dian, guru bahasa Indonesiaku yang dulu jadi partner andalan ketika berdiskusi soal karangan fiksi.

Kupikir semuanya akan canggung, tapi sebaliknya, mereka justru menyambutku hangat bahkan terlampau ramah hingga aku merasa tidak enak hati. Apa yang kulakukan hanyalah kunjungan sederhana, tapi untuk guru dan sekolah, terasa begitu berarti. 

Di titik itu, aku belajar bahwa meluangkan waktu untuk orang-orang kesayangan, tak akan pernah sia-sia. Aku pun tersenyum. Tanpa harus berada di dalam kelas pun, guru-guruku secara tak langsung mengajarkanku tentang menghargai sebuah pertemuan.

Sharing di alumni sekolahku didampingi guruku dulu

Pertemuan setelah sekian lama tak harus bicara tentang diri sendiri, adu pencapaian, dan kompetisi siapa paling hebat, tapi seharusnya jadi ajang menuntaskan rindu dengan nyaman sekaligus memastikan kabar bahwa semuanya sehat dan baik-baik saja. Kupikir itulah makna reuni sebenarnya.

Tak terasa waktu sudah menunjukkan pukul setengah sembilan. Aku pun naik ke lantai tiga, memasuki ruang kelas yang disulap menjadi aula luas. Sebanyak 73 siswa baru bermasker, sudah duduk rapi di atas barisan bangku berbahan plywood bercat kelabu. 

Dinding kelas yang didominasi warna krem tampak bersih dari hiasan, hanya ada gantungan foto presiden dan wakil presiden, beserta papan tulis berspidol. Jendela-jendela tanpa gorden sengaja dibuka agar tidak pengap dan panas karena kelas tidak ber-AC. Ah, setiap detailnya sangat khas sekolah, rasanya seperti pulang ke rumah kedua, batinku.

Di depan kelas, sudah ada mini panggung tempat aku bisa berdiri dan menyampaikan materi. Mr. Elgus dan Mr. Arfian, kedua guruku yang kompak mengenakan batik, sudah siap di balik meja untuk mengoperasikan salindia presentasi.

Semua mata tertuju padaku. Jantungku berdetak cepat. Rasanya dag-dig-dug sekali bicara depan banyak orang. Aku melirik dua guruku yang duduk di pinggir panggung, mereka tersenyum seraya mengacungkan jempol. Masih seperti dulu, masih mendorongku maju. 

Aku pun menarik napas panjang dan meraih mic, mulai bicara tentang karier dan impian. Topik yang kubawakan hari itu adalah ‘Reach Your Dreams (On Your Own Terms)’.  

“Aku sengaja membawa tema ini untuk teman-teman siswa semua, karena memasuki bangku SMA berarti kita selangkah makin dekat dengan impian dan cita-cita. Saat berseragam putih abu-abu inilah, kita mulai berpikir tentang penjurusan, minat-bakat, kuliah hingga profesi kita di masa depan,” jelasku membuka sesi. 

Sepanjang pembahasan, aku melihat guru-guru yang tadi menyambutku di kantor, satu per satu memasuki ruang kelas. Mereka mengambil duduk di bangku paling belakang, bergabung bersama para kakak kelas yang menjadi panitia. 

Alih-alih gugup, kehadiran mereka menambah kepercayaan diriku. Sebab aku berada di sini atas kesempatan dari guru-guruku. Acara yang berlangsung satu jam itu, akhirnya ditutup dengan siswa-siswi yang antusias menceritakan cita-citanya masing-masing.

Tepuk tangan membahana di seisi kelas. Pandanganku pun menelusuri penjuru ruangan. Momen ini mengingatkanku pada kejuaraan lari estafet. Guruku adalah ‘pelatih’ di luar arena yang melatih anak-anak untuk bertanding. Ketika dirasa sudah siap, kita dilepas untuk membawa ‘tongkat’ yang diberikan ke anak lain. 

Sekarang ini, aku tengah memegang tongkat itu. Cepat atau lambat akan kuserahkan kepada siswa-siswi yang jadi juniorku. Mereka akan berdiri di tempatku suatu saat nanti, bercerita tentang impian yang diraih dan berbagai peluang yang dicoba. Mungkin juga akan bicara kegagalan sebagai pengalaman dan kesuksesan bukan melulu tujuan, serta semua hal yang didapat dan jadi bekal sejak bangku sekolah. 

Mendadak mataku berkaca-kaca. Kembali ke sekolah seperti perjalanan melintasi lorong waktu. Aku balik ke masa lalu dalam versi diriku sekarang, dan karenanya, aku sekali lagi belajar banyak. (*)


Monday, 21 November 2022

Begini Caramu Meninggalkanku, Selamanya

Dua tahun yang lalu, tepat pada bulan dan hari ini, jelang pukul satu subuh, adalah malam kematianmu. Sampai saat ini, aku hampir tak pernah membicarakannya secara gamblang kepada orang-orang. Kusimpan saja jadi kenangan buruk di ruang terpojok di kepalaku, di dalam laci paling berdebu, berharap kapan-kapan ia akan hilang atau tak sengaja terbuang - tapi justru keganjilannya membuat keberadaannya terasa begitu nyata. Jadi, mari kita membincangnya kepergianmu yang tiba-tiba itu. 

 

sumber foto: 8tracks pinterest

Kamu ditemukan meninggal di kamar sebuah apartemen pinggir kota. Seperti ini kesaksian teman-temanmu padaku: pukul sepuluh kamu masih tampak segar, katanya kamu baru saja makan nasi goreng. Hampir menginjak jam sebelas, kamu ada di ruang tengah menonton teve, kalau tidak salah komedi Tukul Arwana. Tawa beratmu masih terdengar. 

 

Lalu, menuju tengah malam. Waktu mendadak melambat. Kamu bangkit dan pergi ke toilet, mengeluh sakit perut. Kamu memucat. Hanya satu permintaanmu saat itu: tolong ambilkan air hangat. Temanmu kalut karena melihatmu muntah. Cairannya berwarna, menyerupai pink muda. 

 

Akhir cerita ini seperti yang kita tahu dari ceritaku di rumah duka. Kamu dibawa ke rumah sakit, semua berjalan cepat. Dalam perjalanan itu, kamu kehilangan nyawa. Tanpa aba-aba, tidak ada selamat tinggal apalagi sampai jumpa. Kamu hilang begitu saja dari dunia, dari hidupku, dari apa-apa yang tersisa. 


Di rumah sakit, dokter bilang kamu henti jantung. Aku melihatmu ditempatkan di dekat pintu IGD: ditutupi kain putih, terbujur kaku. Aku menangis dan berteriak berharap sama seperti tokoh utama di film-film drama, bahwa ini mimpi buruk. Namun, aku melihat luka gores di betis kaki yang kamu dapatkan saat merenovasi halaman belakang rumah. Itu memang luka milikmu. Tubuh yang sudah mati dan tak lagi bangun itu, memang kamu. 


Tidak salah lagi, kamu tak akan bangun lagi dan membiarkanku aku hanya menemuimu di dalam mimpi, imaji, dan kalau kata orang: kedalaman hati. Hanya saja, kuakui, sudah dua tahun aku masih egois. Tak cukup memilikimu hanya dalam hatiku, aku ingin kamu kembali ke rumah dan bilang ini hanya lelucon, bahwa Tuhan sesekali suka bercanda. 

 

Harapan itu masih sering ada, walau tiap hari kian meredup, aku tetap menjaganya. Membayangkan kamu mungkin hanya sedang bersembunyi di luar kota - kabur dari kejaran mafia, atau kamu hanya pergi jauh ke kota asing untuk waktu lama - tak apa asal pasti kembali akan kutunggu. Meski ibu bilang aku mengada-ada. Meski orang-orang bilang aku gila. Tapi untukku yang sudah memelihara harapan ini dua tahun, kupikir aku hanya rindu.

 

November 21, 2022. 

Mengenang dua tahun papa pindah ke surga.

Ditulis sambil mendengarkan 'Weird Goodbye' by The National ft. Bon Iver


Thursday, 31 March 2022

Kepergianmu Melukaiku, Sungguh-sungguh

Sejak kamu pergi, aku menyimpan daftar pertanyaan yang dulunya tak pernah benar-benar kupikirkan. Jika saja kamu sempat menjawabnya atau aku tahu lebih dulu, mungkin akhir ceritanya akan sama sekali berbeda. Sayangnya, semesta hanya bisa beri pertanda dan aku tak pernah sepeka itu menangkapnya.

Mungkinkah kamu tahu jika Sabtu malam itu, kita tak akan lagi bertemu? Tapi, kamu masih menyiapkan ikan-ikan peliharaanmu untuk dipamerkan hari Minggu. Kamu masih sempat bertanya apakah aku mengambil cuti akhir tahun. Semua berjalan seperti biasa seakan kita punya hari esok.

Bagaimana perasaanmu ketika tahu kepergianmu hari itu adalah selamanya? Kamu sering mengajakku berandai jika kamu tiada dalam canda. Tanpa tahu semua itu ternyata begitu dekat adanya. 

Sudah selama ini, apa kamu masih ingat aku? Kita tak akan lagi bertemu untuk sekian waktu tersisa yang kupunya. Tiada lagi akhir pekan menonton film maraton, berburu voucher makan, dan melakukan hal-hal bodoh. 

Sumber foto: Judith

Orang-orang bilang padaku untuk berhenti bertanya. Aku didesak untuk menjawab kepergianmu dengan keikhlasan dan keberanian melepas. Mereka bilang kamu sudah  bahagia di taman surga, bebas di nirwana, tenang di rumah Tuhan. Tapi jauh di kedalamanku hanya satu yang kupahami: kamu sudah tiada dan aku kehilanganmu.  

Katanya, waktu akan menyembuhkan. Aku yang dulu menangis, pasti akan berhenti. Namun tak ada yang tahu kalau kesedihan bisa mengeras dan membatu di dalam dadaku. Aku bukan baik-baik saja seiring waktu, melainkan belajar bertahan hidup dengan segala keganjilan baru tanpamu.  

Sebab, kepergianmu; melukaiku, sungguh-sungguh. 

 Menuju dua tahun tanpa papa 

Tangerang, 31 Maret 2022, 15.09 pm

Kamu Tak Akan Pulang Lagi

Siang itu, aku mendengar klakson motor hitam kesayanganmu dari balik pagar rumah. Aku bangkit dari kamar, bergegas keluar. Untuk sesaat, kupikir itu kamu - baru kembali dari membeli nasi padang sepuluh ribu. Namun, harapan kecilku sirna terlalu cepat. 

Nyatanya itu adalah ibu, yang baru saja pulang dari bengkel sehabis memperbaiki motor favoritmu yang rusak karena menahun tak pernah dipakai lagi. Rasanya dadaku mendadak sesak. 

Bayangan tentang aku bangun tiap pagi dan melihat kamarmu kosong, kasurmu mendingin, sofamu lenyap, baju-bajumu terbakar, hingga kamu yang sudah jadi abu, mendesakku hingga kehabisan napas.
Sudah dua tahun kamu tidak pulang dan segalanya terasa pincang.
Kamu pergi dan setiap hari aku tak pernah berpikir kamu sudah mati. Mungkin kamu sedang berada di kota asing bersama seorang kawan, menginap di rumah kerabat jauh, berobat ke luar negeri, dan lain-lainnya yang mengharuskanmu pergi lama dan menghadapi hari-hari panjang - tapi suatu waktu akan kembali.
Sumber foto: Herway

Maka itu, rumah tempatmu pulang nanti tak banyak berubah. Pintu rumah kita masih berupa kayu tua yang catnya sudah mengelupas di mana-mana. Langit-langit yang bocor di sana-sini tetap ada. Kalender kita masih dua. Kucing-kucing liar sekitaran kompleks tetap sering datang jelang sore. Tukang cingcongfan juga masih berkeliling menjajakan makanannya tiap petang. Tetangga seberang masih membuka pagarnya tiap pukul sembilan malam. Semua masih sama - termasuk aku dan ibu, yang diam-diam menunggumu pulang.

Klakson kembali berbunyi. Lamunanku lesap. Aku melangkah untuk membuka pagar rumah. Ibu membawa masuk motormu. 

Sekali lagi aku menengok ke ujung kompleks, mungkin saja kamu tertinggal. Tapi yang kudapati hanya derik serangga dan deru mesin kendaraan yang berlalu-lalang. Saat itu aku tahu, aku dipaksa semesta menerima bahwa kamu sudah lama tiada. Tak akan pulang. 

Menuju dua tahun tanpa papa
Tangerang, 31 Maret 2022, 11.01 am

Saturday, 8 January 2022

Kenapa Sih Harus Peduli Sama Hewan?

Belakangan ini, kamu sering dapat berita soal penyiksaan dan penganiayaan hewan, gak? Kalau aku, iya. Sekalinya buka media sosial, pasti dengan mudah nemu konten-konten viral yang tidak ramah satwa baik disengaja maupun tidak. Mulai dari kucing yang diinjak kepalanya, anjing yang dipukul oleh majikannya, monyet yang dipaksa minum arak, gajah yang terkena jerat, dan lainnya. 

Rasanya berita-berita itu tidak berhenti dan terus datang bertubi-tubi. Seakan hewan tak punya perasaan, atau lebih parah, dianggap bukan makhluk hidup. Padahal, peduli akan kesejahteraan satwa adalah salah satu bentuk kecintaan terhadap lingkungan.

Penyelamatan alam tak melulu soal pengelolaan sampah dan penghijauan sekitar, tapi juga bagaimana kita hidup harmoni dengan Bumi beserta isinya, yang mana salah satunya adalah para satwa. Lalu, apa yang bisa kita lakukan?

Mulai dari yang paling dekat

Pada suatu talkshow yang mengulas salah satu buku nonfiksi “Paw Stories” (Elex Media, 2020) yang kuluncurkan, pernah ada peserta yang bertanya, “Kenapa buku ini hanya membahas kepedulian terhadap satwa domestik? Apakah satwa-satwa lainnya tidak penting?”

Buatku ini pertanyaan yang sangat menarik. Kala itu, kujawab jika aksi kepedulian terhadap satwa baru bisa ditumbuhkan lebih jauh dan luas andai kita semua sudah cukup peka terlebih dulu dengan satwa yang paling dekat dan akrab dengan kita, anjing dan kucing. 

Kedua satwa domestik yang bisa kuasumsikan “paling banyak dibela dan disayang” saja masih sering ditemukan tindak kekerasan terhadap mereka, bagaimana dengan satwa yang lebih jauh dan bahkan belum pernah kita temui?

Jadi, coba mulai bergerak dan berbuat baik terhadap satwa domestik, itu hal paling mudah yang bisa langsung kita lakukan karena mereka bisa kita temui bahkan di depan rumah. 

Tak harus materi

Tindakan kepedulian yang dimulai terhadap satwa domestik tak melulu harus berbentuk materi seperti uang. Ada banyak aksi sederhana yang kelihatannya kecil untuk kita, tapi sangat berarti untuk mereka, para satwa. Kamu bisa…

Ini potret sehabis streetfeeding depan rumah

  • Streetfeeding, berbagi makanan dan minuman layak bagi kucing dan anjing telantar di jalanan. Sisihkan uang jajan untuk beli dogfood/catfood yang seharga kopi kekinian atau bobamu. Kalau memang masih belum bisa, bagi lauk makan siang kita untuk mereka juga bisa, lho! Kalau aku, suka banget ngelakuin ini!
  • Adopter dan foster parents, buat kamu yang punya lahan lebih di rumah dan ramah satwa, bisa banget adopsi kucing atau anjing dari rumah singgah (animal shelter). Biasanya prosesnya gratis asal lolos skrining, bahkan anjing atau kucing adopsi ini sering kali sudah melalui proses steril maupun vaksin, lho.
  • Relawan, coba cari akun rumah singgah yang lagi butuh bantuan, baik itu dalam proses rescue atau pun bantu bersih-bersih di tempat penampungan mereka. Kamu sudah berkontribusi banyak lewat waktu dan tenagamu. 

Oke, sampai di sini masih ngerasa belum sanggup? Kamu masih boleh coba dengan…

  • Jangan ngebut di jalan, apalagi di kompleks perumahan! Biasanya banyak anjing atau kucing yang nyeberang.
  • Taruh wadah berisi air minum bersih di depan rumah. Cuaca panas bikin anjing atau kucing jalanan bingung cari minum di mana. 
  • Ajak anjing atau kucing telantar untuk neduh di rumah kita saat lagi hujan. 
  • Menandatangani petisi terkait perlindungan satwa, seperti stop perdagangan daging anjing, dan sejenisnya.
  • Bantu mengangkat anjing/kucing kecil di tengah jalan ke tempat lebih aman agar mereka tak terlindas.
  • Sisihkan uang jajan per hari yang dikit-dikit jadi bukit untuk donasi ke rumah singgah terdekat di kota.

Gampang kan? Semua gak harus pakai materi, asalkan kita punya hati untuk peduli. Kalau kamu punya cara lain, boleh banget bikin jurnal kebaikan satwa untuk dilakukan sehari-hari. Setelahnya, jangan lupa untuk share ke media sosial biar lebih banyak yang terinspirasi dan ikut tergerak!

Aku percaya, kebaikan juga perlu disuarakan. Bukan untuk pamer, melainkan merayakan indahnya kepedulian. Kayak aku gini, yang cerita soal ini dan diikutkan ke kampanye kebaikan dari Campaign.com

Setiap aksi kebaikan kita baik itu untuk lingkungan, sosial, komunitas, maupun organisasi kita, lalu share di Aplikasi Campaign #ForChange. Itu berarti kita udah ikut berdonasi Rp10.000 dari Campaign.com untuk bantu korban terdampak Semeru. Jadi, uluran tangan kebaikan ini tak berhenti. Siap untuk ikutan juga? Yuk, join sekarang karena Semua Bisa Jadi Changemaker!

Aku juga udah ikutan, lho! 😁



Thursday, 9 December 2021

Kesedihan yang Berserakan di Sepanjang Jalan

Aku berjalan menembus padatnya lalu lalang orang pada jam pulang kerja di stasiun. Nyaring klakson kereta yang memekakkan telinga menambah lengkap kebisingan kota selepas petang. Notifikasi pesan di ponselku menunjukkan driver ojek yang kupesan sudah hampir sampai, spontan aku mempercepat langkah.
Kakiku berhenti di depan toko baju yang begitu terang dan berisik. Salah seorang pramuniaganya sedang berteriak heboh dengan mic demi mempromosikan pakaian-pakaian diskon akhir tahun. Tiap ada keluarga yang lewat, suaranya kian kencang berseru. 

Rasanya sangat kontras dengan ruang di benakku yang begitu sepi.

Sekitar setahun lalu, di sini adalah tempat aku menunggumu datang menjemput. Sesekali pukul tujuh tepat atau setengah delapan malam. Kamu sudah tiba terlebih dulu dan mengekori pandanganmu pada langkahku menuruni jalan stasiun. Lalu, begitu sampai di depan toko, kamu akan memberi tanda dengan klakson dua-tiga kali untuk memberitahu kehadiranmu. 

Potret Jalanan di antara Ria Busana dan Stasiun Tangerang


Bunyi klakson mendadak terdengar. Dua kali. Tiga kali. Empat kali. Aku terjaga dari lamunanku. Kupikir ada keajaiban bahwa itu dari kamu - dengan jaket biru dan topi kelabu di atas motor. Namun, yang kudapati hanyalah jalanan yang sedang macet dan ketidaksabaran di mana-mana. 


Aku pun menyelip pandang di antara kendaraan yang melaju tersendat-sendat. Samar di antara celah itu, aku menemukan bayanganmu: turun dari motor karena lelah menunggu, lalu berdiri di belakang angkutan umum seraya berdiri melipat tangan, beberapa menit kemudian mengambil batang rokok sembari bermain Facebook, seakan tidak terjadi apa-apa.

 

Sementara aku dengan bodohnya menyeberangi kemacetan dengan langkah berat, berusaha menggapai sosokmu yang walau bayangan, buatku tak apa. Asal aku bisa menemuimu, mengobrol denganmu seperti dulu, sekadar untuk bilang hal yang mungkin sudah begitu terlambat: aku sayang kamu, Papa. Selalu dan akan selamanya begitu. 

 

Namun, sesampaiku di seberang yang ada hanyalah bayangan hitam mobil angkutan yang supirnya marah-marah karena aku menghalanginya memutar kendaraan. Aku menepi dan menemukan driver ojek yang masam karena mencari-cariku ke mana-mana. 

Aku pulang dengan perasaan rindu yang membatu di dada dan kesedihan yang berserakan di sepanjang jalan ke rumah. 

 Tangerang, 9 Desember 2021, 14.52 PM

Sunday, 5 December 2021

Semua (Tidak) Baik-baik Saja

Apa yang kupunya pada pukul setengah dua belas malam? Dengkuran halus mama di sisi kiri kasur. Nyaringnya derik serangga dari teras rumah. Bunyi-bunyi ganjil di ruang tengah - tikus jamban yang ke luar untuk mengobrak-abrik sampah, cecak merayap di dinding memangsa kecoa malang, dan lain-lain. Saluran TV yang menyala dengan volume rendah. Lalu, yang terakhir: isi kepala yang gaduh sekali. 

 

Sudah jadi kebiasaan sejak kamu pergi, jelang pertengahan malam seperti ini selalu mengantarkanku pada banyak ingatan. Ini adalah waktu ketika kamu dan aku baru selesai menonton film bioskop pada jam paling larut. Kita melangkah menuju lift yang letaknya cukup terpencil di balik tembok berlorong gelap. Lampu-lampu mal sudah mati, derap kaki kita begitu jelas di tengah bangunan yang sepi. Walau begitu sesekali masih terpantul jelas bayangan satpam yang hilir-mudik di etalase. 

 

Sumber: @plumrain, We Heart It

Sampai di parkiran, kamu menyalakan rokok yang asapnya berkali-kali kukeluhkan mengenai wajahku. Kamu hanya tertawa dan mengeluarkan kunci sembari membunyikan alarm motor dari kejauhan. Ketika kamu mengajakku naik, mendadak sosokmu memudar menjadi kabut yang ditelan pekatnya malam.  Aku sendiri tersisa bersama kesedihan.

 

Sudah jadi rutinitas sejak kamu pergi, menuju pertengahan malam seperti ini selalu mengingatkanku pada banyak memori. Ini adalah momen ketika kamu mengebut di jalan lengang hingga angin dingin malam menampar wajahku tanpa ampun.

 

Kamu akan berhenti di pom bensin yang penerangannya paling terang mengalahkan bulan, lalu aku melipir ke teras minimarket 24 jam untuk menunggu. Di sana, aku akan mendongak sembari berpikir apakah bulan tidak kesepian sendirian di langit gelap.  Saat tank sudah penuh dan kamu balik menjemputku, tiba-tiba wujudmu lenyap menyatu dengan malam yang hitam. Aku sendiri tersisa bersama kehilangan.

 

Dua jarum jam kompak berhenti di angka dua belas. Mama terbangun oleh lampu kamar yang masih menyala lalu menyuruhku tidur. Apa yang sedang kutunggu? Mataku basah dan benakku terlalu gelisah. Semuanya sudah berubah.

 

Kamarmu kosong, ranjangmu dingin. Asbak rokokmu lenyap, baju-bajumu lesap. Lalu, orang-orang akan membisikkan kebohongan terbesarnya padaku: semua akan baik-baik saja. Bagaimana mungkin? Kamu tak akan lagi pulang. Aku mendadak memelihara luka yang tak akan sembuh dan memendam rindu yang tak pernah tuntas. 

 

Rasanya seperti

 

...aku memeluk duri yang makin erat kudekap makin dalam aku terluka. 

...aku memakai baju sempit yang berkali-kali kupaksa kenakan justru membuatku kian sesak.

...aku menaiki sepeda yang kehilangan satu rodanya tapi masih bisa melaju dengan kemungkinan jatuh di tiap kayuhannya. 

 

Dan, pengandaian-pengandaian lain yang seberapa banyak pun aku membayangkannya agar kamu tahu betapa runtuhnya aku ketika kamu pergi, tetap saja tidak membuatmu tahu dan kembali. 

 

Kematian adalah perjalanan satu arah, tidak ada jalan memutar untuk balik. Sama seperti aku yang kamu tinggalkan, ini perasaan sakit satu arah, ia tidak akan pulih hanya dengan keyakinan semu semua akan baik-baik saja. Maka, izinkan aku menangis - sepanjang malam hingga aku menemukan yang mereka sebut sebagai keikhlasan atau justru: melupakan.

Friday, 12 November 2021

Ziarah Kecil

Ada banyak kalimat menyakitkan yang pernah ditujukan padaku. Mulai dari sosok guru les yang bilang kalau aku tidak akan bisa lolos UASBN, seorang teman kelasku yang mencibirku bodoh karena tidak bisa menyelesaikan soal matematika, lelaki yang tidak mengizinkanku menumpang karena dianggapnya aku buruk rupa dan tidak pantas menaiki motornya, kakak kelas yang mengatai rambut keritingku sebagai brokoli berjalan, dan sejenisnya. 

Namun, pada suatu malam aku menyadari semua itu bukan apa-apa. Sebab aku menemukan ucapan yang tidak sekadar melukai, melainkan juga menghancurkanku: “Vero, ayo bangun. Papamu sudah enggak ada.”

Sumber: Pinterest

Malam itu sekitar pukul setengah dua. Ibu membuka lampu kamar dengan suara serak membawa kabar yang tak pernah terlintas sekalipun di benakku. Bayangan selama seminggu belakangan bersamamu mendadak berputar dalam kepalaku seperti kaset rusak, lalu perlahan menjelma godam besar yang menghantamku sampai lebam dari dalam. 

Semua memori tiba-tiba saja berlabel “yang terakhir”.

Sudah tepat setahun sejak kabar itu kudengar. Namun, rasa sakitnya masih segar seperti baru kemarin tertoreh. Aku tidak punya nyali melangkah masuk ke bioskop, tempat kita berdua menghabiskan sebagian besar waktu bersama di sana. Aku tidak benar-benar berani mengelilingi kota ini seorang diri, tempat kamu dan aku menuai cerita-cerita di tiap sudut-sudutnya - tepi pom bensin dengan sebungkus liang teh manis bagi dua, seporsi kroket telur-keju seharga sepuluh ribu dapat empat, hingga kios minum es kelapa di pinggir jalan raya. Kamu ingat itu semua di surga?

Aku berdiri di depan kalender dinding. Pada tanggal yang sama satu tahun lalu, kamu pergi dan tidak akan kembali. Dunia berjalan biasa seolah semua baik-baik saja dan tersisa aku yang tak pernah benar-benar seutuhnya menerima. 

Di ingatanku, kamu terlalu hidup untuk dibilang sudah tiada. 

Aku pun beranjak menuju warung rokok yang biasanya kamu kunjungi, rumah makan nasi padang yang kamu sukai, dan tempat-tempat kecil yang kamu datangi rutin setiap hari ketika kamu masih di sini. 

Itu ziarah kecilku untuk mengumpulkan apa-apa tentang kita yang bisa kuselamatkan agar tidak dihapus waktu dan ditelan kematian. Atau mungkin sesederhana, aku hanya sedang...rindu.

Selamat Hari Ayah. 

Tangerang, 12 November 2021

11.38

Monday, 12 July 2021

Tentang Aku yang Tidak Lagi Suka Nonton di Bioskop

Aku suka sekali menonton film apalagi jika dilakukan di bioskop. Nyaris semua hal-hal yang khas dari gedung teater film tersebut pasti kusukai. Mulai dari aroma popcorn, suara mesin minuman, pendingin ruangan lebih sejuk, pilihan musik latar, lorong tunggu berpenerangan teduh, hingga pengisi suara pengumuman yang populer itu. 

Saking sukanya, setiap pulang kuliah, magang, sampai kerja tahun pertama, aku selalu memilih berakhir pekan di sana. Pernah suatu tahun, daftar film paling diantisipasi habis kutonton satu per satu. Malam pergantian tahun ketika banyak orang memutuskan membakar jagung atau menyaksikan kembang api, aku justru mengurung diri di bioskop menonton sajian film tahun baru. Saat selesai sekitar pukul satu pagi, jalanan sudah lengang dan aku akan berhenti di gerobak tek-tek nasi goreng yang masih buka 24 jam.

Sumber foto: Boris Krstic, Flickr

Alih-alih bersama teman, sahabat, kerabat, apalagi pacar, aku melakukan kebiasaan favorit ini dengan papa. Kami punya ritual khusus sebelum menonton film yang selalu segar kuingat: memburu promo di aplikasi pembelian tiket, membeli roti kopi dan menyimpannya di tas untuk diselundupkan sebagai camilan nonton, memesan mi instan telur atau kentang goreng atau sundae atau boba sembari menunggu pemutaran film (kami paling suka memilih jam putar terakhir, sekitar jam 9 atau setengah 9 atau jam 10 atau lebih). 

Kebiasaan tersebut dilakukan rutin dan menahun. Perlahan menjelma momen yang kalau dikenang ulang selalu berhasil menghangatkan hati. Namun, segalanya berhenti setelah pandemi datang dan papa tak pernah lagi pulang.

Sejak itu, terjadi perubahan besar dalam hidupku. Aku punya ketakutan baru: pergi ke bioskop. Hal yang dulunya sangat indah untuk dilakoni justru begitu menyakitkan saat ini. Semesta berhasil melahirkan sesuatu yang begitu keras dan padat untuk menabrak batinku tanpa ampun. Rasanya seperti memiliki baju favorit saat kau kecil dulu, tapi saat kau paksa kenakan sekarang sudah tak lagi pas, sebaliknya baju itu menyekap tubuhmu bagai pelukan kasar dan kencang yang menyesakkan.

Untukku, pergi dan menonton film di bioskop adalah kengerian yang lebih hebat dibanding berangkat ke laut tempat papa dilarung saat sudah jadi abu. Aku tidak punya banyak kenangan tentang sungai dan laut, tapi aku menyimpan kegembiraan akhir pekan dan kehangatan cinta bersama papa di bioskop.

Aku tidak mungkin melangkah di lorong bioskop untuk memilih bangku kosong, mengantre tiket di loker, mampir ke toiletnya yang bersih, membeli camilannya yang mahal, dan lain-lain tanpa terluka, dihajar kenangan, dikoyak abis kesepian yang diam-diam membuatku tidak waras.

Bioskop bagiku bukan lagi tempat hiburan, melainkan ziarah. Berkas bayangan papa yang duduk di bangku tunggu sambil bermain Facebook atau gim daring menamparku habis-habisan. Berkas bayangan papa yang menepuk pundakku untuk pergi merokok sebentar di parkiran bioskop menggulungku dalam-dalam.

Papa telah pergi dan menyisakan kenangan yang penuh perlawanan untuk mempertahankannya tanpa babak belur. Menonton bioskop tanpa papa seperti menumbuhkan duri-duri kecil yang membunuhku dari dalam.  

Maka itu, aku mulai keranjingan aplikasi film streaming yang dulu aku bilang bikin lelah mata dan tidak menawarkan pengalaman menonton sepenuhnya. Tapi sekarang justru menyelamatkanku dari kesedihan-kesedihan yang terus memanjang tiada jeda.

- Tangerang, 16.40 pm

Ditulis sambil membayangkan aku dan papa ke luar bioskop sebagai penonton terakhir, lalu menikmati setiap langkah di mal gelap dan sepi menuju tempat parkir. Aku rindu asap rokok papa yang berkali-kali kukeluhkan menabrak wajahku. Aku rindu papa yang mengebut di jalan tengah malam. Aku rindu pria yang kupanggil papa tanpa gelar almarhum di depannya.