Sunday 15 May 2016

Ulang Tahun yang Diberi Ucapan Selamat



“kau berulang tahun. aku angka, menghitung usiamu dari kejauhan.” – Aan Mansyur, a difference engine contemplates an ontological certainty
sumber gambar: pinterest.com
Pada salah satu waktu, tanpa sengaja, aku pernah menghadiri pesta ulang tahun seorang petinggi sebuah akademi di Jakarta. Itu pesta terencana yang menyenangkan; sambutan hangat, kue dan prasmanan yang disuguhi dengan apik, dan orang-orang yang berkumpul seraya bertepuk tangan ria. Sepintas, tidak jauh berbeda dibanding pesta ulang tahun lainnya – atau bahkan kamu pernah mendatangi pesta yang lebih meriah dari itu; sweet seventeen anak remaja yang sekarang ini sudah sampai menyewa klub dan seorang DJ, hingga yang tematik-tematik di lobi, kebun atau kolam renang hotel. Namun, ada yang berbeda dari pesta itu, tepat ketika pembukaannya. Si orang yang berulang tahun, melontarkan beberapa baris kata.
“Momen ulang tahun, bagai dua sisi keping uang logam. Di satu sisi Anda merayakan rasa syukur kita karena terlahir di dunia berkat kepercayaan Tuhan serta ucap selamat Anda sebab masih bernapas hingga detik ini, tapi di lain sisi, ulang tahun berarti usia Anda bertambah dan mendekati tenggat kematian Anda,” ujarnya dengan beberapa kali jeda, seakan memberi waktu bagi tiap jajarannya yang hadir untuk meresapi pelan-pelan apa yang diucapkannya.
Barangkali kamu juga pernah mendengar ucapan yang maknanya sama. Tentang pesta ulang tahun yang digelar mahal untuk membeli tawa, dan lupa itu adalah tanggal yang sama ketika Ibu meletakkan nyawanya di tengah tebing – antara hidup atau mati. Kurasa, itu juga alasan mengapa ada kata ‘selamat’ dalam ulang tahun. Namun, lainnya lagi, kamu akan bilang, pesta adalah wujud kamu merayakan kehidupan yang dihembuskan Tuhan. Akhirnya kita sepakat untuk tidak sepaham dalam banyak hal – aku membenci pesta, mungkin aku belum menemukan konsep perayaan yang sesuai dengan kebiasaanku mengasingkan diri di antara lalu lalang ramai orang-orang yang berdiri bersama segelas minuman berwarna di genggamannya. Namun, tak ada yang salah. Setiap orang punya pilihan, terutama pada cara masing-masing menyapa selamat datang dan sampai ketemu untuk hari-hari yang dilingkari dengan spidol berwarna menyala di antara angka-angka yang berderet di kalender meja.
“Saya jadi teringat setahun lalu pada almarhum (...), ketika beliau mengucapkan selamat ulang tahun pada saya dan mengutarakan konsep kehidupan dan kematian yang mengimpit dalam kata selamat maupun perayaan. Kita tahu beliau...” lanjut si orang ulang tahun. Aku sendiri tidak mengenal marhum yang dimaksud, juga tak memahami kenangan yang berupaya dihidupkan ulang. Hanya saja, jika bisa kugambarkan, ruangan itu mendadak berkabut oleh tangis-tangis yang ditahan. Seorang pria paruh baya yang berdiri di hadapan si orang ulang tahun, mulai melepas kaca mata berbingkai hitamnya dan menyeka ujung mata. Hadirin lain mengangguk pelan, mendengarkan dengan begitu khusyuk seraya larut dibawa cerita lalu yang dibawa.
Aku cukup terhenyak – membayangkan bagaimana kamu memeringati tanggal lahirmu lewat pesta sederhana yang terus-menerus melemparmu pada kenangan akan selamat tinggalnya seseorang. Persisnya, kamu seperti menemukan tanggal kamu mengunjungi  dunia, juga tertera pada nisan sahabat dekatmu sebagai tanggalnya meninggalkan dunia. Ingin sekali aku berbisik, selalu ada arti dibalik tangis pertama kamu di rumah sakit saat lahir. Mengapa harus diawali dengan teriakan tangis. Dan, ketika mengulangnya, kamu melewatinya dalam tertawaan yang dibungkus pesta paling bergengsi. Mungkinkah tawa tiap tanggal lahir adalah cara berselindung lain untuk air mata yang jatuh tanpa orang lain tahu, di malam harinya saat kue-kue sudah habis, confetti sudah diledakkan, dan orang-orang sudah pulang.
Pidato kecil sebelum makan-makan itu selesai. Pria tadi ditunjuk untuk memimpin doa. Akhirnya pula, duka memang tak dipelihara berkepanjangan, hanya saja ada kalanya kamu menyuburkannya. Aku ikut dalam obral-obrol sembari menyantap makanan yang disajikan dari resto berbintang banyak. 
Sesekali dalam diam, aku mencari-cari ke mana kiranya kesedihan barusan, disimpan-sembunyikan orang-orang.
Selamat ulang tahun.

Catatan:
i'm very thankful to have all of you
Tahun ini, aku hanya menerima sejumlah ucapan yang bisa kuhitung dengan jari – tentu saja, aku mematikan notifikasi pengingat ulang tahun di media sosial. Sahabat-sahabat menyiapkan kejutan kecil; mulai dari skenario sedeharana yang menjebak, datang langsung ke rumah, hingga mengirim video dan tulisan yang indah-indah. Semuanya sebentar saja, tapi kenangan yang dihasilkan panjang sekali umurnya. Aku memasuki dua puluh tahunku sebagai bagian dari semesta – orang tuaku menyebutnya sebentuk kado kecil beranugerah milik Tuhan. Fakta menariknya, sehari sebelum aku berulang tahun pada salah satu tanggal di akhir minggu April, aku bahkan tak benar-benar mengingatnya. Menulis ini hanya sebagai ucapan terima kasihku untuk mereka yang membantuku mengenang tanggal lahirku tiap tahunnya dengan cara yang berbeda. Aku menikmati keheningan-keheningan yang tercipta setelahnya; kado yang tersimpan di ujung meja belajar, foto-foto yang terkoleksi di album galeri ponsel, dan ingatan yang bisa diputar berkali-kali di ruang kepala sebagai memori manis untuk dikembalikan ulang.

2 comments:

  1. Replies
    1. Wuihhh aku enggak tahu kalau Lydia bacaaa, aaaa jadi ikut terharu jugaaaaa

      Delete