Saturday 6 December 2014

Berkas Kenang Rasa Gulali, Sewarna Pelangi


Hampir setiap sore aku menemukannya duduk di bangku taman bermain yang sudah berkarat itu. Cat vanilla yang melapisi besi usang bangku itu sudah mengelupas, menyisakan debu-debu hitam yang singgah di sisi-sisinya. Taman bermain itu juga tak kalah tua; dulu sekali, aku pernah ke mari, bermain jungkat-jungkit beralaskan ban bekas. Menderai tawa seakan aku menjadi anak kecil selamanya. Lalu, ketika pedagang gulali memarkirkan gerobaknya di tepi taman, aku akan berlari padanya, memesan sebatang kembang gula yang ukurannya lebih besar dari kepalaku. Duduk di atas rerumputan yang kala itu menghijau, dipotong rapi pendek-pendek di antara dandelion-dandelion muda yang tumbuh di sana.
“…lalu, kamu dan kawan-kawanmu, memetik salah satu dandelion, serat-sertanya pun berterbangan dimainkan udara sore. Kamu pun memejamkan mata, membisikkan harapan-harapan sederhanamu.”
Lamunanku yang tengah mengembara pada kenang masa kanak, perlahan buyar, memudar menjadi bayang ia yang tiba-tiba sudah berdiri di sampingku. Tentangnya; seperti rekaman yang diputar ulang.
Aku pernah melihatnya berteriak bersama anak-anak itu, ikut menunjuk kombinasi tiga warna yang menggurat di langit sehabis hujan, dan ia loncat-loncat dipenuhi bahagia; untuk merayakan pelangi yang melengkung seusai senandung hujan. Lain waktu, aku juga ingat ia masih tetap tinggal ketika anak-anak itu sudah pulang ke rumah. Mencoba sendiri ayunan yang masih dilekat oleh remah-remah tawa dan ceria. Menyentuh kapur yang dipakai untuk menggores garis-garis tapak gunung. Melempar batu-batu kecil. Dan, ketika senja berakhir dan malam siap melarut, ia baru beranjak. Berjalan pulang sembari menundukkan kepalanya, menghitung langkahnya sendiri.
“…aku pernah terlibat obrolan dengan kawanku yang dibudaki oleh waktu. Ia bilang, ia rindu kartun di Minggu pagi, bersepeda di sore hari, berlarian sembari menerbangkan pesawat kertas di hari yang berangin, juga melipat burung dan perahu kertas. Lalu, bermain air di bawah rintik hujan.”
Aku melihat manisnya gulali bersarang di matanya. Bagaimana harus kulukiskan tatap matanya padamu? Ia punya sepasang mata yang kecil, tatapnya polos dan apa adanya. Seperti…anak kecil yang kulihat di taman bermain tua sore ini.
“…ada satu ruang, di kedalaman dirimu. Di hatimu, sukmamu ataupun keseharianmu, yang tidak pernah tumbuh, yang selalu bersikeras menjadi anak kecil. Dan, itu bukan salahmu, karena sekali-kali kita perlu bermain-main kembali. Seperti dulu, sebelum kita mengenal jerat-jerat waktu dan lilit-lilit perkara.”
Dan, sejak sore itu. Kita terlahir kembali; sebagai anak kecil, yang tertawa setelah membisikkan angan kecilnya pada sebuah dandelion.
This entry was posted in

0 Comments:

Post a Comment