Kapan terakhir kali kita balik ke sekolah setelah lama lulus dari sana?
Kalau bukan karena urusan administrasi seperti legalisir ijazah dan sejenisnya,
mungkin tak akan terpikirkan untuk kembali. Aku pun demikian, bahkan sudah
hampir 8 tahun lamanya aku putus kontak. Sampai pada suatu siang, sebuah
panggilan dari nomor asing masuk ke ponselku. Telepon dari guru SMA-ku!
“Halo, Vero!” Suara dari seberang sana menyapaku ramah dan hangat,
rasanya seperti sudah akrab begitu lama. Awalnya aku mengernyit, tapi nada
berat dan tekanan di tiap akhir kata yang begitu khas, mengingatkanku hanya
pada satu orang.
“Sir Andreas? Betul ‘kan?” tebakku tepat sasaran. Dugaanku benar karena
tawa keras dari balik telepon jadi jawabannya.
“Kok Vero bisa ngenalin, sih? Hahaha, padahal sudah lama sekali,”
sahutnya, sedikit terkejut. Kami pun saling bertukar kabar, walau hatiku
dipenuhi satu pertanyaan: ada apa?
“Jadi gini, Vero. Sir mau minta tolong dan kamu harus bisa, nih, hehehe.
Sekolah kita minggu depan ada MPLS alias Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah
untuk menyambut siswa-siswi tahun ajaran baru. Guru-guru mau kamu mengisi salah
satu rangkaian acaranya, Alumni Talks. Mau, ya?”
Aku ketika membawakan materi di MPLS |
Aku termenung sesaat. Benakku sempat didesaki banyak pertimbangan, mulai dari kebingungan membawakan topik apa, kerepotan berkendara ke sekolah, persiapan presentasi yang memakan waktu, dan lain-lain.
Sebelum aku sempat merespons, guruku kembali menyahut, “Boleh, ya, Vero?
Kami juga kangen padamu.”
Kalimat sederhana itu tiba-tiba membawaku kembali pada masa sekolah dulu
dengan segala kenangannya: bakmi dan nasi goreng kantin, ujian dadakan yang
menyebalkan, hingga bunyi bel istirahat paling ditunggu. Ingatan-ingatan itu
menyadarkanku pada fakta bahwa guru-guru masih menyimpan kontakku setelah
sekian lama, berhasil membuat hati kecilku menghangat.
“Hmm, jadi bagaimana, Vero?” Sahutan dari suara berat guruku membuyarkan lamunanku. Ini kesempatanku menjelajahi ulang kenangan, meresapi lagi apa yang dulu pernah manis di ingatan. Aku mengangguk tanpa sadar sambil menjawab mantap, “Ok, Sir. Aku siap buat sharing dan kembali ke sekolah.”
Itulah awal aku menginjakkan kaki lagi di SMA Perguruan Buddhi, Kota
Tangerang. Lokasinya cukup unik karena bersebelahan langsung dengan TPU (Tempat
Pemakaman Umum) masyarakat Tionghoa. Walau demikian, jalanan tetap ramai oleh
lalu lalang kendaraan dan gerobak jajanan seperti mi ayam, liang teh, siomay,
dan sejenisnya yang berjualan di bahu jalan.
Aku tiba pukul delapan pagi, sengaja tiba setengah jam lebih awal untuk
melihat-lihat sekaligus menyaksikan bagaimana sekolah tatap muka diterapkan
penuh setelah protokol kesehatan COVID-19 dilonggarkan.
Senang sekali bisa berbagi di antara siswa/i SMA |
Aku pun melangkah masuk melalui gerbang utama yang membawaku langsung ke halaman sekolah. Dua gedung tinggi dan luas berlantai tiga, masing-masing SMP dan SMA, saling berdiri berhadapan. Tampak anak-anak sekolah berseragam putih-kotak-kotak berlarian di lorong kelas atau sekadar duduk di pinggir lapangan dengan jajanan.
Jika terus berjalan, masih ada gedung SD di sisi kiri dan ruang kelas
komputer yang mengapit lapangan basket yang permukaannya diwarnai biru terang.
Sementara sisi paling ujung akan tampak vihara kecil tempat siswa berlatih doa
dan meditasi tiap pelajaran agama. Di antara itu, terdapat jalan kecil yang
menghubungkan langsung ke kantin sekolah.
Pemandangan yang sederhana, tapi terasa emosional untukku. Aku pernah
tiga tahun menghabiskan momen remajaku di sini: merasakan jatuh cinta pertama
kali dengan senior, memilih teman sebangku yang asyik, nongkrong sehabis pulang
sekolah, hingga membuat klub jurnalistik untuk ekskul bernama Perddhita News.
Aku terkekeh kecil. Kembali lagi ke sekolah bukan saja ajang nostalgia,
melainkan juga pengingat bahwa aku pernah menjadi pribadi sepolos itu. Aku
bukan siapa-siapa selain seorang anak yang masih belajar dan bermimpi bisa jadi
apa saja. Kebahagiaan sesederhana mendengar bunyi bel istirahat dua kali dan
pengumuman jika kelas kosong karena para guru sedang rapat.
Kini aku sudah beranjak dewasa dengan tanggung jawab di mana-mana. Aku
menarik napas panjang, diam-diam aku memahami mengapa banyak orang dewasa ingin
kembali menjadi anak-anak, atau setidaknya balik lagi pada masa sekolah.
Aku berbelok memasuki gedung SMA lantai satu. Di tengah halaman kelas
terdapat rupang Buddha yang cukup besar bercat emas. Dulunya tidak ada, mungkin
ini termasuk pembaharuan. Aku pun lanjut berjalan memasuki kantor guru. Jejeran
meja guru dari depan ke belakang dan satu ruangan khusus kepala sekolah masih
tampak sama seperti dulu. Mr. Andreas, guru agamaku dulu, langsung menyambutku
semringah.
“Namo Buddhaya, Sir,” sapaku mengucapkan salam dengan sikap anjali.
“Namo Buddhaya. Wah, akhirnya datang juga, Vero! Sorry ya, Ver,
kelihatan sepi. Soalnya, guru-guru lagi sibuk pengenalan di acara, nanti juga
rame. Tapi, tenang aja! Ada saya yang nemenin kamu ngobrol, kok,” ujarnya
bersemangat sambil menyajikan segelas air mineral padaku.
Kami mulai bercakap-cakap, saling memperbarui kabar masing-masing, terutama
kondisi sekolah, kurikulum hingga murid-murid.
“Pusing, Ver. Denger-denger memang nantinya tidak ada lagi penjurusan
IPA dan IPS untuk SMA, efektifnya baru tahun depan. Jadi, kita para guru perlu catch-up
terus dengan perubahannya. Sejatinya kalau bagus buat murid, pasti akan kita
ikuti.”
“Menteri pendidikan ganti, kurikulum ganti juga ya, Sir? Hahaha,”
candaku sebelum melanjutkan, “Tapi murid-murid sekarang kayak gimana sih, Sir?
Nakal-nakal enggak? Apalagi kemarin sempat wajib belajar online gara-gara
pandemi.”
“Hahaha, ya begitulah, Ver. Kalau Sir lihat sih, anak-anak sekarang tuh
agak pasif. Mereka lebih senang lihat layar terus, jadi jarang main kayak zaman
kamu, apalagi nulis. Tapi ya walau begitu, Sir dan guru-guru yakin mereka punya
kreativitasnya masing-masing.”
Aku menyimak pandangan beliau sekaligus cerita-ceritanya tentang salah
satu guru yang sudah pindah ke Jakarta, seragam sekolah yang berubah, hingga
cat gedung yang diperbarui. Sepanjang itu juga, guru-guru lain mulai berdatangan
dan menyapaku satu per satu.
Mereka kebanyakan adalah guru-guru perempuanku yang berhijab. Melihatnya
mengingatkanku lagi pada satu hal yang kusenangi dari sekolahku. Walaupun ia
berdiri dengan basis sekolah Buddhis, tapi ia begitu terbuka dengan keberagaman
kepercayaan lain. Sebab yang diutamakan dalam perekrutan profesi bukan melulu
soal agama, melainkan pendidikan, karya, dan ilmu pengetahuan.
“Duh, Miss thank you banget, ya kamu masih mau datang ke sekolah!
Kita semua di sini gak nyangka, lho,” ujar Mrs. Evi, guru sosiologiku.
“Sekarang kamu kerja di mana? Tambah cantik dan berisi, ya! Dulu ‘kan
kamu kurus banget, hahaha,” timpal Mrs. Ridza, guru kimiaku yang logat Bataknya
sangat kental.
“Eh, ayo ke meja Miss, kita ngobrol banyak!” ajak Mrs. Dian, guru bahasa
Indonesiaku yang dulu jadi partner andalan ketika berdiskusi soal
karangan fiksi.
Kupikir semuanya akan canggung, tapi sebaliknya, mereka justru
menyambutku hangat bahkan terlampau ramah hingga aku merasa tidak enak hati.
Apa yang kulakukan hanyalah kunjungan sederhana, tapi untuk guru dan sekolah,
terasa begitu berarti.
Di titik itu, aku belajar bahwa meluangkan waktu untuk orang-orang
kesayangan, tak akan pernah sia-sia. Aku pun tersenyum. Tanpa harus berada di
dalam kelas pun, guru-guruku secara tak langsung mengajarkanku tentang
menghargai sebuah pertemuan.
Sharing di alumni sekolahku didampingi guruku dulu |
Pertemuan setelah sekian lama tak harus bicara tentang diri sendiri, adu pencapaian, dan kompetisi siapa paling hebat, tapi seharusnya jadi ajang menuntaskan rindu dengan nyaman sekaligus memastikan kabar bahwa semuanya sehat dan baik-baik saja. Kupikir itulah makna reuni sebenarnya.
Tak terasa waktu sudah menunjukkan pukul setengah sembilan. Aku pun naik
ke lantai tiga, memasuki ruang kelas yang disulap menjadi aula luas. Sebanyak
73 siswa baru bermasker, sudah duduk rapi di atas barisan bangku berbahan plywood
bercat kelabu.
Dinding kelas yang didominasi warna krem tampak bersih dari hiasan,
hanya ada gantungan foto presiden dan wakil presiden, beserta papan tulis berspidol.
Jendela-jendela tanpa gorden sengaja dibuka agar tidak pengap dan panas karena
kelas tidak ber-AC. Ah, setiap detailnya sangat khas sekolah, rasanya
seperti pulang ke rumah kedua, batinku.
Di depan kelas, sudah ada mini panggung tempat aku bisa berdiri dan
menyampaikan materi. Mr. Elgus dan Mr. Arfian, kedua guruku yang kompak
mengenakan batik, sudah siap di balik meja untuk mengoperasikan salindia
presentasi.
Semua mata tertuju padaku. Jantungku berdetak cepat. Rasanya dag-dig-dug
sekali bicara depan banyak orang. Aku melirik dua guruku yang duduk di pinggir
panggung, mereka tersenyum seraya mengacungkan jempol. Masih seperti dulu,
masih mendorongku maju.
Aku pun menarik napas panjang dan meraih mic, mulai bicara tentang
karier dan impian. Topik yang kubawakan hari itu adalah ‘Reach Your Dreams (On
Your Own Terms)’.
“Aku sengaja membawa tema ini untuk teman-teman siswa semua, karena
memasuki bangku SMA berarti kita selangkah makin dekat dengan impian dan
cita-cita. Saat berseragam putih abu-abu inilah, kita mulai berpikir tentang
penjurusan, minat-bakat, kuliah hingga profesi kita di masa depan,” jelasku
membuka sesi.
Sepanjang pembahasan, aku melihat guru-guru yang tadi menyambutku di
kantor, satu per satu memasuki ruang kelas. Mereka mengambil duduk di bangku
paling belakang, bergabung bersama para kakak kelas yang menjadi panitia.
Alih-alih gugup, kehadiran mereka menambah kepercayaan diriku. Sebab aku
berada di sini atas kesempatan dari guru-guruku. Acara yang berlangsung satu
jam itu, akhirnya ditutup dengan siswa-siswi yang antusias menceritakan
cita-citanya masing-masing.
Tepuk tangan membahana di seisi kelas. Pandanganku pun menelusuri
penjuru ruangan. Momen ini mengingatkanku pada kejuaraan lari estafet. Guruku
adalah ‘pelatih’ di luar arena yang melatih anak-anak untuk bertanding. Ketika
dirasa sudah siap, kita dilepas untuk membawa ‘tongkat’ yang diberikan ke anak
lain.
Sekarang ini, aku tengah memegang tongkat itu. Cepat atau lambat akan
kuserahkan kepada siswa-siswi yang jadi juniorku. Mereka akan berdiri di
tempatku suatu saat nanti, bercerita tentang impian yang diraih dan berbagai
peluang yang dicoba. Mungkin juga akan bicara kegagalan sebagai pengalaman dan
kesuksesan bukan melulu tujuan, serta semua hal yang didapat dan jadi bekal sejak
bangku sekolah.
Mendadak mataku berkaca-kaca. Kembali ke sekolah seperti perjalanan
melintasi lorong waktu. Aku balik ke masa lalu dalam versi diriku sekarang, dan
karenanya, aku sekali lagi belajar banyak. (*)
0 Comments:
Post a Comment