Friday 19 December 2014

If That Was A Fairy Tale


satu hal mewah yang pernah kumiliki adalah segenggam persahabatan sederhana

Aku baru ingat jika aku pernah membuat sebuah video album singkat mengenai suatu perjalanan; yang tak pernah kutahu akan berakhir. 2013. Kumpulan potret dan lanskap perjalanan yang diabadikan dan direkam itu menampilkan potongan-potongan cerita yang pernah singgah; dan sempat terlupa. Mungkin, jika ia bukan dalam bentuk virtual, album itu sudah teronggok diam dan tebal oleh debu kenang yang tak tersentuh. Album pertama menarik perhatianku, aku menamainya Forever Friend. Aku membuka file itu, dan aku seperti diajak mengembara pada Agustus tahun lalu, ketika aku menguntai itu semua.
Aku melihat tanganku mengamit padanya. Kita saling menunjuk cakrawala yang sama; tiga sekawan yang saling memangku mimpi berbeda tapi tetap berjanji dalam ikatan bersama selamanya. Aku hampir hanyut dalam isak dan menyatu dengan air mata, tepat ketika aku memalingkan muka.
Aku sempat tersenyum di depan lensa kamera, dan kamera melukisku tengah membentuk simbol daun hati dengannya. Daun hati itu menyimpan banyak, lebih dari sekadar pertemanan di kelas atau kumpul-kumpul di kafe. Kita menukar curahan hati, berbagi rahasia dan tangis-canda.
Aku tersenyum – itu senyum yang sulit, karena rasanya kecut. Kita tampil menjadi siapa diri kita, tak ada yang saling menyembunyikan diri dalam topeng. Menjadi diri sendiri dan nyaman satu sama lain. Tak ada agenda yang harus dikerjakan hari itu, kita hanya memutuskan untuk bertemu dan melakukan apa saja yang bisa dilakukan bersama; bahkan hanya duduk di ruang tamu – menyelotehkan mengenai isu-isu terbaru, berjalan-jalan di sepanjang kompleks perumahan yang sepi, berfoto-foto ria di jembatan tua yang reyot, semak-semak hingga pagar rumah-rumah. Hanya dari hal-hal kecil itu saja, kita tertawa seakan dunia milik tawa kita. Kita menggila. Dan, kita tahu itulah arti persahabatan kita. Orang-orang mengenalmu sebagai kawan yang baik. Tapi seorang sahabat akan melihatmu sebagai orang yang gila. Mereka menemukan apa yang tidak ditangkap orang-orang.  
Aku ingat – pada akhirnya. Itulah mengapa foto-foto yang banyak itu tersimpan dan tercipta. Karena kita sepakat memekukan kenangan. Aku pun menyusunnya dalam rangkaian foto di aplikasi video. Membuat album virtual dengan lagu yang menggambarkan kita bertiga; forever friend. Karena kita saling menawarkan arti ‘selamanya’ dan ‘selalu’.
Aku selalu takut membuka halaman terakhir dari sebuah kisah. Karena pilihannya hanya dua; menjadi sebuah hal yang happily ever after ataukah tragedi. Atau mungkin menjadi kisah yang menggantung, tanpa akhir dan menjadi misteri yang menyiksa kalbu?
Kau tahu, ini begitu menyakitkan, karena ini bukan cerita peri. Bukan pula kisah dongeng. Bukan sejenis kisah yang bermula pada gubuk kecil kumuh dan berakhir dengan istana dan pesta dansa di aula utama yang mewah. Ini seperti Tinkerbell tanpa Peterpan. Cinderella tanpa sepatu kacanya. Putri salju tanpa apel beracunnya. Atau, putri tanpa pangerannya. Ada yang salah, ada yang cacat dan pincang. Sebuah kisah yang meretak, karena peri penolong tak pernah datang. 

"Kita bakal jadi sahabat selamanya, iya atau enggak?"
"Iya." 
Waktu mengintip dari sudut sunyi, membaca skenario yang sudah ada, lalu tersenyum muram. 

0 Comments:

Post a Comment