Friday 4 March 2016

Tentang Kuliah yang Kuikuti dengan Dosen Seorang Tukang Ojek



Aku tak perlu melirik jam dinding yang tergantung di atas papan tulis putih untuk mengetahui kelas sebentar lagi selesai. Hanya butuh memindai keadaan sekitar saja, aku akan tahu jam bubaran sudah dekat; mahasiswa yang menutup binder-nya, asyik dengan ponselnya, hingga yang mulai menepuk pundak teman di depan maupun di sampingnya sembari bertanya mau singgah makan di mana. Kadang kali, pertanda-pertanda punya bahasanya sendiri untuk menyampaikan maksud dirinya pada kita.
“Sampai di sini untuk materi hari ini. Saya berharap mahasiswa-mahasiswa saya, khususnya kita semua memiliki 90% yang tak terlihat dari gunung es (ice berg) tersebut,” ujar sang dosen dengan Inggris yang terdengar begitu fasih, dan seluruh mahasiswa manggut-manggut. Kusambar tas punggung, siap keluar dari kelas yang semakin berisik. Dan rutinitas yang sama kuulang: memesan ojek, berniat segera pulang mengakhiri pagi yang langitnya begitu sembab sejak malam kemarin.
Tujuanku hari itu ingin cepat sampai rumah; aku begitu lelah dikejar tenggat waktu tugas, tanggung jawab kegiatan di luar perkuliahan, jadwal promosi buku, bacaan/jurnal yang menganggur, barisan tulisan yang belum rampung, dan berbagai hal yang mengekoriku ke mana-mana. Sayup-sayup, ketika aku mencari-cari sesosok Bapak tukang ojek, aku masih mendengar ulasan dosen yang berkoar sepanjang dua setengah jam tadi. Materi pembahasannya masih berlari-lari di kepala, tak tahu mengapa – ia masih segar dan begitu menempel, sampai aku duduk di jok motor milik Bapak tukang ojek. Cerita ini dimulai.
sumber gambar: rubynkka.deviantart

Si Bapak tukang ojek tampil sederhana – tak jauh berbeda dengan tukang ojek pada umumnya; beliau mengenakan jaket hitam yang mana garis lengannya memiliki motif garis putih, berkaca-mata dengan bingkai hitam, dan sarung tangan motor buatan kulit berwarna hitam gelap yang pembungkus jari-jarinya sudah mulai lusuh dan mengelupas. Kutemukan kerutan-kerutan di sekitar dahi kepala dan ujung kelopak matanya ketika tersenyum menyebut namaku, untuk konfirmasi.
Dan, kami mengobrol sepanjang perjalanan.
Diawali beliau  - yang cukup mengejutkan bagiku – mengeluh melihat ongkos ojekku yang naik dan baginya mahal. Beliau menyarankan agar aku menggunakan cara yang beliau sebut ‘transit’. Aku diminta menghitung jarak kilometer dan dibagi dua. Beberapa menit awal, beliau memaparkan perhitungannya, aku mengiyakan seraya tertawa mengapa tidak terpikir olehku. Beliau juga, ia hanya bilang, “...walau hanya beda beberapa ribu, kalau dikalikan dengan setiap harinya naik, pasti hasilnya lumayan. Sebab, anak saya juga begitu, terasa sekali perbedaan beberapa ribu itu. Oh ya, Mbak tahu enggak, dua anak saya kuliah di (menyebutkan salah satu universitas swasta ternama di Tangerang Raya) loh. Keduanya mengambil konsentrasi Komunikasi.”
Aku tak tahu harus menanggapi apa – selain sesosok Bapak yang berusaha memastikan dua anaknya duduk di bangku pendidikan paling tinggi sebisa dan semampu yang dapat beliau usahakan.
“Mbak tahu enggak, saya lumayan sering dapat penumpang yang nyebelin. Salah satunya mahasiswa, pernah saya diomelin dan dibentak oleh si mahasiswa karena tidak menjemputnya di tempat yang diminta. Padahal, tempat yang dimintanya berbahaya bagi keselamatan saya dan dia sebagai penumpang, karena ada perjanjian di wilayah pengangkutan untuk ojek seperti saya. Nadanya terdengar menghina, saya berusaha sabar, saya jelaskan duduk persoalannya, dan alasan mengapa tak bisa menjemput di sana, dan saya katakan juga dua anak saya kuliah di tempatnya kuliah. Baru dia diem,” jelasnya panjang lebar dengan berapi-api.
Tertegun. Aku tidak menanggapi barang beberapa menit. Baru kupahami satu hal; mungkin hampir setiap penumpangnya yang adalah mahasiswa, beliau jelaskan hal sama yang begitu beliau banggakan, yakni kedua anaknya yang menempuh perkuliahan tingkat sarjana. Hatiku mencelos, mungkin itu cara beliau agar orang-orang tidak memandang rendah dirinya. Mungkin berkali-kali beliau terluka 
tanpa kita sadari, walau tidak memukul, mengeluarkan caci-maki, hanya dengan delikan atau lirik tajam mata, kita telah menyakiti seseorang; ia yang sedang duduk di bahu jalan karena lelah berjualan botol minum pada mobil-mobil mewah yang melintas, ia yang membuka lapak jualan mainan anak kecil di pinggir pasar, dan mereka-mereka lainnya.
Bapak tukang ojek itu seakan mengajarkan padaku tentang dialog Socratik. Kita memposisikan diri untuk tahu bahwa kita tidak tahu. Meluangkan waktu dan tempat ketika bercakap dengan orang lain.
“Oh ya, Mbak. Tadi saya lihat Mbak bawa jas hujan segala, persiapannya matang banget ya, siap sedia sebelum hujan. Kalau Mbak tahu, saya nyiapin dua jas hujan loh. Jas hujannya saya beli sendiri di toko (menyebutkan salah satu toko kelontong terkenal yang menjual merk berkualitas). Saya bukannya sombong, Mbak. Tapi saya melihatnya begini; saya ingin memberikan yang terbaik bagi penumpang saya, yang bisa saya berikan.”
Baiklah, mataku mengerjap-ngerjap kaget.
Bapak tukang ojek itu telah mempraktekkan teori ilmu CRM – Customer Relationship Management, yang menjadi bahasan perkuliahan semester empat jurusan Relasi Publik. Berikan yang terbaik bagi konsumen, klien dan customer-mu, pelayanan yang tulus tanpa berpura-pura akan menyampaikan sendiri pesannya pada hati konsumen.
Beberapa kali di sela obrolan, beliau mengatakan apakah saya sedang terburu-buru, bolehkah beliau membawa motornya sedikit cepat bukan ngebut, dan pertanyaan-pertanyaan lainnya yang berusaha membuat penumpangnya nyaman. Lalu, beliau kembali menyambung, 
“...saya selalu berusaha bersikap baik. Mbak tahu mengapa? Karena mungkin saja, salah satu penumpang saya adalah jelmaan malaikat yang Tuhan kirimkan untuk menguji saya. Bagi saya, pekerjaan saya menjadi tukang ojek adalah keberkahan yang dipilihkan Tuhan untuk saya jalani. Lewat jadi ojek begini, saya belajar mengasihi ..."
"...karenanya, tiap pagi sebelum berangkat kerja, selalu saya syukuri, saya katakan saya bersyukur atas bonus yang akan saya terima hari ini, padahal bonusnya belum dapat, tapi saya percaya, ketika kita mensyukurinya dalam nama Tuhan, bonusnya pasti datang. Rencana Tuhan selalu baik. Dan buktinya, memang saya alami. Mbak, agama apa? Bagi saya, semua agama sama adanya, mengajarkan satu hal, cinta kasih.”
Bapak tukang ojek itu seolah menjelaskan materi mengenai iman dan agama secara sederhana. Saking sederhananya hingga diulang-diulang di ruang kelas sejak kita di bangku sekolah sampai kuliah, dan kehilangan maknanya di kepala kita – padahal ia adalah hal paling dasar dan mengakar dari segalanya; sepotong syukur – kemewahan yang dilupakan oleh kita, olehku, yang hidup dalam target dan tuntutan setiap harinya, lalu menua di jalan. Bahkan beliau tanpa sadar telah merangkum seluruh inti dari misi penulis Karen Armstrong dalam bukunya Compassion yang mengajak manusia hidup dalam belas kasih. Aku tertawa, hambar – terasa asing sekaligus hangat. Aku menemukan makna sejati dari ‘bekerja adalah ibadah’ pada beliau.
sumber gambar: favim.com

Banyak lagi. Beliau terus berkisah, soal pengalamannya kecelakaan, dan seseorang yang menolongnya adalah seorang ibu paruh baya penyapu jalan raya. Membantunya bangkit dan ke rumah sakit. Lalu ketika beliau ingin berterima kasih, si ibu penyapu jalan lenyap seketika. “...terserah, Mbak mau percaya atau tidak. Si ibu penyapu jalan pasti salah satu tangan Tuhan. Ini seperti, kita tak pernah melihat Tuhan dalam wujud yang bisa disentuh inderawi kita, tapi kita memercayai keberadaan-Nya. Itulah iman.”
Aku bagai tersengat, teringat dosenku pagi ini menceritakan satu kisah yang begitu memiriskan batinnya. Suatu waktu, ketika ia berangkat kerja untuk mengajar di beberapa universitas, dan pergi pada pukul empat pagi, ia melihat sebuah mobil Lamborghini Aventador mewah tepat di hadapannya yang sedang membayar tiket tol. Sekejap terlihat biasa saja, semua berjalan normal, sampai si pengendara menerima tiket tol, lantas jalan, lalu meremasnya, dan membuangnya secara asal – dan mengenai ujung hidung (wajah) seorang Bapak tua yang sedang menyapu jalan. Dosenku menggeleng – mengisahkannya seraya bergetar, di hadapan seluruh mahasiswa. Aku terdiam; berbisik sekali lagi – mungkin dunia ini bukan lagi membutuhkan orang yang jenius, kita hanya membutuhkan orang-orang baik. 
Dan, kita butuh menjadi di antara orang-orang yang tak hanya takjub akan deretan titel di belakang nama seseorang, jumlah pengikut yang dipunyai di media sosial, kekuasaan yang berhasil didapatkan, melainkan pada hal-hal kecil yang dilakukan seseorang terhadap kemanusiaan.
Kapan kita terakhir kali mengucapkan terima kasih pada pelayan yang membersihkan meja kita saat kita datang memilih meja tersebut? Mungkinkah kita terlalu sering menengok ke atas hendak mengejar impian kita dan target yang tak ada habisnya, lantas leher kita terkilir dan tak lagi mampu menunduk ke bawah barang sejenak, dan menemukan mungkin yang kita butuhkan adalah duduk diam, hening sejenak. Berkenalan dengan diri kita sendiri. Sekali lagi.
Ketika jarakku semakin dekat dengan rumah, dan sebentar lagi sampai, si Bapak masih terus bercerita tanpa henti. Beliau melambatkan laju motornya. Mungkin beliau masih ingin bercerita panjang lebar. Terakhir, beliau katakan, anaknya kini sudah mendapat kontrak kerja dengan sebuah yayasan selama tiga tahun lamanya, dan beliau begitu bersyukur; yang diutarakannya padaku dengan begitu bersemangat.
Hari itu, Jumat siang. Langit menggeram seusai hujan. Matahari belum nampak. Aku turun dari motor dan kukatakan pada beliau, “Pak, terima kasih untuk obrolannya. Saya belajar banyak.”
Beliau pun berlalu setelah melempar senyum 
kautahu, sepotong senyum indah adalah yang berangkat dari diri sendiri, bukan yang dilengkungkan sesuai standar dan peraturan yang diminta perusahaan, aku justru menemukannya pada beliau.
Darinya, aku seperti mengikuti kuliah satu sks selama lima puluh menit lamanya, namun ilmu dan penerapannya berlaku sepanjang kehidupan. Dan, tanpa beliau ketahui, beliau memang telah menjadi dosen tersendiri bagiku, yang mata kuliahnya berbagai macam, disampaikan dengan cara bersahaja.
Pada sela obrolan, beliau sempat mengungkapkan, sesungguhnya beliau adalah sarjana tingkat satu untuk jurusan Marketing. Dan, beliau kerap menangani sejumlah proyek bangunan di Jakarta, beliau punya kontraktor. Menjadi tukang ojek adalah pilihannya ketika proyeknya sudah tak lagi ada, dan ia mencintai profesinya, sebab apapun pekerjaannya, itu adalah bagian dari rencana Tuhan untuknya.

 “...dan, rencana Tuhan selalu baik, Mbak.”

Aku menangis.
This entry was posted in

0 Comments:

Post a Comment