
Perlahan,
ia beringsut dari sofa kemerahan itu menuju ruang kamarnya. Merangkak pelan,
sedangkan mata malam mengintai dari tiap kaca jendela yang lolos dari gorden.
Tertawa keras, seolah meneriakan pada perempuan yang kehilangan secangkir
kopinya hari itu, jika pada akhirnya ia akan menyerah dan tidak lagi menantang
malam. Lihatlah tubuh kurusnya dipeluk udara dingin malam, bahkan mantel
berlapis tiga yang kumal dan pudar warnanya itu tak menyelamatkan tubuhnya dari
gigil.
Ia
tidak tahu harus bagaimana menggambarkannya, penglihatannya kabur oleh
kunang-kunang yang memenuhi matanya. Sedangkan setumpuk berkas kosong dan pena
yang tergantung, berusaha memanggil-manggilnya untuk menyelesaikan suatu yang
tertunda. Isi kepalanya meminta untuk menceritakan kebenaran; tentang
kesehatannya akhir-akhir ini yang diperbincangkan tetangga-tetangganya sebagai
kutukan. Sebenarnya, bukan. Aku tahu itu.
Maka,
malam itu sebelum ia dipaksa lelap oleh malam yang menyakitinya, perempuan itu
membisikan kisah ini padaku; tentang dirinya yang kehilangan banyak darah sehabis
ia menguatkan diri sekali lagi, pergi menemui kekasihnya yang hanya bisa ia
kunjungi saat pertengahan malam. Lalu mereka berkencan. Itu kencan yang tidak
seperti kau kira, karena kekasih lelakinya adalah sosok yang menggantikan
segelas vodka dengan sesloki darah.
Pagi
ini aku menengok keadaan perempuan itu, ia tengah sarapan dengan semangkuk sup
bayam. Dan, beberapa pil penambah darah menjadi camilan wajibnya. Ketika
kawan-kawannya menengoknya dan berkata basa-basi seperti; ‘semoga cepat sembuh’,
aku sendiri tak tahu harus berkata apa. Perempuan itu hanya tersenyum ke arahku
dengan penuh luka.
0 Comments:
Post a Comment