Saturday 6 June 2015

Dongeng 'Pada Suatu Hari'


Pada suatu hari, 
 Perempuan itu menata alat masaknya yang terbuat dari plastik dan berwarna pelangi, dengan apik. Menunggu lelakinya pulang. Sementara itu, ia menyibukkan diri menggunting dedaunan kering yang dijadikannya sayur, menuang beberapa tetes air ke penggorengan alumunium dan menyulapnya jadi minyak, lalu memasak. Menyajikan hidangan terbaiknya. Lalu, sore bersambut dan dibiarkannya senyumnya melayap ke mana saja mengabarkan ia telah sedia dengan rentang peluknya untuk lelaki yang ditunggunya.
Aku terbangun dari tidur siangku – yang memanjang hingga petang menyentuh pangkuan. Dan, aku baru saja bermimpi tentang permainan pangeran-putri yang kerap kumainkan dulu. Kamu tahu, kenangan selalu mengenai masa lalu, tapi ia tak menjadi sepuh hingga melepuh oleh waktu. Seperti saat kamu menemukan potret foto seseorang yang sudah sepia, ia tidak merenta karena lupa, kuningnya justru menunjukkan betapa kenangan tumbuh subur di sana. Dan, sekali lagi olehnya aku diajak kelana menuju silam, kembara kembali pada lampau.
“Siapa ingin jadi putri?”
Itu yang ditanyakan kawanku sebelum memulai permainan. Setiap anak mengacungkan jarinya ke udara. Hatiku mengangguk. Menjadi putri adalah tentang gaun cantik, mahkota di kepala, hidup di kastil, memiliki tujuh kurcaci yang lucu, punya sepatu kaca yang melegenda, sihir ajaib yang mampu menyulap labu jadi kereta kencana dan tikus-tikus jadi kusir yang tampan, ibu peri di sisimu, dan pangeran dengan kuda putihnya.
“Siapa ingin jadi pangeran?”
Itu yang ditawarkan kawanku setelahnya. Setiap anak kembali mengacungkan jarinya ke udara. Hatiku diam. Menjadi pangeran adalah tentang pedang dan parang, melawan naga, misi-misi, belajar tahan dari semburan api, pergi berperang, mencari sepatu kaca yang hilang, menghadapi nenek sihir, ciuman sejati yang mematahkan mantra jahat, dan putri dengan segala perjuangannya.
“Siapa yang siap bermain?”
Itu yang diajak kawanku pada akhirnya. Setiap anak langsung mengacungkan jarinya ke udara, mengggoyang-goyangkannya dan bersorak ria. Hatiku gelisah. Lalu, menjadi putri dan pangeran yang mengekalkan cinta, adalah permainan. Bukankah segalanya adalah permainan, asalkan kamu bisa memainkannya dengan baik dan benar. Dan, saat kamu adalah anak-anak, kamu adalah pemain terbaik – dan kamu tidak akan merusaknya, karena bermain baik dan benar. Kamu menikmatinya; karenanya kamu tidak menghabiskan waktu dalam sia-sia. Itu jenis permainan yang kamu, aku, dan siapapun merinduinya – yang bebas.
Kamu tahu, aku selalu berangan saat-saat itu dihadirkan sekali lagi – waktu ketika kamu bisa menyatakan cinta tanpa berpikir apakah waktunya tepat, perlukah cokelat, haruskah lilin di malam yang romantis, ataukah dandanan sudah sempurna, kamu hanya perlu mengucapkannya untuk mengungkapkan kasih sayang dan lawanmu menerimanya apa adanya dengan ketulusan yang sama – tanpa mempertanyakan hal lainnya yang menggugat.  Waktu ketika kamu bisa mendaratkan ciuman tanpa bergelisah apakah akan menjadi masalah, mengapa harus demikian, mencari alasan yang tepat, kamu hanya perlu memejamkan mata dan mencium keningnya untuk menguraikan jika kamu ingin bisa bermain bersamanya selamanya. Waktu ketika kamu bisa memberikan pelukan tanpa menyelipkan senarai maksud lain yang berbahaya, kamu hanya perlu merentangkan lengan, merangkulnya dalam peluk erat dan melepasnya dengan canda tawa yang terasa bodoh; tapi saat itu dunia hanya milik permainan mereka yang berbahagia. 
"Di dunia anak-anak, dongeng yang berakhir bahagia itu menyulap jadi nyata."
Lamunanku sirna. Panggilan dari luar kamarku untuk segera keluar dan bersiap menyantap makan malam sudah menyahut. Aku beranjak keluar dari kamarku beriringan dengan suara sayup yang kudengar dari dinding belakang rumah; gurau canda dan tawa suara anak-anak yang timbul-tenggelam mengantarkan malam ke peraduannya.
Akhirnya, ibu sihir berhasil dikalahkan. Pangeran pun mengajak putri untuk tinggal di istananya. Mereka hidup bahagia. Selamanya.
This entry was posted in

0 Comments:

Post a Comment