Tuesday 30 June 2015

Riuh Sunyi dan Hening Gaduh yang Bercermin di Tubuh Seorang Perempuan


Aku mengintip dari balik pintu yang sisi-sisi bawahnya sudah reyot. Terdengar suara decit tiap kali kubuka pelan pintu itu, mengintip seorang perempuan yang tengah terkurung di dalam. Perempuan itu meringkuk di pojok ruang – memeluk kedua kakinya sembari gemetar; tanpa ia tahu, jika aku yang menangkapnya lewat lirik takut sudut mataku, sudah berhasil membuatku bergetar. Hampir saja aku bersiap untuk beranjak pergi dan menutup pintu, si perempuan itu menoleh ke arahku – lantas berlari menghambur ke arahku, menarikku hingga tersentak ke arahnya. 
 “…katakan padaku, mengapa setelah kubuang mataku dari tubuhku, masih saja aku bisa melihat kelebat bayang monster yang kerap menghantui mimpi-mimpi burukku?”
Perempuan itu mencengkeram lenganku – begitu kuatnya hingga bisa kurasakan kulit lenganku memutih. Tapi bukan itu yang kukhawatirkan, melainkanmataku yang sudah bersarang pada bolong matanya. Itu bagai gua yang bisa kamu masuki dan tak kamu temukan ujung, tujuannya hanya satu; agar kamu tersesat dan mati di sana pada kedalaman dukanya. Hitam di kedua matanya seakan menelan siapa saja dalam kabut kesendirian dan menyelami tangis yang tertahan. Sebelum aku mati di antara dua matanya, cepat-cepat aku menyentak cengkeraman tangannya dan melarikan diri.
Tiap langkahku terasa berat – nyatanya bayangnya selalu mengikuti di belakangku. Bagaimana mungkin bayangannya menyatu denganku? Aku terus menengok ke belakang hingga tersungkur sebelum mencapai pekarangan rumah. Lalu, terdengar lolongan anjing di ujung kompleks perumahan, serta derik serangga malam yang bersahut-sahutan di antara semak-semak. Aku mencoba bangkit sebelum kusadari kepalaku membentur purnama yang jatuh tepat di atas kepalaku. Saat kutengadah perlahan, baru kudapati sedari tadi bulan penuh bersembunyi di balik barisan awan hitam – menyaksikan peristiwa yang menarik perhatiannya; seorang perempuan yang berusaha melarikan diri dari dirinya sendiri. Ketika aku bangkit, purnama sudah memerah dan lesap pada salah satu awan paling hitam. Merahnya melukis darah yang menjejak bagai putus asa di sekujur tubuh perempuan yang terterungku tadi, dan hitamnya sepekat lubang mata perempuan tadi.  Aku lebih dari sekadar dirayapi kejut, tapi disengat oleh rasa takut yang mampu membunuh. Aku hendak lari lebih jauh, ketika lengking nyaring suara perempuan itu kembali meretakkan sepi malam.
“…uraikan padaku, bagaimana bisa aku merasakan gaduh berperang dalam sunyi benakku, dan hening bersemayam di antara ramai kepalaku?”
Teriakkannya begitu pilu. Sangat kelu. Membuatku hanya bisa mematung beku, hingga bayangannya yang menyeretku kembali ke ruangan itu. Saat kubuka sekali lagi pintu itu, aku terlonjak. Tak ada siapa-siapa. Tak ada darah yang menggenangi lantai dingin. Apalagi dua bola mata seusai dicongkel. Ataupun perempuan yang bergeliat seperti gila di sini. Hanya satu yang kutemukan; sebuah cermin besar yang berdiri – cermin yang menampakkan bayangan seorang perempuan yang baru saja kulihat tadi di ruang ini; aku.
This entry was posted in

0 Comments:

Post a Comment