Tuesday 7 July 2015

Kamu yang Kupanggil Kamu (4)


Aku menyapamu sekali lagi, Kamu. Mungkin setelah ini akan ada banyak pertanyaan untukku, tentang siapa di balik Kamu. Aku rasa ada alasan mengapa Shakespeare mengatakan apalah arti sebuah nama. Bukankah kerap kita mendengar lirik lagu, bacaan, atau tanda-tanda yang hanya mengarah pada seseorang tanpa benar-benar menyebutkan namanya, kecuali memanggil ‘kamu’? Karenanya, ini sesungguhnya sangat sederhana; teruntuk Kamu. 
Hola, Kamu. Sedang apa kamu sekarang? Biar kutebak, tengah perjalanan pulang, atau sedang sibuk memikirkan rencana yang harus kamu eksekusi dengan baik esok hari. Tapi ini malam sebentar lagi beranjak tua, aku berani bertaruh kamu pasti bersiap tidur dan menghitung domba – aku selalu berharap bisa duduk di tepi tempat tidur dan membuka salah satu buku dongeng koleksiku untuk kubacakan sebelum kamu lelap. Jika kamu masih cukup terjaga untuk tahu aku sedang apa, aku semenjana memutarkan musik dari salah seorang pianis yang pernah kamu hadiahkan lagunya padaku di sebuah malam. Rasanya sudah beratus-ratus malam lewat sejak segalanya baik-baik saja; tanpa aku yang harus bergantung pada berbotol obat, merutuki diri ketika berdiri lima belas menit di hadapan cermin, dan menangis diam-diam di pertengahan malam. Kebanyakan karena aku menemukan pertemuan kita hanya berupa tatap punggung yang saling menjauh, dan bisu yang mengisahkan akhir cerita kita.
Hola sekali lagi, Kamu. Boleh aku bercerita kembali padamu? Sebelumnya maaf karena kamu harus bertemu denganku – si perempuan yang menjajakan cerita-cerita untuk bertahan hidup. Tadi siang, aku bermimpi, itu mimpi yang muram sekaligus manis. Aku jadi seorang putri, ketika banyak pangeran dari berbagai kerajaan datang untuk melawan naga dan meminum ramuan sihir agar kebal dari serangan, hanya untuk memenangkan kontes dan bisa melamarku; tapi ketika salah seorang datang dan semuanya terasa akan berakhir bahagia, kubilang padanya: ‘aku akan mencintaimu, sebagai kakakku, sahabatku, temanku’. Aku menyimpan bentuk cinta yang lain, dan itu adalah untuk Kamu. Karena aku menunggu. Dan, kamu tak perlu takut – khawatir harus segera menjemputku, membalasku, menungguku balik, atau usik-usik lainya – kamu hanya butuh memastikan hari-harimu bahagia.
Hola terakhir kali, Kamu. Beberapa waktu lalu, aku pernah bertanya padamu apa yang menjadi ketakutan terbesarmu? Aku tak memintamu mengingat ulang apa jawabanmu kala itu, aku hanya ingin ikut menjawabnya lewat surat yang sebentar lagi usai ini. Ketakutanku sederhana, jika itu menyangkut Kamu, kira-kira seperti ini; aku tak menemukanmu duduk di ruang kerjamu pada temu singkat yang ada, aku bangun di pagi hari dengan senyum kecil dan tak pernah tahu apakah kamu juga tengah bahagia pagi itu, kamu tengah lelah dan aku tak pernah punya kesempatan untuk sekadar bilang rihat sejenak, tak tahu cara menerbitkan senyum kecil di sepotong bibirmu, dan mengetahui mungkin saja aku menjadi beban lain untukmu.
Kamu. Pernah kamu terpikir jika Fur Elise ditulis Beethoven untuk seorang kekasih yang menjelma menjadi nada-nada luka untuknya? Atau rapuhnya Moonlight Sonata mencerminkan bagaimana cinta dan luka berteman akrab hingga kata tak mampu melukisnya, lantas meminjam tangga-tangga nada? Atau kesedihan-kesedihan Chopin? Mengerikannya akhir dari kisah-kisah Shakespeare? Terkadang kita membaca luka dengan cara lain; mencintai. Selamat beristirahat, dan semoga hari-harimu berjalan dalam damai.
Dari seorang perempuan yang berupaya menghidupkan kenangan di tiap temu singkat kita.
This entry was posted in

0 Comments:

Post a Comment