Sunday 18 May 2014

Beside

Kemarin, di saat aku tengah bergelut dengan kebosanan. Sebuah pesan muncul di layar ponsel sentuhku, teks singkat dari salah satu adik kelasku. Aku tersenyum simpul, cerita apa lagi yang ingin dibaginya denganku. Kubuka pesan baru itu, sebuah paragraf panjang diketikkannya padaku, menceritakan suatu hal yang baru dilihatnya tadi siang saat pulang sekolah. Ia katakan jika sekitar dua anak jalanan, mengamen di mobil angkutan kota yang dinaikinya bersama seorang ibu. Lama kedua anak jalanan itu bernyanyi lirik lagu yang mencoba mengisahkan bobroknya keadaan negeri. Negeri yang kaya melimpah oleh sumber daya tapi mereka tetap saja dikukung kemiskinan.  Lalu, tiba-tiba, ibu yang duduk disampingnya turun dari mobil angkutan, mengajak kedua anak itu untuk turun dari pijakkan mobil. Ibu itu membelikan mereka berdua masing-masing sebungkus jajanan siomay di pinggir jalan.
“Jarang deh lihat ada orang yang peduli banget kayak ibu itu, senang lihatnya,” komentar adik kelasku itu. Aku termenung, diam-diam menyetujuinya. Pikiranku mulai melayang, menyadari mungkin saja kedua anak itu lapar, mengamen sepanjang hari, menguras keringat untuk beberapa receh yang menyulap menjadi butir-butir nasi.
Berkali-kali, aku hanya diam. Menatap layar ponsel. Benakku menempatkanku di sebuah bangku pojok di mobil angkutan umum, pada hari siang dengan panas memanggang. Aku ingat, seorang bapak paruh baya. Perawakkan kurus. Kulitnya cokelat gelap, terasa sekali itu hasil dari terbakar matahari berjam-jam lamanya – atau mungkin setiap harinya. Noda-noda hitam memenuhi sekujur tubuhnya, termasuk pakaian kumuh yang ia kenakan – sepotong kemeja lengan panjang berwarna biru tua, dan celana panjang kelabu yang sudah koyak di berbagai sisinya. Rambut bapak paruh baya itu acak-acakkan – seperti tidak disisir setahun lebuih, mengembang ke berbagai arah, ikal kribo, disangkuti oleh banyak sarang laba-laba dan debu tebal, warnanya kusam dengan beberapa uban. Aku kerap kali melihatnya berada di sebuah tempat sampah besar, pembuangan sampah yang begitu besar dengan sampah yang volumenya begitu besar. Sampah-sampah penuh bau menusuk itu berserakkan hingga ke jalan raya, sebab tempat sampah itu tak mampu menampungnya. Tiap kali mobil angkutan umum yang membawaku pulang sekolah setiap harinya melewati tempat sampah besar itu, aku selalu melihat bapak paruh baya itu di antaranya. Tepatnya, di tengah gunung sampah, mengais makanan sisa hasil dari perut-perut buncit yang membuang makanan utuh dengan mudah. Suatu hari, mobil angkutan umumku berhenti tepat di depan tempat sampah itu. Kulihat bapak paruh baya itu lagi, yang bagi banyak orang terkesan orang gila. Bapak itu jongkok dan menemukan segumpal plastik yang berisikan makanan basah, dan memakannya dengan lahap. Di antara baunya tumpukan sampah. Di tengah lalat, ulat dan serangga yang berterbangan – bergeliat. Di pinggiran jalan penuh debu dan aspa knalpot. Di tepian kali besar yang airnya menghitam. Bapak paruh baya itu makan setiap hari. Lalu lalang kendaraan terus bergerak setiap harinya. Orang-orang larut dalam kesibukkan, tenggelam dengan kompetisi masing-masing dalam mengejar waktu.
Siang itu, setelah menerima pesan singkat adik kelasku. Aku terdiam cukup lama, mengingat kelebat bayang bapak paruh baya itu. Sudah lama tak lagi aku melihatnya, sebab liburan sudah didepan mata, aku tak lagi harus pulang sekolah dan melewatinya. Tapi, bersit tanya itu masih menancap di ulu hati; apa yang dimakan bapak paruh baya itu hari ini?
This entry was posted in

0 Comments:

Post a Comment