Wednesday 20 May 2015

Obituari Hati

Jam bergaya romawi peninggalan nenek, baru saja berdentang dua belas kali ketika sebuah panggilan masuk ke telepon genggamku. Aku tak menyukai dering telepon pada larut malam atau menjelang subuh; ia hampir selalu mengabarkan berita yang begitu mendesak dan kematian. Aku tetap mengangkatnya, terlebih saat nama salah satu kawan dekatku tertera di sana.
“Aku ada di depan rumahmu; sekarang. Akankah kamu keluar dan menemaniku?”
Itu katanya, setelah isak tangisnya yang jadi pertama kali menyapa. Aku pun mengajaknya masuk ke ruang tengah, tapi ia menolak. Ia bilang, ia ingin biarkan dirinya disergap udara dingin malam – biar ia merasakan gigil lain selain rindu. Aku membisu, sembari menyodorkannya secangkir kopi hangat. Aku tahu ia tak menyukai kopi, ia lebih menyukai jus buah. Tapi banyak hal yang bisa kamu selesaikan lewat secangkir kopi – terutama jika itu perkara hati. Misal saja, saat kamu ingin terus terjaga mengeja rindu, kamu bisa mengadu pada kopi. Ketika kamu sedang kesal dengan seseorang yang mengundang kenangan, kamu bisa menyiraminya dengan kopi. Saat kamu ingin sekali bertemu menuntaskan pertanyaan hati, tunjuk saja salah satu kedai kopi. Atau, ketika kamu ingin menggambarkan bagaimana sebuah rasa bekerja, katakan itu seperti kopi; yang awalnya pahit karena hanya berdiri sendiri, tapi bisa jadi rasa yang berwarna ketika itu menemui krimmer, gula, dan lainnya. Baru kusadari aku mengoceh bisu dengan diri sendiri saat kawanku itu menyentuh pundakku dan mulai bercerita.
“Perkaranya sederhana; aku mencintainya. Kukatakan padanya akan menunggunya, mungkin selamanya. Tapi aku tahu ia tidak hadir untukku bersama, dan karenanya sekarang ia sudah beranjak entah ke mana. Tapi aku masih di sini, ada rindu yang belum tuntas. Ada kabar yang ingin kutanyakan, ada cerita dan kisah yang ingin kusampaikan, ada rasa yang ingin kubagikan – lantas, padanya. Aku ingin berpulang sekali lagi dan membangun rumah; dengannya. Bagaimana aku harus berkata dan bergerak, ketika ia bahkan berusaha melupakan?”
Tatapan lukanya menembus mataku – aku melihat kedua tangannya lecet, terlalu keras ia menggenggam telepon genggamnya, mungkin letih menanti kabar dari seseorang yang dicintanya tapi tak ada. Matanya membengkak – mungkin ingin sekali keluar dan mencari tempatnya biasa ia bersarang di kedalaman mata seseorang. Aku memalingkan wajah, kuletakkan mataku pada bulan yang buram. Sedangkan isak tangis kawanku mulai terdengar lagi, ia masih merengek jawab dariku bagaimana harus ia redam rona rindu itu.
Aku pun tak tahu. Malam itu, sebelum ia datang ke mari – sesungguhnya aku baru saja mengelap ulang dinding hati, yang basah oleh darah yang tak akan lesap, karena ada luka yang bersikeras menyebut dirinya cinta.
Keesokkan harinya, kutemukan diriku sendiri tembus pandang; dengan kawanku yang meraung dalam tangisnya bersama tubuhku yang memucat dingin di pangkuannya. 

*aku menulis ini sembari mendengar One - Ed Sheeran, liriknya membuatmu memutar-ulang tentang memahami cinta
This entry was posted in

0 Comments:

Post a Comment