Sunday 23 August 2015

Catatan Panjang tentang Apa yang Mereka Sebut Cinta


Aku tak pernah bercerita panjang lebar tentang hal-hal seperti ini – tapi ini malam Minggu, baiklah katakan saja ini Sabtu malam; dan topik ini kerap mengusikku. Lantaran tiap malam-malam seperti inilah, risau hati melayap ke mana-mana. Dan, sesungguhnya ada cita-cita yang lebih penting menunggu kita untuk berupaya.
Dulu, seorang teman pernah datang padaku dan menyindirku dengan kata ‘kuper’ (baca: kurang pergaulan). Ini mungkin terjadi karena sepanjang hari di sekolah yang dilihatnya adalah aku membawa buku RPUL (rangkuman pengetahuan umum lengkap) ke mana-mana, saat itu aku ingat – aku mempelajari nama-nama ibu kota, serta masih mencoba mengenali kepulauan Indonesia dari peta.
Selanjutnya, ia jumpalitan dari satu kelompok ke kelompok lain membincangkan perihal cinta – yang kala itu, sedang tren hal-hal seperti: kalau-elo-pacaran, berarti-elo-sudah-dewasa. Percayalah, aku sangat kesal – dan ingin membalaskan dendam kesumat ala anak-anak; bisakah kita lupakan saja kalimat yang ini? Menit itu juga, aku bertanya padanya di mana ibu kota Peru, dan memintanya menunjukkan padaku letak pulau Jawa di peta. Ia hanya diam, menggeleng tidak tahu – lalu mengapa kamu tidak menarik lengan lelakimu ke hadapanku untuk menjawabnya?  
Aku terdiam – jadi siapa yang kuper sekarang (?) – aku seperti melihat seorang penggemar fanatik sepak bola tapi tidak bisa menjelaskan apa itu offside.
Dan beberapa bulan lalu saat aku menaiki angkutan umum, aku mencuri dengar percakapan siswi SMP – mereka membahas tentang kriteria suami masa depan; ingin yang humoris, pengertian, dan lain-lain. Saat itu, ingin sekali aku melepas masker penutup hidungku dan menceritakan seuntai kisahku pada mereka seperti ini:
“Aku pernah bertemu lelaki yang kuajak mengobrol tentang bagaimana pemanasan global semakin terdengar mengerikan, dan lemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar, lalu lelaki itu menjawab seperti; aku tidak peduli, yang hanya aku pikirkan adalah kita.”
“Bagaimana kamu bisa tidak peduli? Munculnya tren Post-Apocalypse yang diangkat menjadi tema berbagi karya fiksi, bukanlah sekadar khayalan semata dan imajinasi biasa dari para seniman. Keterjebakan sebuah kehidupan di antara distopia dan utopia yang tergambar dalam karya teranyar Lois Lowry, The Giver, bukan main-main. Ironi mesin otomat hijau yang dicontohkan Gaarder dalam karya barunya, Dunia Anna bukanlah lelucon. Ini berangkat dari kegelisahan dunia mengenai Bumi yang semakin menua, dan tingkah manusia yang lupa di mana sesungguhnya ia berumah. Kalau pemanasan global benar-benar memakan habis Bumi, coba katakan padaku di mana kamu akan mengajakku berkencan?”
“Akan kubawa kita ke ujung dunia, yang hanya kita berdua, kita bisa ke Mars.”
“Kebetulan pendaftaran untuk menghuni Mars sudah dibuka, mengapa tidak kamu saja bergabung untuk memastikan adanya air dan oksigen yang cukup bagi kita?”
Baiklah lelaki itu terdiam, dan aku masih belum selesai bicara.
 “Nilai tukar rupiah melemah, dampak yang sangat terasa adalah meningkatnya harga bahan baku yang kita impor. Apa artinya kalau bahan baku naik? Bahan-bahan lain yang memanfaatkan bahan dasar terseut akan ikut naik. Terjadi inflasi, ujung-ujungnya rakyat yang juga adalah kita berdua – kamu dan aku, ikut terkena. Kalau sudah begitu, coba jelaskan padaku pengeluaran kita yang akan meningkat tiap kali jalan untuk makan dan menonton bersama? Masalah rupiah memiliki dampak kontinu dan domino yang sangat besar, lalu kamu masih berpikir untuk hidup dengan makan cinta.”
Aku berharap mereka paham jika kamu tak bisa mendapatkan Pangeran William hanya dengan terus memikirkannya dan menggalaukannya, kamu harus menjadi seorang Kate Middleton untuk itu. Saat menulis novel Shooting Star, aku menolak ajakan kawan-kawanku untuk menonton film keluaran terbaru di akhir pekan, karena aku tahu ada naskah yang memanggil-manggilku, dan aku punya impian yang sempat diremehkan untuk kuraih. Ketika menulis artikel feature mengenai MEA yang memenangi juara dua menulis  feature antar-universitas, aku meredam godaan status-status media sosial yang memamerkan kemesraan jalan berdua dengan sepasang kekasih. Dan lain-lainnya, yang karenanya aku kerap dianggap akan menjadi jomlo sejati. Tapi aku memahami; aku menolak pesta hari ini, karena aku akan memiliki pesta yang ditujukan untuk merayakanku nanti.
Aku rasa kita hanya lupa pada kisah sejati Cinderella, ia tidak pernah berharap ada pangeran melawan naga yang akan meminangnya ke istana lewat sepatu kaca, ia hanya fokus pada kebaikan hatinya dan keajaiban itu datang dengan sendirinya. Izinkan aku meminjam sebaris kutipan teramat sederhana dari Mario Teguh yang mengatakan bahwa cinta yang berkualitas datang pada ia yang berusaha meningkatkan kualitas diri.  Kawan, Kitab Penyatuan Jodoh itu ada, dan Tuhan memegangnya sekarang – kita tak perlu takut, kisah kita akan ditulis Tuhan dan itu lebih sempurna dibanding yang dikarang oleh manusia.
Aku – kita – pasti setuju, tak ingin menghabiskan waktu kita – yang merupakan investasi sangat berharga yang kita punya – hanya untuk mengkhawatirkan ‘mengapa dia enggak balas chat gue ya?’. ‘sialan, kok cuma di-read doang sih?’, ‘duh, dia pasti lagi jalan sama cewek lain dan gue dilupain’, ‘kok dia engga ajak gue jalan ya?’, ‘udah makan belum, Ndut?’, ‘kamu tidur duluan deh, Cayank’, ‘jemput dong!’ dan sebagai-sebagainya. Kita butuh memahami – dan seseorang yang mengerti – bahwa mengejar mimpi bukan berarti tidak akan menikah serta meninggalkan cinta, melainkan berusaha menghidupi cinta itu sendiri.
“Bagaimana kita bisa memastikan ia yang mengklaim dirinya cinta sejati itu tidak main-main? Serta yang mudahnya mengajak kamu tidur itu tidak menganggap seks sebagai olahraga favoritnya? Ada hal-hal lebih besar dari sekadar perkara hati yang tak kunjung mendapat tambatan dan diancami perawan-perjaka tua.”
Lalu, air mata yang kerap diturunkan untuk seseorang yang terkadang kita anggap adalah yang lahir untuk mencintai kita (padahal belum tentu iya, karena kita menilainya masih dengan kaca mata merah muda; belum sepenuhnya imbang) – sesungguhnya itu tetes-tetes yang lebih dibutuhkan bagi mereka yang menjadi korban bom Bangkok, tragedi Trigana Air, pengungsi Rohingya, dan berbagai hal lainnya. Air matamu sangat berharga dan bisa disulap jadi bulir doa untuk mereka, ketimbang tumpah untuk ia yang tidak memahami seberapa besar kesedihan menawanmu atas cinta ia yang setengah-setengah.
Apakah kamu percaya padaku– jika cinta tidak datang terlalu cepat atau terlambat, ia akan memelukmu tepat pada waktunya. So, if everything has already written, why we worry?
Dan, cinta yang dewasa adalah yang tidak berpikir dunia hanya milik kita berdua. Ada Tuhan, keluarga, dan sahabat yang mengajarkan kita sejatinya cinta hingga kita mampu mencintai seseorang. Jangan pula kita katakan, kita tidak akan bisa hidup bahagia tanpa si dia. Hey, sebelum ‘si dia’ datang, apakah kamu tak pernah sekalipun bahagia dalam hidupmu? Ketika kamu dibelikan mainan favorit, bolos bersama teman sepermainanmu, dan doa-doa yang dikabulkan Tuhan?
“Ver, tapi kamu sering ngegalau tuh!”
“Hehehe, itu sih memang hobi dan kerjaanku.” (aku pun ditabok ramai-ramai)
Sssst, sesungguhnya prinsip aku sangat sederhana; cinta ditolak, karya bertindak. Galau berkicau, karya menghalau.
Dan satu lagi, aku mencintaimu. Semoga kita akan bertemu dan terikat dalam cinta yang hakiki, yang beriman pada kasih sayang, yang hangatnya bagai rumah.

This entry was posted in

0 Comments:

Post a Comment